Minggu, 27 November 2016

MEMBANTU KESULITAN GURU DALAM PEMBELAJARAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Melaksanakan pembelajaran merupakan salah satu bagian dari tugas pokok seorang guru selain tugas pokok  dan tugas sampingan lainnya. Artinya seorang guru wajib melaksanakan pembelajaran sebelum melaksanakan tugas lainnya. Tugas melaksanakan pembelajaran menjadi mutlak adanya dan mestinya tidak dapat diganggu gugat.
Karena tugas pokok seorang guru adalah melaksanakan pembelajaran maka seorang guru dituntut harus mampu memahami segala hal yang berkaitan dengan ilmu mengajar. Seorang guru yang sudah disebut sebagai intelektual dan profesional  idealnya harus memiliki kompetensi yang terkait dengan ilmu pembelajaran yakni kompetensi paedagogik. Hal itu harus dimiliki dan dikuasai sebagaimana para profesional lain di bidangnya masing-masing dengan maksud agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan yang dapat berakibat rusaknya bangsa di masa yang akan datang.
Hanya saja harapan seperti itu sering kali jauh dari kenyataan. Bahwa apa yang dipikirkan oleh mereka yang berkepentingan tentang keahlian seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya ternyata  tidak terjawab mereka. Guru yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengantarkan anak-anak di sekolah  menuju satu tujuan menjadikan manusia Indonesia yang berkualitas   ternyata tidak bisa diandalkan sepenuhnya.
Kenyataan yang ada di lapangan, masih banyak para guru yang belum memahami  apa tugasnya sendiri, dan belum memiliki profesionalitas terhadap bidang tugasnya.  Mereka masih banyak yang melaksanakan tugas mengajarnya dengan prinsip sekadar menggugurkan kewajiban tanpa pernah merefleksi diri bagaimana sesungguhnya kemampuan dirinya. Sungguh menjadi sangat ironis ketika seorang guru tidak memiliki kompetensi yang seharusnya dimilikinya dalam mendidik  anak-anak.
Fenomena semacam itu  ternyata hampir ditemui di mana-mana. Termasuk pula yang terjadi di SD Negeri Sunyalangu UPK Karanglewas. Data menunjukkan betapa masih  rendahnya kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pokok mengajarnya ketika standar kemampuan mereka ditinjau dari satu aspek kompetensi saja. Dalam  melaksanakan pembelajaran, ternyata mereka masih banyak memiliki kelemahan yang dapat dijadikan indikasi awal bahwa mereka masih kurang berkompetensi di bidang pedagogik yang sangat memungkinkan menyebabkan mutu pendidikan kurang berkualitas.
Hasil supervisi yang dilaksanakan Kepala Sekolah ternyata sedikit banyak telah membuka kenyataan tentang kondisi guru dalam hal penguasaan kompetensi mereka di sana. Dari sejumlah 9 guru (6 guru kelas dan 3 guru mata pelajaran) ternyata menunjukkan kondisi yang sesungguhnya kurang memuaskan dalam hal pelaksanaan pembelajaran. Meski secara rata-rata mereka mendapatkan nilai 79,5 dengan kategori baik,  namun ternyata mereka belumlah dapat disebut optimal dalam pembelajaran.
Dari 9 orang guru yang disupervisi ternyata mengalami kesulitan dan kendala masing-masing. Dalam hal penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ditemukan  7 orang (77,7%) belum memenuhi standar penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang baik.
Masih banyak catatan yang perlu ditindak lanjuti oleh Kepala Sekolah agar mereka  lebih optimal dalam melaksanakan pembelajarannya. Sebagaian guru masih biasa-biasa saja dalam melaksanakan pembalajaran sehingga hasil yang diperoleh siswa dalam pemahaman materi masih sangat tidak memuaskan. Dengan melihat hasil supervisi Kepala Sekolah baik dalam  hal penyusunan rencanaan pembelajaran maupun pelaksanaannya  ternyata semua mengalami permasalahan yang berbeda-beda.
Berbagai  masalah terdeteksi pada mereka yang harus segera ditangani dan dibantu pemecahannya oleh berbagai pihak utamanya Kepala Sekolah sebagai pimpinan langsung dan sebagai seorang mentor bagi guru. Tujuannya agar mereka menjadi guru yang benar-benar profesional sebagaimana gelar yang disandangnya.
B.     Rumusan Maslah
Bertolak dari beberapa masalah yang ditemukan  berdasarkan  hasil supervisi terhadap guru sebagaimana disinggung di bagian latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. Masalah-masalah apakah yang dialami para guru SD Negeri Sunyalangu dalam menyusun rencana  dan melaksanakan pembelajaran dan bagaimana cara penanganannya?  Itulah rumusan masalah pada tulisan ini yang akan dikaji secara ilmiah  guna mambantu permasalahan mereka.
C.     Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan atau kajian dalam tulisan ini adalah untuk mengungkap fakta tentang permasalahan guru dalam melaksanakan pembelajaran  dan sekali gus memecahkan persoalan tersebut agar mereka mampu memperbaiki diri dan meningkatkan kompetensinya. Dengan demikian kajian ini lebih bersifat sebagai pemberian bantuan terhadap para guru dalam hal meningkatkan kualitas pembelajarannya.
Selain itu tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca dan sebagai bahan renungan serta sharing tentang pemecahan dari  masalah yang sama.

D.    Manfaat
Manfaat dari kajian ini tentu saja banyak. Setidaknya bisa untuk berbagi pengalaman dalam hal mencari solusi utamanya bagi pembaca yang memiliki kesamaan masalah. Di samping itu kajian ini juga dapat dimanfaatkan untuk sumber inspirasi bagi seluruh pembaca khususnya para kepala sekolah. 
  
            BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Undang –undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen telah mengamanatkan  kepada para profesional guru bahwa secara garis besar tugas pokok guru adalah melaksanakan pendidikan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, mengevaluasi kepada siswa serta tugas sampingan lainnya yang melekat kepadanya (Undang-Undang  Republik Indonesia nomor 14 tahun 2015 tentang guru dan dosen  bab I pasal 1 ayat 1). Bunyi undang-undang tersebut jika dicermati ternyata menuntut mutlak terhadap setiap guru untuk bisa menjadi seorang profesional yang benar-benar profesional sebagaimana para profesional lain di bidangnya masing-masing. Konsekuensi seorang guru yang profesional mereka harus memahami dan menguasai bidangnya dan menjalankan amanat itu sebaik-baiknya.
Konsekuensi  pemerintah dalam hal penghargaan terhadap para profesional guru maka diberikanlah reward kepada mereka berupa tunjangan profesi atau disebut juga tunjangan sertifikasi. Bentuk dari tunjangan itu adalah pemberian  gaji yang besarannya sama  dengan gaji pokok seorang guru setiap bulan.
Peningkatan keprofesionalan mereka tentu saja harus dikendalikan, diatur, dan diundangkan pula oleh pemerintah sebagai pihak yang memberikan reward kepada guru sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PAN dan RB no 16 tahun 2009 yang mengatur tentang jabatan guru dan kenaikan tingkat guru.
Adapun kualitas keprofesionalan guru tidak boleh hanya sampai di situ saja melainkan harus terus ditingkatkan melalui pengembangan diri  yang lebih dikenal dengan istilah Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan ( PKB).
Tugas pokok guru melaksanakan pembelajaran meliputi dua  hal yakni penyusunan Rencana  Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran termasuk di dalamnya melaksanakan penilaian.
RPP merupakan gambaran  atau sekenario guru yang disusun dan harus dipedomani agar pelaksanaan pembelajaran menjadi lancar, menarik, dan berhasil  dipahami atau diterima oleh murid. Sedangkan pembelajaran  adalah proses pelaksanaan dari rencana yang telah disusun oleh guru tersebut.
Dalam hal kemampuan guru terhadap penyususnan RPP dan pelaksanaan pembelajaran dapat diketahui oleh orang lain atau Kepala Sekolah melalui pengamatan pembelajaran dan pemeriksaan RPP. Hal ini dapat dilakukan melalui program kegiatan supervisi akademik oleh Kepala Sekolah atau kunjungan dan pengamatan terhadap guru saat melaksanakan pembelajaran.
Supervisi merupakan aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif (Purwanto, 2010:76). Hal senada juga ditulis oleh Sujana yang menyatakan bahwa supervisi akademik adalah menilai dan membina guru dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran agar kompetisi didik mencapai optimal(Sujana dalam Manggar : 2011).
Pengertian di atas mengandung maksud bahwa kegiatan supervisi bukan sekadar kegiatan mengawasi yang dilakukan oleh seorang pimpinan, melainkan bergeser pengertiannya menjadi lebih bijak. Meskipun pada awalnya pengertian supervisi bermakna pengawasan, atau bahkan kegiatan mencari kesalahan (inspeksi) namun sejalan dengan perkembangan zaman, pengertian tersebut berubah menjadi kegiatan pemberian bantuan oleh kepala sekolah ataupun pemimpin pendidikan lainnya.
Dengan supervisi seorang Kepala sekolah akan banyak sekali mendapatkan gambaran dan informasi penting terkait dengan pelaksanaan tugas guru sehari-hari di sekolahnya. Supervisi yang dilaksanakan kepala sekolah dengan serius akan memberikan informasi tentang kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. Dari supervisi juga Kepala Sekolah dapat mengetahui kemampuan guru-guru dalam melaksanakan penilaian dan evaluasi. Dari supervisi pula kepala Sekolah dapat mengetahui seberapa besar mereka menghadapi kendala dalam melaksanakan tugas pokoknya dan kemudian menentukan kebijakan tertentu untuk membantu mereka.
Hasil supervisi dapat dijadikan acuan atau dasar memberikan bantuan kepada guru dalam masalah pembelajaran. Karena pada dasarnya pengertian supervisi adalah pemberian bantuan Kepala Sekolah terhadap kesulitan guru dalam melaksanakan pembelajaran dan penyusunan RPP sebagaimana pengertian supervisi dalam buku Administrasi dan Supervisi Pendidikan.
Mengingat betapa pentingnya kegiatan supervisi, maka pelaksanaan supervisi menjadi kewajiban mutlak bagi Kepala Sekolah. Karena Kepala Sekolah adalah seorang mentor bagi guru di sekolahnya. Kepala Sekolah berkewajiban melaksanakan bantuan, bimbingan, dan pembinaan terhadap segala kendala dan kelemahan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan supervisi diharapkan para guru mendapat pencerahan dan solusi yang baik atas kesulitan yang ditemuinya. Dengan supervisi pula para guru mendapatkan pengalaman baru dalam menghadapi permasalahan pembelajaran yang dilaksanakannya.


      BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
A.    Apa yang menjadi masalah guru dalam pelaksanakan pembelajaran?
Dengan melihat hasil supervisi yang dilakukan oleh penulis  terhadap guru di SD Negeri Sunyalangu pada semester I tahun pelajaran 2015-2016 ditemukan berbagai masalah yang kompleks dan perlu segera ditangani agar pembelajaran menjadi berkualitas dan berdampak positif meningkatkan mutu pendidikan utamanya di SD Negeri Sunyalangu UPK Karanglewas.
Berbagai masalah itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni masalah penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang kurang dipahami  dan masalah pelaksanaan pembelajaran yang belum bisa disebut maksimal.
1.      Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah sebuah rancangan pembelajaran yang di dalamnya memuat berbagai hal terkait dengan pelaksanaan pembelajaran yang akan dilaksanakan guru di sebuah kelas. Menurut lampiran Permendiknas nomor 41 tahun  2007 perencanaan proses pembelajaran ini meliputi silabus dan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetisi, kompetisi dasar,indikator pencapaian, tujuan pembelajaran , materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
 RPP ini idealnya disusun oleh seorang guru dengan matang dan selalu mengacu kepada silabus agar dapat menghasilkan pembelajaran yang baik dan memuaskan sebagaimana harapan seorang guru. Karena menurut para ahli bahwa perencanaan yang bagus merupakan awal keberhasilan. Sebaliknya rencana yang kurang bagus merupakan awal kegagalan. Oleh karena itu kematangan seseorang dalam menyusun rencana kegiatan sangat diperlukan agar dapat mencapai tujuan, termasuk pula di dalamnya hal merencanakan kegiatan pembelajaran oleh guru.
Berbagai masalah yang ditemukan dari hasil supervisi Kepala Sekolah menyisakan catatan-catatan penting  dalam hal penyusunan RPP yang dapat digunakan guru untuk merefleksi diri antara lain ;
a.       RPP banyak yang tidak mencantumkan indikator.
Indikator merupakan kalimat-kalimat  yang berupa tanda-tanda atau sinyal tentang pencapaian maksud suatu kegiatan. Indikator pembelajaran diambil dari silabus yang sudah ada. Kalimat indikator itulah yang mestinya dapat dijadikan standar apakah maksud kegiatan tersebut dapat tercapai atau tidak.
Dalam pembelajaran, indikator menjadi standar pengukuran atas sebuah maksud. Dengan indikator itulah seorang guru dapat merefleksi apakan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya sudah tercapai.
Ketika indikator tidak tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, hal ini cukup menyulitkan bagi beberapa pihak. Pihak pertama adalah bagi guru itu sendiri. Dengan tidak adanya indikator, guru tidak bisa merefleksi diri tentang ketercapaian pembelajarannya. Di pihak lain, juga akan menyulitkan supervisor baik itu Kepala Sekolah, pengawas, atau pihak lain yang ingin mengetahui ketercapaian guru dalam melaksanakan pembelajaran.
b.       Perumusan indikator dan tujuan
Bukti mengungkapkan bahwa sebagian guru yang ada tidak memahami perbedaan antara indikator dan tujuan.  Sehingga kadang sebagian diantara mereka tidak mencantumkan indikator melainkan merasa cukup hanya mencantumkan tujuannya saja. Padahal jika dipahami secara saksama sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan. Indikator merupakan tujuan singkat yang diambil dari silabus, sedangkan tujuan merupakan pengembangan harapan dari sebuah indikator. Jadi jelaslah bahwa dari satu indikator sangat memungkinkan dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan.
Fenomena yang ditemukan adalah tujuan selalu persis sama dengan indikator. Ini menyebabkan pembelajaran kurang berkembang. Pembelajaran sangat sempit karena hanya terkekang oleh indikator saja. Ketika guru mengambil indikator untuk merumuskan tujuan, memang bukanlah kekeliruan, namun pengetahuan, keterampilan, dan sikap anak yang didapatkan dari proses pembelajaran tersebut tentu  menjadi sangat minim pula. Padahal pada hakekatnya indikator adalah sinyal minimal terhadap apa yang harus diketahui siswa.
c.        Penyusunan kegiatan  apersepsi
Sebagian guru dalam menyusun kegiatan apersepsi  berkutat dengan hal itu-itu saja. Contoh: Guru menanyakan pelajaran yang lalu. Ini dapat disebut klise dan kurang inovatif. Hampir 100% pada kegiatan apersepsi mencantumkan hal yang sama. Pertanyaannya apakah kalimat seperti itu wajib adanya? Tidak bolehkan seorang guru melakukan inovasi dalam hal apersepsi? Tentu saja boleh. Bahkan justru diharapkan guru mempu melaksanakan apersepsi yang menarik, tepat dan menantang. Dengan cerita, menyanyi, tebakan, dll. akan menjadi beda. Dengan variatif apersepsi tentu akan membuat suasana anak tidak jenuh.
Pemilihan apersepsi semacam itu dapat dilihat dalam RPP hampir sebagian besar guru. Indikasi penyusunan RPP dari suatu sumber yang sama atau bahkan hanya sekadar copypaste menjadi sangat kuat mengingat selama ini RPP yang beredar memiliki ciri dan kesamaan yang sangat jelas.
Gejala semacam ini sangat merugikan bagi sekolah, pemerintah, maupun masyarakat sebagai konsumen pendidikan.  Guru menjadi sangat terikat oleh kebiasaan kurang kreatif dan kurang inovatif dalam menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran. Mereka selalu mengandalkan RPP yang sudah ada tanpa mau mengoreksi, merevisi dan menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang riil. Kondisi siswa, kelas, masyarakat, lingkungan sekolah, serta sarana yang nyata menjadi terabaikan akibat mereka tidak mau menyusun RPP yang berbasis dengan lingkungan sekitar yang sesuai.
d. Kegiatan Inti.
Dalam penyusunan skenario kegiatan  inti yang merupakan kegiatan pokok menurut aturan penyusunan RPP yang terbaru mestinya mancantumkan kegiatan Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi (EEK),  namun kenyataannya dari 9 orang guru, hanya 3 orang (33,3%) saja yang telah mencantumkannya. Itupun keterpahamannya kurang begitu baik.
Pemahaman terhadap eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi sangat lemah sehingga mereka memilih tidak mencantumkannya. Sedangkan beberapa guru yang mencantumkannya pun tetap terindikasi merupakan hasil copi paste dari RPP yang ada yang kadang sangat tidak tepat.
Ini mengakibatkan skenario pembelajar pun menjadi rancu, dan pada kegiatan pembelajaran banyak yang tidak sesuai dengan RPP yang disusunnya. Jika hal demikian terjadi terus –menerus maka penyusunan RPP menjadi kegiatan yang mubadzir saja. Guru dalam menyusun RPP hanya bertujuan untuk memenuhi persyaratan tugas tanpa mengetahui hakekat dan tujuan sesungguhnya.
e. Alat sumber bahan
Alat dan sumber belajar seringkali diterjemahkan sama maknanya sehingga sering pula dijadikan satu tanpa terpisah dalam penulisannya. Ini menjadi sebuah kekeliruan mengingat keduanya berbeda. Alat  merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan bantuan untuk menjelaskan sebuah materi dalam pembelajaran. Alat ini dapat berupa gambar, model tiruan atau mungkin juga benda kongkrit. Alat lazim  disebut juga dengan istilah media dalam pembelajaran. Sedangkan sumber belajar adalah sesuatu yang dapat dijadikan sumber informasi bagi anak dan guru dalam mempelajari sesuatu hal. Guru , nara sumber, buku atau gambar yang dapat dijadikan sumber informasi bagi anak-anak dan guru itu sendiri, itulah yang dimaksud dengan sumber belajar.
Dalam pemilihan media banyak guru yang mengalami kesulitan. Mereka banyak yang tidak menggunakan media ketika melakukan pembelajaran dengan alasan sulit untuk menyediakannya. Kalaupun  menggunakannya, sebagian dari mereka tidak tepat dalam memilih dan menggunakannya. Lebih parahnya lagi ketika mereka menyediakan media elektronik atau ICT namun dirinya tak menguasainya. Akibatnya media yang sudah disiapkan menjadi tak berfungsi sama sekali.
Hal ini terjadi juga di SD Negeri Sunyalangu. Banyak guru yang kesulitan menentukan alat dan media untuk membantu menyampaikan informasi kepada anak dalam pembelajaran. Beberapa media yang digunakan ternyata tidak mengenai sasaran karena memang tidak tepat dalam penentuannya.  Ada pula yang tidak mencantumkan karena tidak mampu untuk mencarinya.
Masalahnya bukan karena tidak tersedianya media atau alat bantu yang akan dimanfaatkan, melainkan justru mereka tidak memahami apa itu media. Sebagian besar mereka tidak mau memanfaatkan ketersediaan media atau alat yang sesungguhnya sangat banyak di sekitarnya. Hal itu karena memang mereka tidak mengerti sehingga tidak bisa berkreatifitas untuk memanfaatkan media yang ada di sekelilingnya.
Sebagai contoh, mereka mengalami kendala menyediakan model bangun persegi atau persegi panjang saat mengajarkan materi bangun datar karena peralatan matematika yang ada dianggap rusak. Akhirnya mereka tidak menggunakan model bangun itu melainkan hanya menggambar bangun tersebut di papan tulis. Padahal jika mereka kreatif, banyak benda di sekitarnya yang lebih menarik yang dapat dijadikan media. Benda semacam buku, keramik, tegel, pintu kelas, papan tulis, dan lainnya yang ada di dalam kelas itu bisa saja digunakan jika mereka sudah biasa berkreasi. Kenyataannya tidak lah demikian.
f. Metode dan model
Dalam hal pemilihan metode pada umumnya tidak mengalami kesulitan karena metode yang ada memang kenyataannya dapat digunakan sebagaimana hal biasa. Namun demikian bukanlah mereka melakukan hal yang tepat. Kadang banyak mencantumkan metode yang sebenarnya tidak esensial. Pencantuman metode sering tidak dilaksanakan dalam pembelajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa RPP yang dibuat tidak mampu mencerminkan sekenario pembelajaran yang akan dilaksanakannya.
Di sisi lain adalah penggunaan dan pemilihan model pembelajaran  yang luput dari perhatian. Dari sejumlah 9 orang guru hanya 2 orang atau 22,2%  yang mencantumkan model pembelajaran dalam RPP. Ini dikarenakan ketidakpahaman mereka terhadap model-model pembelajaran. Guru tidak mengetahui tentang berbagai model pembelajaran yang sesungguhnya dapat dijadikan sekenario pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Apalagi untuk berkreasi menemukan model sendiri, memanfaatkan model yang sudah ada pun mereka tidak mampu. Ini juga menjadi masalah yang segera harus ditangani.
g. Penilaian atau Evaluasi
Dalam hal evaluasi, RPP yang dibuat guru banyak mengalamai masalah. Dari sejumlah 9 RPP yang menjadi sampel ternyata hanya 3 RPP atau 33,3% saja yang telah mencantumkan penilaian yang lengkap. Arti lengkap di sini adalah telah mencantumkan prosedur evaluasi atau penilaian dengan mencantumkan bentuk evaluasi, instrumen, dan ketentuan lain yang meliputi kunci jawaban, penskoran atau rubrik, dan lainnya.
Untuk 6 orang  atau 66,6% hanya mencantumkan bentuk dan jenis penilaianya saja tanpa ada instrumen atau soal dan ketentuan lainnya. Hal ini menjadi PR yang harus disegerakan penyelesainnya agar tidak menghambat pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah.
2.      Pelaksanaan Pembelajaran
Masalah ke dua yang ditemukan dari hasil kegiatan supervisi adalah dalam hal pelaksanaan pembelajaran oleh guru. Dari 9 guru yang dapat dikategorikan baik dengan akumulasi nilai maksimal hanya sejumlah 4 orang saja atau 44,4%. Sedangkan selebihnya memperoleh kategori baik dengan angka minimal.
Beberapa permasalahan sebagaimana disinggung di atas yakni tentang permasalahan kegiatan pembelajaran di kelas yang tidak relevan dengan rencana yang telah mereka susun sebelumnya.
Persoalan praktik pembelajaran yang dilakukan sejumlah guru yang ada secara rinci akan diuraikan dan dikaji dalam bab ini secara sistematis. Adapun masalah –masalah yang ditemukan diantaranya adalah ;
a.       Kegiatan pendahuluan
Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran yang dilakukan guru pada umumnya tidak menjadi persoalan besar. Hal ini wajar mengingat kegiatan pendahuluan hanya terdiri atas penyiapan kondisi siswa untuk memulai pembelajaran yang ada di dalamnya adalah kegiatan mengabsen siswa, berdoa, penyiapan perangkat pembelajaran, peralatan, media dan kelengkapan lain. Termasuk pula adalah menyampaikan tujuan pembelajaran secara garis besar.
 Untuk hal di atas 88,8 % terlaksana dengan baik. Hanya untuk yang disebut terakhirlah yang banyak tidak dilakukan guru. Hanya 2 orang dari 9 guru atau 22,2% saja yang menyampaikan tujuan pembelajarannya secara garis besar. Sebanyak 88,8% sisanya tidak menyampaikan tujuan kepada anak baik lisan maupun tertulis.
Ada dua kemungkinan mengapa mereka tidak menyampaikan tujuan tersebut. Pertama karena memang tidak menjadikan hal itu sebagai bagian dari sekenarionya. Dan ke dua, mereka lupa ketika berada di depan siswa. Sehingga apa harapan guru setelah melakukan pembelajaran dari siswa tidak diketahui oleh siswa tersebut. Hal ini cukup bisa menjadi alasan mengapa anak tidak berhasil dalam pembelajaran karena mereka tidak memahami apa yang harus didapatkan setelah berakhirnya pembelajaran.
 Setidaknya mereka akan bisa mengarah ke satu harapan jika saja mereka tahu ke mana arah guru melakukan pembelajaran. Dengan kata lain siswa bukan saja dijadikan objek pembelajaran tetapi mereka akan bisa menjadi subjek dan bersama-sama untuk mencapai tujuan.
Memulai tahapan apersepsi, ada beberapa hal yang dapat dikaji dari hasil temuan yang ada. Sebagaimana telah disinggung dalam hal penyusunan RPP pada pembahasan sebelumnya, bahwa ditemukan 88,9% guru yang melakukan apersepsi dengan tekhik menanyakan pelajaran yang lalu. Meski kadang pelajaran yang lalu sangat tidak relevan dan membosankan namun hal itu terus dilakukan oleh guru.
Masalah ini akan terus berlangsung jika tidak ada pembimbingan dan pengetahuan tentang apa itu apersepsi, apa fungsi dan tujuan apersepsi pada kegiatan pembelajaran.
Apersepsi selama ini dipandang sebagai kegiatan seremonial saja tanpa dipahami apa fungsinya. Apersepsi adalah sebagai kegiatan seorang guru atau pembicara untuk memasuki esensi materi yang sesungguhnya atau materi pokok agar tidak terjadi degradasi dalam hal pembicaraan atau pembahasan materi tersebut sebagaimana pendapat Riyadi dalam artikelnya berjudul Mengawali Pembelajaran yang Menarik, bahwa apersepsi merupakan kegiatan awal dalam pembelajaran  yang berfungsi untuk menarik mengarahkan dan memusatkan perhatian audien terhadap suatu masalah yang akan disampaikan guru atau pembicara (Riyadi dalam Sang Guru edisiSeptember 2014).
 Apersepsi diperlukan untuk mengkondisikan siswa atau audien agar secara tak sadar tergerak mengikuti arah pembicara guru menuju ke sebuah bahasan materi. Bentuk apersepsi sangat beragam. Bisa mengaitkan dengan masalah yang lalu sebagimana yang dilakukan sebagian besar guru, bisa juga dengan bentuk-bentuk yang menyenangkan semacam cerita, menyanyi, permainan, tebakan, kuis, dan sebagainya. Hal itu sejalan dengan pendapat Eko Susanto (2009) bahwa dalam kegiatan membuka pelajaran  perlu diperhatikan komponen ; menerik perhatian, dapat menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan.
Variasi apersepsi sangat penting dilakukan agar siswa tidak merasa bosan dengan kegitan apersepsi dengan bentuk bertanya yang tidak bermutu. Bagaimana siswa tertarik untuk mengikuti pembelajaran ketika mereka sudah merasa bosan di awal (di bagian apersepsi).
Ini terjadi di sebagian besar guru di manapun. Ketidak pahaman terhadap maksud dan tujuan kegiatan apersepsi menjadikan mereka tidak kreatif dalam memilih bentuk apersepsi. Kegiatan apersepsi menjadi klise dan sama sekali tidak menarik siswa karena hanya itu-itu saja.
Memasuki kegiatan inti yang terdiri dari beberapa tahapan yang sering disebut sebagai kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, guru pun mulai melakukan dengan kekacauan. EEK tidak dipahami sehingga langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru sama sekali tidak mencerminkan dan menggambarkan langkah-langkah EEK yang dimaksud.
Sekenario pun menjadi berantakan akibat ketidakpahamannya. Apalagi ketika sudah berhadapan dengan siswa yang kadang-kadang dapat mengubah keadaaan akibat kondisi mereka yang mungkin saja berbeda dengan apa yang dibayangkan guru sebelumnuya.
Dari 9 guru yang diamati ternyata hanya 3 guru atau 33,3% yang melakukan langkah pembelajaran yang mencerminkan adanya EEK. Sedangkan 77,7% sisanya tidak mencerminkan kegiatan EEK dan bahkan dalam RPP pun tidak mencantumkannya.Masalah ini juga menjadi bahan garapan kepala sekolah di SDN Sunyalangu untuk ke depan.
Pada kegiatan penutup guru memiliki permasalahan sendiri. Pada umumnya mereka tidak mampu mengelola waktu sehingga waktu pembelajaran yang sudah ditentukan menjadi kurang efektif dan tidak tepat waktu.  Sebagian masalahnya adalah kekurangan waktu sehingga kegiatan penutup tidak bisa dilakukan sepenuhnya. Guru tidak dapat memberikan tugas, PR, bahkan amanat lain yang penting untuk sebuah pembelajaran yang bermakna. Mereka menutup pembelajaran dengan salam yang segera karena waktu yang sudah tidak memungkinkan.
Dari beberapa persoalan yang ditemukan dan dibahas di atas barulah sebagian kecil yang disampaikan berdasarkan langkah-langkah kegiatan pembelajaran saja.  Secara rinci akan dibahas pula persoalan lain yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran dengan tetap mengacu pada aspek atau kriteria yang diamati oleh supervisor dan tercantum dalam pedoman pelaksanan supervisi akademik. Meski dimungkinkan beberapa aspek ada variannya namun secara garis besar semua memiliki kesamaan maksud dan tujuan. Oleh karena itu beberapa catatan penting berikut ini tetap perlu dikaji sebagai bahan tambahan yang berguna.
Terkait dengan tekhnik bertanya ditemukan beberapa guru yang melakukan kegiatan bertanya yang kurang tepat. Sebagai contoh sebelum menyampaikan pertanyaan, guru terlebih dahulu menunjuk seseorang siswa yang harus menjawabnya. Ini hal yang keliru karena akan menyusahkan satu anak dan membuat yang lain tidak perlu berpikir. Berbeda dengan melontarkan pertanyaan secara umum dahulu baru kemudian menunjuk seseorang untuk menjawabnya. Ini membuat semua berkesempatan berpikir karena mereka merasa memiliki kemungkinan akan ditunjuk guru.
Kemampuan guru untuk memberikan pertanyaan yang menantang juga sangat jarang atau bahkan tidak dilakukan guru. Pertanyaan menantang umumnya dikaitkan dengan kondisi riil dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam hal ini gurupun harus kreatif melakukan pembelajaran yang dikaitkan dengan pengalaman anak dalam kehidupan sehari-hari. Itulah makna pembelajaran yang sesungguhnya dan yang bermakna. Jika guru tidak mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata maka sulit juga untuk membuat pertanyaan yang bersifat menantang.
Selanjutnya bagaimana guru mampu membangkitkan dan memberi motivasi terhadap anak yang berkelainan dalam mengikuti pembelajaran? Salah satu kasus yang sempat penulis jumpai adalah ketika anak tidak mau maju untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Kemudian guru menyikapinya dengan keputus asaan. Guru mengancam akan mengurangi nilainya jika tetap tidak maju. Apa yang terjadi? Ternyata anak tersebut tetap tidak mau maju. Padahal menurut pengamatan dan fakta sehari-hari anak tersebut termasuk anak yang pandai di atas rata-rata. Namun dalam hal ini tidak mau. Tentu ada masalah khusus saat itu yang perlu dipahami guru. Namun guru tidak melakukan hal itu hingga pelajaran usai.  Yang terjadi, anak merasa menyesal dan minder saat itu.
Penanganan guru saat kondisi semacam itu sebenarnya masih mungkin dilakukan dan sangat mungkin akan mengubah suasana. Andai saja misal guru yang mengalah mendekatinya dan membujuk siswa tersebut mempresentasikannya di bangkunya saja tanpa harus maju seperti yang lain barangkali akan dapat memberikan solusi. Atau juga jika tetap tidak mau guru masih dapat mengalah dengan menyuruhnya membaca sambil duduk. Inipun bisa dilakukan, tetapi yang dilakukan guru bukanlah demikian. Guru tetap bersikeras menyuruh anak tersebut maju ke depan. Sehingga membuat anak makin tertekan.

a.       Metode
Persoalan lain yang berkaitan dengan metode pembelajaran ditemukan beberapa masalah dalam pelasanaannnya. Meski dalam RPP sudah ditentukan beberapa metode yang digunakan, namun dalam praktiknya beberapa metode tersebut tidak tampak dalam pembelajaran. Sebagian besar dari mereka masih banyak dan cenderung menggunakan ceramah dan tugas sebagai metode yang termudah. Beberapa metode diskusi, tanya jawab, dramatisasi, dan lainnya muncul hanya dalam porsi yang sangat kecil.
Akibat dari hal itu siswa menjadi tidak berperan aktif  dan lebih cenderung sebagi objek saja. Pembelajaran menjadi tampak membosankan dan suasana siswa di kelas menjadi kurang dapat dikendalikan sesuai harapan.
b.      Pelaksanaan evaluasi
Pada tahap pelaksanaan evaluasi lagi-lagi ditemukan  kasus yang serupa. Sebagian besar dari mereka tidak melakukan penilaian pos tes karena kurang waktu. Persoalan ini hanya dikarenakan kurangnya kemampuan guru dalam memanage waktu. Ada pula yang disebabkan karena kekurangdisiplinan guru dalam menggunakan waktu sehingga beberapa kegiatan kadang berlarut-larut tidak sesuai skenario.
Jika sampai guru tidak melakukan evaluasi dalam bentuk pos tes tentu akan menjadi persoalan baru. Guru tidak mampu mengetahui keterukuran tujuan pembelajaran yang dilakukannya.  Berhasil atau gagalnya pembelajaran tidak bisa diketahui karena guru tidak bisa mengambil data berupa nilai anak setelah mengikuti pembelajaran.
Selain itu, hampir semua guru yang diamati tidak melaksanakan penilaian sepanjang pembelajaran yang dapat dikumpulkan dalam bentuk dokumen portopolio. Akibatnya guru hanya dapat memperoleh informasi tentang perkembangan siswanya hanya dengan menggunakan satu nilai saja yakni pos tes. Maka akan menjadi makin parah ketika pos tes itupun tidak dilakukan.
Dengan demikian guru juga tidak bisa mengetahui seberapa jauh kemajuan siswanya sekaligus guru tidak bisa mendokumentasikan data nilai di buku kumpulan nilai atau buku nilai sebagai bahan laporan kepada kepala sekolah maupun orang tua siswa.
c.       Penggunaan media
Dalam hal penggunaan media juga telah sedikit disinggung sebelumnya. Dari 9 guru hanya satu orang atau 11,1% yang memanfaatkan media LCD yang sudah disediakan pihak sekolah. Media elektronik yang lain semacam tape rekorder, radio, DVD, dan lainnya pun tidak ada yang menggunakannya. Hanya satu guru yang memanfaatkan LCD, itupun mengalami kegagalan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam memanfaatkan LCD ternyata sangat lemah. Terbukti ketika dirinya menggunakan media tersebut masih memanfaatkan bantuan pihak lain untuk memasang dan mengoperasionalkannya. Ini sangat memprihatinkan mengingat di era modern seperti sekarang ini tuntutan guru untuk memanfaatkan ICT sungguh tinggi sekali. Meskipun  pemerintah sudah mengklaim guru di Indonesia semua sudah mampu menggunakan ICT, namun kenyataannya sungguh terbalik.
Akibat ketidakmampuannya itu, justru menjadi bumerang. Media yang sedianya akan mempermudah dan melancarkan proses pembelajarannya ternyata justru menghambat dan menghabiskan waktu karena gangguan teknis. Akhirnya guru lebih banyak berkutat untuk urusan tekhnik penggunaan alat tersebut ketimbang mengajarnya. Inilah persoalan nyata yang ditemukan di lapangan.
Persoalan lain adalah kurangnya kreatifitas guru dalam memanfaatkan media yang ada di sekitarnya. Media masih dipahami sebagai alat peraga yang bagus atau dibuat oleh guru atau pabrik saja. Mereka kurang peka dalam menggunakan media dalam bentuk benda-benda di sekitar yang ditemukan. Akibatnya mereka sangat minim dalam menggunakan media, sementara di sekitarnya banyak benda yang sesungguhnya dapat dijadikan media baik itu yang terencana maupun yang ditemukan secara spontanitas.
Untuk hal ini perlu adanya bimbingan khusus dalam hal pemahaman terhadap alat dan media pembelajaran.
d.      Materi
Pemilihan materi pada umumnya tidak banyak mengalami permasalahan yang serius. Hanya saja dalam hal pengembangan materi rata-rata masih kurang. Penyampaian materi masih sangat minim. Materi kurang dikembangkan. Padahal untuk mengembangkan materi cukup tersedia fasilitasnya. Buku-buku wajib, penunjang, dan referensi lain cukup tersedia di perpustakaan. Disamping itu mereka juga dapat memanfaakan jaringan internet yang sudah disediakan sekolah untuk mencari referensi lain.
Hanya saja tidak banyak guru yang memanfaatkan internet untuk sarana pencarian sumber belajar. Kendalanya sebagian dari mereka belum mampu memanfaatkan tekhnologi tersebut. Ini sangat disayangkan karena fasilitas yang tersedia menjadi kurang optimal dalam pemanfaatannya.
B.     Solusi dan tindak lanjutnya.
Berbagai masalah yang telah dikaji di atas merupakan garapan bagi sekolah terutama bagi Kepala Sekolah. Seorang kepala sekolah bertanggungjawab untuk mengatasi segala permasalahan tersebut. Tujuannya tentu untuk membantu kesulitan guru dalam melaksanakan pembelajaran khususnya. Mengingat kesulitan guru merupakan hambatan dalam meningkatakan hasil belajar dan prestasi anak maka sangat perlu segera ditangani agar prestasi siswa dan prestasi sekolah dapat meningkat.
Adapun strategi penanganan dan solusi terhadap permasalahan di atas adalah sebagai berikut ;
1.      Penanganan masalah kesulitan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Untuk mengatasi masalah kesulitan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), kepala sekolah dapat menentukan beberapa kebijakan. Kebijakan pertama , kepala sekolah sangat perlu untuk segera mengadakan kegiatan pelatihan penyusunan RPP bagi para guru.
Berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menyusun RPP dapat dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan pelatihan di sekolah dapat berupa In House Training (IHT) atau model pembimbingan oleh kepala sekolah.  In House training dapat menghadirkan pakar di bidang penyusunan RPP sebagai nara sumber baik itu dari pengawas, pakar, ataupun  nara sumber lain semacam guru senior yang sudah diakui kemampuannya.
Kegiatan semacam itu bisa dilakukan sewaktu-waktu atau dengan memperhatikan saat yang tepat semacam saat libur atau di kegiatan tengah semester.
Dengan kegiatan pelatihan semacam itu diyakini akan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menyusun RPP yang baik dan benar.
Kegiatan pelatihan keterampilan penyusunan RPP juga dapat dilakukan guru melalui kegiatan kolektif semacam workshop, KKG, maupun diskusi di kelompok kerja guru. Kegiatan semacam itu hendaknya dilakukan secara rutin dan terkontrol  sehingga dapat diketahui hasil perubahannya.
Disamping usaha meningkatkan keterampilan guru sebagaimana dijelaskan di atas, kepala sekolah harus terus melaksanakan pemantauan secara rutin terhadap setiap RPP yang disusun guru. Tujuannya agar kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat penyusunan RPP oleh guru dapat selalu terdeteksi dan segera dapat dibantu penangannya. Melalui kegiatan supervisi yang rutin dan frekfensi yang lebih sering, kepala  sekolah dapat segera tahu setiap permasalahan guru-guru dan kemudian dirinya dapat melakukan pembimbingan baik secara individu maupun kelompok.
Tugas kepala sekolah adalah memeriksa setiap RPP yang disusun guru secara cermat. Kepala sekolah tidak hanya sekadar menandatangani RPP yang disodorkan setiap hari atau secara berkala. Namun lebih dari pada itu, dirinya harus mencermati, meneliti, sekali gus mengoreksi jika terjadi kekurangan atu kesalahan di dalamnya. Dengan memeberikan tanda atau catatan khusus terhadap RPP yang telah diperiksanaya akan dapat menjadi perhatian guru dalam memeperbaiki RPP  tersebut. Dengan demikian setiap ada kesalahan atau kekurangan dapat segera diketahui, dibenarkan dan disempurnakan oleh guru yang bersangkutan.
Ini menuntut konsekuensi besar bagi kepala sekolah karena dengan begitu seorang kepala sekolah dituntut untuk lebih memahami dan menguasai penyusunan RPP yang baik. Pemahaman kepala sekolah dalam hal itu dapat menaikkan kepercayaan para guru bawahannya dan menjadi panutan bagi para guru.
Yang harus dihindari adalah ketidakpahaman dan ketidakmampuan kepala sekolah dalam hal penyusunan RPP yang baik. Karena hal ini akan menjadikan tingkat kepercayaan mereka menjadi menurun.
Jika hal itu dapat terlaksana dengan baik tentu akan berdampak positif terhadap guru. Para guru akan selalu berusaha menyusun RPP yang lebih  baik  karena mereka selalu merasa terkontrol dan mendapatkan pengalaman tentang bagaimana menyusun RPP yang baik dari kepala sekolah.  Maka dalam hal ini kepala sekolah harus lebih dulu memiliki kemampuan yang lebih dalam hal menyusun RPP karena dirinya akan dijadikan contoh yang baik bagi para guru.
2.      Masalah dalam pelaksanaan Pembelajaran
Berbagai masalah yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran oleh guru dapat dirangkum cara mengatasinya. Secara garis besar, kelemahan- kelemahan para guru dalam melaksanakan pembelajaran dapat diatasi dengan kegiatan yang hampir sama dengan kesulitan menyusun perencanaan pembelajaran.
Kegiatan IHT, pelatihan pelaksanaan pembelajaran,dan sebagainya dapat dilakukan pula di sekolah sendiri. Kepala sekolah juga dapat memprogramkan kegiatan penyertaan guru dalam forum diskusi, kelompok kerja guru, seminar, maupun kegiatan lainnya yang membahas tentang pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan.
Penyediaan sumber bacaan berupa buku, majalah, buletin, atau bacaan lain yang mengupas tentang metode, tekhnik, strategi, dan model pembelajaran guru juga perlu dilakukan kepala sekolah guna mendukung peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Kegiatan monitoring dan supervisi juga harus dilakukan kepala sekolah secara rutin dan frekuensi yang lebih sering agar dapat selalu diketahui tentang kelemahan setiap guru. Dengan demikian kepala sekolah akan mendapat data secara pasti tentang berbagai masalah guru dalam pembelajaran dan segera dapat membimbingnya atau mengambil kebijakan lain yang diperlukan.
Di sisi lain, kepala sekolah juga harus mampu menjadi pembimbing dalam hal pembelajaran. Kepala sekolah mestinya mampu menjadi pendamping, dan melaksanakan pembimbingan terhadap guru saat kesulitan melakukan pembelajaran. Dengan memberikan contoh pembelajaran yang baik, kreatif, dan menyenangkan, seorang kepala sekolah sesungguhnya telah melaksanakan salah satu tugasnya dalam hal melaksanakan pembimbingan pembelajaran terhadap guru.
Konsekuensi dari itu, kepala sekolah harus lebih mampu dan menguasai berbagai tekhnik, strategi, dan model pembelajaran dari pada guru-gurunya. Jangan sampai keadaan tersebut justru terbalik yang dapat membuat bumerang bagi dirinya sendiri.
Kemampuan kepala sekolah dalam membimbing pelaksanaan pembelajaran  terhadap guru akan menjadikan modal bagi guru untuk mendapatkan supervisi dalam makna pemberian bantuan terhadap kesulitan mereka. Kemampuan kepala sekolah dalam memberikan bantuan kepada guru akan dipandang positif oleh para guru. Efeknya mereka akan terbuka dan selalu berani untuk meminta bantuan kepada kepala sekolah dalam hal kesulitan yang dialaminya.
Dengan begitu kesulitan akan segera terdeteksi kemudian segera tertangani sehingga tidak akan menjadikan hambatan berkepanjangan yang dapat merugikan anak didik dan memajukan sekolah tersebut.
            Demikianlah kajian terhadap permasalahan dalam penyusunan rencana  dan pelaksanaan pembelajaran guru SD Negeri Sunyalagu ini disajikan secara ilmiah dengan data dan fakta yang sesungguhnya berdasarkan data empirik yang diperoleh dari hasil supervisi yang dilakukan kepala sekolah serta pengamatan sehari-hari.
Tentu masih banyak lagi hal yang masih belum tersampaikan dan terakomodir dalam tulisan ini karena keterbatasan kemampuan dan pengamatan. Oleh karena itu perlu kiranya ada  tulisan lain yang lebih sempurna dengan bahasan yang sama namun lebih lengkap dan sempurna.


BAB III
           PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selama ini terjadi masalah terhadap para guru di SD Negeri Sunyalangu dalam hal melaksanakan tugasnya melakukan pembelajaran. Masalah tersebut ditemukan dari hasil supervisi kepala sekolah. Permasalahan tersebut disinyalir dapat berpengaruh buruk terhadap peningkatan prestasi siswa dan prestasi sekolah. Oleh karena itu harus ditangani dengan segera oleh kepala sekolah sebagai orang yang bertanggung jawab penuh terhadap kebehasilan pendidikan di satuan pendidikannya tersebut.
Permasalahan guru yang meliputi masalah penyusunan perencanaan pelaksanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran itu dapat ditangani melalui berbagai cara diantaranya dengan strategi peningkatan keterampilan di bidang tersebut melalui kegiatan IHT, KKG, workshop,dan pembimbingan oleh kepala sekolah.
B.     Saran
Melihat fakta bahwa dalam menjalankan tugas pokoknya ternyata guru-guru masih banyak mengalami kendala dan kesulitan maka hendaknya kepala sekolah selalu melaksanakan supervisi dalam pengertian yang luas.
Para guru juga hendaknya terbuka terhadap kepala sekolah ketika mengalami kesulitan dalam melaksankan pembelajaran sehingga kepala sekolah sebagai mentor dapat memberikan bantuan atas kesulitan yang dihadapi tersebut. Semua dilakukan guna meningkatnya kualitas pembelajaran guru dan ketercapaian tujuan pendidikan.

DAFTAR  PUSTAKA
Manggar, Johannes,dkk, Supervisi Akademik,LPPKS,Karanganyar,2011
Ngaliman M,Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010
Riyadi, Mengawali Pembelajaran yang Menarik,Sang Guru, Banyumas Cerdas,Purwokerto, 2014
Susanto, Eko, 60  Games untuk Mengajar,Lukita, Yogyakarta, 2009
Tim adhoc, Peraturan  Mendiknas RI nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah, BNSN, Jakarta, 2007

__, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, -- , Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar