MEMBANTU KESULITAN GURU DALAM PEMBELAJARAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Melaksanakan
pembelajaran merupakan salah satu bagian dari tugas pokok seorang guru selain
tugas pokok dan tugas sampingan lainnya.
Artinya seorang guru wajib melaksanakan pembelajaran sebelum melaksanakan tugas
lainnya. Tugas melaksanakan pembelajaran menjadi mutlak adanya dan mestinya
tidak dapat diganggu gugat.
Karena
tugas pokok seorang guru adalah melaksanakan pembelajaran maka seorang guru dituntut
harus mampu memahami segala hal yang berkaitan dengan ilmu mengajar. Seorang
guru yang sudah disebut sebagai intelektual dan profesional idealnya harus memiliki kompetensi yang
terkait dengan ilmu pembelajaran yakni kompetensi paedagogik. Hal itu harus
dimiliki dan dikuasai sebagaimana para profesional lain di bidangnya masing-masing
dengan maksud agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan yang dapat berakibat
rusaknya bangsa di masa yang akan datang.
Hanya
saja harapan seperti itu sering kali jauh dari kenyataan. Bahwa apa yang
dipikirkan oleh mereka yang berkepentingan tentang keahlian seorang guru dalam
melaksanakan tugas profesinya ternyata
tidak terjawab mereka. Guru yang dipercaya oleh masyarakat untuk
mengantarkan anak-anak di sekolah menuju
satu tujuan menjadikan manusia Indonesia yang berkualitas ternyata tidak bisa diandalkan sepenuhnya.
Kenyataan
yang ada di lapangan, masih banyak para guru yang belum memahami apa tugasnya sendiri, dan belum memiliki
profesionalitas terhadap bidang tugasnya.
Mereka masih banyak yang melaksanakan tugas mengajarnya dengan prinsip
sekadar menggugurkan kewajiban tanpa pernah merefleksi diri bagaimana
sesungguhnya kemampuan dirinya. Sungguh menjadi sangat ironis ketika seorang
guru tidak memiliki kompetensi yang seharusnya dimilikinya dalam mendidik anak-anak.
Fenomena
semacam itu ternyata hampir ditemui di
mana-mana. Termasuk pula yang terjadi di SD Negeri Sunyalangu UPK Karanglewas.
Data menunjukkan betapa masih rendahnya
kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pokok mengajarnya ketika standar kemampuan
mereka ditinjau dari satu aspek kompetensi saja. Dalam melaksanakan pembelajaran, ternyata mereka
masih banyak memiliki kelemahan yang dapat dijadikan indikasi awal bahwa mereka
masih kurang berkompetensi di bidang pedagogik yang sangat memungkinkan menyebabkan
mutu pendidikan kurang berkualitas.
Hasil
supervisi yang dilaksanakan Kepala Sekolah ternyata sedikit banyak telah membuka
kenyataan tentang kondisi guru dalam hal penguasaan kompetensi mereka di sana.
Dari sejumlah 9 guru (6 guru kelas dan 3 guru mata pelajaran) ternyata
menunjukkan kondisi yang sesungguhnya kurang memuaskan dalam hal pelaksanaan
pembelajaran. Meski secara rata-rata mereka mendapatkan nilai 79,5 dengan kategori
baik, namun ternyata mereka belumlah dapat
disebut optimal dalam pembelajaran.
Dari
9 orang guru yang disupervisi ternyata mengalami kesulitan dan kendala
masing-masing. Dalam hal penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
ditemukan 7 orang (77,7%) belum memenuhi
standar penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang baik.
Masih
banyak catatan yang perlu ditindak lanjuti oleh Kepala Sekolah agar mereka lebih optimal dalam melaksanakan
pembelajarannya. Sebagaian guru masih biasa-biasa saja dalam melaksanakan pembalajaran
sehingga hasil yang diperoleh siswa dalam pemahaman materi masih sangat tidak
memuaskan. Dengan melihat hasil supervisi Kepala Sekolah baik dalam hal penyusunan rencanaan pembelajaran maupun
pelaksanaannya ternyata semua mengalami
permasalahan yang berbeda-beda.
Berbagai
masalah terdeteksi pada mereka yang
harus segera ditangani dan dibantu pemecahannya oleh berbagai pihak utamanya
Kepala Sekolah sebagai pimpinan langsung dan sebagai seorang mentor bagi guru.
Tujuannya agar mereka menjadi guru yang benar-benar profesional sebagaimana
gelar yang disandangnya.
B. Rumusan
Maslah
Bertolak
dari beberapa masalah yang ditemukan
berdasarkan hasil supervisi terhadap
guru sebagaimana disinggung di bagian latar belakang, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut. Masalah-masalah
apakah yang dialami para guru SD Negeri Sunyalangu dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran dan bagaimana
cara penanganannya? Itulah rumusan
masalah pada tulisan ini yang akan dikaji secara ilmiah guna mambantu permasalahan mereka.
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari pembahasan atau kajian dalam tulisan ini adalah untuk mengungkap
fakta tentang permasalahan guru dalam melaksanakan pembelajaran dan sekali gus memecahkan persoalan tersebut
agar mereka mampu memperbaiki diri dan meningkatkan kompetensinya. Dengan
demikian kajian ini lebih bersifat sebagai pemberian bantuan terhadap para guru
dalam hal meningkatkan kualitas pembelajarannya.
Selain
itu tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca dan
sebagai bahan renungan serta sharing
tentang pemecahan dari masalah yang
sama.
D. Manfaat
Manfaat
dari kajian ini tentu saja banyak. Setidaknya bisa untuk berbagi pengalaman
dalam hal mencari solusi utamanya bagi pembaca yang memiliki kesamaan masalah.
Di samping itu kajian ini juga dapat dimanfaatkan untuk sumber inspirasi bagi
seluruh pembaca khususnya para kepala sekolah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Undang
–undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen telah mengamanatkan kepada
para profesional guru bahwa secara garis besar tugas pokok guru adalah
melaksanakan pendidikan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, mengevaluasi
kepada siswa serta tugas sampingan lainnya yang melekat kepadanya (Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 14 tahun 2015
tentang guru dan dosen bab I pasal 1
ayat 1). Bunyi undang-undang tersebut jika dicermati ternyata menuntut mutlak
terhadap setiap guru untuk bisa menjadi seorang profesional yang benar-benar
profesional sebagaimana para profesional lain di bidangnya masing-masing. Konsekuensi
seorang guru yang profesional mereka harus memahami dan menguasai bidangnya dan
menjalankan amanat itu sebaik-baiknya.
Konsekuensi pemerintah dalam hal penghargaan terhadap
para profesional guru maka diberikanlah reward kepada mereka berupa tunjangan
profesi atau disebut juga tunjangan sertifikasi. Bentuk dari tunjangan itu
adalah pemberian gaji yang besarannya
sama dengan gaji pokok seorang guru
setiap bulan.
Peningkatan
keprofesionalan mereka tentu saja harus dikendalikan, diatur, dan diundangkan
pula oleh pemerintah sebagai pihak yang memberikan reward kepada guru
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PAN dan RB no 16 tahun 2009 yang
mengatur tentang jabatan guru dan kenaikan tingkat guru.
Adapun
kualitas keprofesionalan guru tidak boleh hanya sampai di situ saja melainkan
harus terus ditingkatkan melalui pengembangan diri yang lebih dikenal dengan istilah Peningkatan
Keprofesian Berkelanjutan ( PKB).
Tugas
pokok guru melaksanakan pembelajaran meliputi dua hal yakni penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
pelaksanaan pembelajaran termasuk di dalamnya melaksanakan penilaian.
RPP
merupakan gambaran atau sekenario guru
yang disusun dan harus dipedomani agar pelaksanaan pembelajaran menjadi lancar,
menarik, dan berhasil dipahami atau
diterima oleh murid. Sedangkan pembelajaran adalah proses pelaksanaan dari rencana yang
telah disusun oleh guru tersebut.
Dalam
hal kemampuan guru terhadap
penyususnan RPP dan pelaksanaan pembelajaran dapat diketahui oleh orang lain atau
Kepala Sekolah melalui pengamatan pembelajaran dan pemeriksaan RPP. Hal ini dapat
dilakukan melalui program kegiatan supervisi akademik oleh Kepala Sekolah atau
kunjungan dan pengamatan terhadap guru saat melaksanakan pembelajaran.
Supervisi
merupakan aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan
pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif (Purwanto,
2010:76). Hal senada juga ditulis oleh Sujana yang menyatakan bahwa supervisi
akademik adalah menilai dan membina guru dalam rangka meningkatkan kualitas
proses pembelajaran agar kompetisi didik mencapai optimal(Sujana dalam Manggar
: 2011).
Pengertian
di atas mengandung maksud bahwa kegiatan supervisi bukan sekadar kegiatan
mengawasi yang dilakukan oleh seorang pimpinan, melainkan bergeser
pengertiannya menjadi lebih bijak. Meskipun pada awalnya pengertian supervisi
bermakna pengawasan, atau bahkan kegiatan mencari kesalahan (inspeksi) namun
sejalan dengan perkembangan zaman, pengertian tersebut berubah menjadi kegiatan
pemberian bantuan oleh kepala sekolah ataupun pemimpin pendidikan lainnya.
Dengan
supervisi seorang Kepala sekolah akan banyak sekali mendapatkan gambaran dan
informasi penting terkait dengan pelaksanaan tugas guru sehari-hari di
sekolahnya. Supervisi yang dilaksanakan kepala sekolah dengan serius akan
memberikan informasi tentang kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan
pembelajaran. Dari supervisi juga Kepala Sekolah dapat mengetahui kemampuan
guru-guru dalam melaksanakan penilaian dan evaluasi. Dari supervisi pula kepala
Sekolah dapat mengetahui seberapa besar mereka menghadapi kendala dalam
melaksanakan tugas pokoknya dan kemudian menentukan kebijakan tertentu untuk
membantu mereka.
Hasil
supervisi dapat dijadikan acuan atau dasar memberikan bantuan kepada guru dalam
masalah pembelajaran. Karena pada dasarnya pengertian supervisi adalah pemberian
bantuan Kepala Sekolah terhadap kesulitan guru dalam melaksanakan pembelajaran
dan penyusunan RPP sebagaimana pengertian supervisi dalam buku Administrasi dan
Supervisi Pendidikan.
Mengingat
betapa pentingnya kegiatan supervisi, maka pelaksanaan supervisi menjadi
kewajiban mutlak bagi Kepala Sekolah. Karena Kepala Sekolah adalah seorang
mentor bagi guru di sekolahnya. Kepala Sekolah berkewajiban melaksanakan bantuan,
bimbingan, dan pembinaan terhadap segala kendala dan kelemahan yang dihadapi
guru dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan
supervisi diharapkan para guru mendapat pencerahan dan solusi yang baik atas
kesulitan yang ditemuinya. Dengan supervisi pula para guru mendapatkan
pengalaman baru dalam menghadapi permasalahan pembelajaran yang
dilaksanakannya.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
A. Apa
yang menjadi masalah guru dalam pelaksanakan pembelajaran?
Dengan melihat hasil supervisi yang dilakukan
oleh penulis terhadap guru di SD Negeri
Sunyalangu pada semester I tahun pelajaran 2015-2016 ditemukan berbagai masalah
yang kompleks dan perlu segera ditangani agar pembelajaran menjadi berkualitas
dan berdampak positif meningkatkan mutu pendidikan utamanya di SD Negeri
Sunyalangu UPK Karanglewas.
Berbagai masalah itu secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni masalah penyusunan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang kurang dipahami
dan masalah pelaksanaan pembelajaran yang belum bisa disebut maksimal.
1. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah sebuah rancangan pembelajaran yang di
dalamnya memuat berbagai hal terkait dengan pelaksanaan pembelajaran yang akan
dilaksanakan guru di sebuah kelas. Menurut lampiran Permendiknas nomor 41
tahun 2007 perencanaan proses
pembelajaran ini meliputi silabus dan RPP yang memuat identitas mata pelajaran,
standar kompetisi, kompetisi dasar,indikator pencapaian, tujuan pembelajaran ,
materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
RPP ini idealnya disusun oleh seorang guru
dengan matang dan selalu mengacu kepada silabus agar dapat menghasilkan
pembelajaran yang baik dan memuaskan sebagaimana harapan seorang guru. Karena
menurut para ahli bahwa perencanaan yang bagus merupakan awal keberhasilan.
Sebaliknya rencana yang kurang bagus merupakan awal kegagalan. Oleh karena itu
kematangan seseorang dalam menyusun rencana kegiatan sangat diperlukan agar
dapat mencapai tujuan, termasuk pula di dalamnya hal merencanakan kegiatan
pembelajaran oleh guru.
Berbagai
masalah yang ditemukan dari hasil supervisi Kepala Sekolah menyisakan
catatan-catatan penting dalam hal
penyusunan RPP yang dapat digunakan guru untuk merefleksi diri antara lain ;
a. RPP
banyak yang tidak mencantumkan indikator.
Indikator
merupakan kalimat-kalimat yang berupa
tanda-tanda atau sinyal tentang pencapaian maksud suatu kegiatan. Indikator pembelajaran
diambil dari silabus yang sudah ada. Kalimat indikator itulah yang mestinya dapat
dijadikan standar apakah maksud kegiatan tersebut dapat tercapai atau tidak.
Dalam
pembelajaran, indikator menjadi standar pengukuran atas sebuah maksud. Dengan
indikator itulah seorang guru dapat merefleksi apakan kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakannya sudah tercapai.
Ketika
indikator tidak tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, hal ini cukup
menyulitkan bagi beberapa pihak. Pihak pertama adalah bagi guru itu sendiri.
Dengan tidak adanya indikator, guru tidak bisa merefleksi diri tentang
ketercapaian pembelajarannya. Di pihak lain, juga akan menyulitkan supervisor
baik itu Kepala Sekolah, pengawas, atau pihak lain yang ingin mengetahui
ketercapaian guru dalam melaksanakan pembelajaran.
b. Perumusan indikator dan tujuan
Bukti
mengungkapkan bahwa sebagian guru yang ada tidak memahami perbedaan antara
indikator dan tujuan. Sehingga kadang
sebagian diantara mereka tidak mencantumkan indikator melainkan merasa cukup hanya
mencantumkan tujuannya saja. Padahal jika dipahami secara saksama sesungguhnya keduanya
memiliki perbedaan. Indikator merupakan tujuan singkat yang diambil dari
silabus, sedangkan tujuan merupakan pengembangan harapan dari sebuah indikator.
Jadi jelaslah bahwa dari satu indikator sangat memungkinkan dapat dijabarkan
menjadi beberapa tujuan.
Fenomena
yang ditemukan adalah tujuan selalu persis sama dengan indikator. Ini
menyebabkan pembelajaran kurang berkembang. Pembelajaran sangat sempit karena
hanya terkekang oleh indikator saja. Ketika guru mengambil indikator untuk
merumuskan tujuan, memang bukanlah kekeliruan, namun pengetahuan, keterampilan,
dan sikap anak yang didapatkan dari proses pembelajaran tersebut tentu menjadi sangat minim pula. Padahal pada
hakekatnya indikator adalah sinyal minimal terhadap apa yang harus diketahui
siswa.
c. Penyusunan kegiatan apersepsi
Sebagian
guru dalam menyusun kegiatan apersepsi
berkutat dengan hal itu-itu saja. Contoh: Guru menanyakan pelajaran yang
lalu. Ini dapat disebut klise dan kurang inovatif. Hampir 100% pada kegiatan
apersepsi mencantumkan hal yang sama. Pertanyaannya apakah kalimat seperti itu
wajib adanya? Tidak bolehkan seorang guru melakukan inovasi dalam hal
apersepsi? Tentu saja boleh. Bahkan justru diharapkan guru mempu melaksanakan apersepsi
yang menarik, tepat dan menantang. Dengan cerita, menyanyi, tebakan, dll. akan
menjadi beda. Dengan variatif apersepsi tentu akan membuat suasana anak tidak
jenuh.
Pemilihan
apersepsi semacam itu dapat dilihat dalam RPP hampir sebagian besar guru.
Indikasi penyusunan RPP dari suatu sumber yang sama atau bahkan hanya sekadar
copypaste menjadi sangat kuat mengingat selama ini RPP yang beredar memiliki
ciri dan kesamaan yang sangat jelas.
Gejala semacam
ini sangat merugikan bagi sekolah, pemerintah, maupun masyarakat sebagai
konsumen pendidikan. Guru menjadi sangat
terikat oleh kebiasaan kurang kreatif dan kurang inovatif dalam menyusun RPP
dan melaksanakan pembelajaran. Mereka selalu mengandalkan RPP yang sudah ada
tanpa mau mengoreksi, merevisi dan menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang
riil. Kondisi siswa, kelas, masyarakat, lingkungan sekolah, serta sarana yang
nyata menjadi terabaikan akibat mereka tidak mau menyusun RPP yang berbasis
dengan lingkungan sekitar yang sesuai.
d. Kegiatan Inti.
Dalam
penyusunan skenario kegiatan inti yang
merupakan kegiatan pokok menurut aturan penyusunan RPP yang terbaru mestinya
mancantumkan kegiatan Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi (EEK), namun kenyataannya dari 9 orang guru, hanya 3
orang (33,3%) saja yang telah mencantumkannya. Itupun keterpahamannya kurang begitu
baik.
Pemahaman
terhadap eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi sangat lemah sehingga mereka
memilih tidak mencantumkannya. Sedangkan beberapa guru yang mencantumkannya pun
tetap terindikasi merupakan hasil copi paste dari RPP yang ada yang kadang
sangat tidak tepat.
Ini mengakibatkan
skenario pembelajar pun menjadi rancu, dan pada kegiatan pembelajaran banyak
yang tidak sesuai dengan RPP yang disusunnya. Jika hal demikian terjadi terus
–menerus maka penyusunan RPP menjadi kegiatan yang mubadzir saja. Guru dalam
menyusun RPP hanya bertujuan untuk memenuhi persyaratan tugas tanpa mengetahui
hakekat dan tujuan sesungguhnya.
e. Alat sumber bahan
Alat
dan sumber belajar seringkali diterjemahkan sama maknanya sehingga sering pula
dijadikan satu tanpa terpisah dalam penulisannya. Ini menjadi sebuah kekeliruan
mengingat keduanya berbeda. Alat
merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan bantuan untuk menjelaskan
sebuah materi dalam pembelajaran. Alat ini dapat berupa gambar, model tiruan
atau mungkin juga benda kongkrit. Alat lazim disebut juga dengan istilah media dalam pembelajaran.
Sedangkan sumber belajar adalah sesuatu yang dapat dijadikan sumber informasi
bagi anak dan guru dalam mempelajari sesuatu hal. Guru , nara sumber, buku atau
gambar yang dapat dijadikan sumber informasi bagi anak-anak dan guru itu
sendiri, itulah yang dimaksud dengan sumber belajar.
Dalam
pemilihan media banyak guru yang mengalami kesulitan. Mereka banyak yang tidak
menggunakan media ketika melakukan pembelajaran dengan alasan sulit untuk
menyediakannya. Kalaupun menggunakannya,
sebagian dari mereka tidak tepat dalam memilih dan menggunakannya. Lebih
parahnya lagi ketika mereka menyediakan media elektronik atau ICT namun dirinya
tak menguasainya. Akibatnya media yang sudah disiapkan menjadi tak berfungsi
sama sekali.
Hal
ini terjadi juga di SD Negeri Sunyalangu. Banyak guru yang kesulitan menentukan
alat dan media untuk membantu menyampaikan informasi kepada anak dalam
pembelajaran. Beberapa media yang digunakan ternyata tidak mengenai sasaran karena
memang tidak tepat dalam penentuannya.
Ada pula yang tidak mencantumkan karena tidak mampu untuk mencarinya.
Masalahnya
bukan karena tidak tersedianya media atau alat bantu yang akan dimanfaatkan,
melainkan justru mereka tidak memahami apa itu media. Sebagian besar mereka tidak
mau memanfaatkan ketersediaan media atau alat yang sesungguhnya sangat banyak
di sekitarnya. Hal itu karena memang mereka tidak mengerti sehingga tidak bisa
berkreatifitas untuk memanfaatkan media yang ada di sekelilingnya.
Sebagai contoh,
mereka mengalami kendala menyediakan model bangun persegi atau persegi panjang
saat mengajarkan materi bangun datar karena peralatan matematika yang ada
dianggap rusak. Akhirnya mereka tidak menggunakan model bangun itu melainkan
hanya menggambar bangun tersebut di papan tulis. Padahal jika mereka kreatif,
banyak benda di sekitarnya yang lebih menarik yang dapat dijadikan media. Benda
semacam buku, keramik, tegel, pintu kelas, papan tulis, dan lainnya yang ada di
dalam kelas itu bisa saja digunakan jika mereka sudah biasa berkreasi.
Kenyataannya tidak lah demikian.
f. Metode dan model
Dalam
hal pemilihan metode pada umumnya tidak mengalami kesulitan karena metode yang
ada memang kenyataannya dapat digunakan sebagaimana hal biasa. Namun demikian
bukanlah mereka melakukan hal yang tepat. Kadang banyak mencantumkan metode
yang sebenarnya tidak esensial. Pencantuman metode sering tidak dilaksanakan
dalam pembelajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa RPP yang dibuat tidak mampu
mencerminkan sekenario pembelajaran yang akan dilaksanakannya.
Di sisi lain
adalah penggunaan dan pemilihan model pembelajaran yang luput dari perhatian. Dari sejumlah 9
orang guru hanya 2 orang atau 22,2% yang
mencantumkan model pembelajaran dalam RPP. Ini dikarenakan ketidakpahaman
mereka terhadap model-model pembelajaran. Guru tidak mengetahui tentang
berbagai model pembelajaran yang sesungguhnya dapat dijadikan sekenario
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Apalagi untuk berkreasi
menemukan model sendiri, memanfaatkan model yang sudah ada pun mereka tidak
mampu. Ini juga menjadi masalah yang segera harus ditangani.
g. Penilaian atau Evaluasi
Dalam
hal evaluasi, RPP yang dibuat guru banyak mengalamai masalah. Dari sejumlah 9
RPP yang menjadi sampel ternyata hanya 3 RPP atau 33,3% saja yang telah
mencantumkan penilaian yang lengkap. Arti lengkap di sini adalah telah
mencantumkan prosedur evaluasi atau penilaian dengan mencantumkan bentuk
evaluasi, instrumen, dan ketentuan lain yang meliputi kunci jawaban, penskoran
atau rubrik, dan lainnya.
Untuk
6 orang atau 66,6% hanya mencantumkan
bentuk dan jenis penilaianya saja tanpa ada instrumen atau soal dan ketentuan
lainnya. Hal ini menjadi PR yang harus disegerakan penyelesainnya agar tidak
menghambat pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah.
2. Pelaksanaan
Pembelajaran
Masalah
ke dua yang ditemukan dari hasil kegiatan supervisi adalah dalam hal
pelaksanaan pembelajaran oleh guru. Dari 9 guru yang dapat dikategorikan baik
dengan akumulasi nilai maksimal hanya sejumlah 4 orang saja atau 44,4%.
Sedangkan selebihnya memperoleh kategori baik dengan angka minimal.
Beberapa
permasalahan sebagaimana disinggung di atas yakni tentang permasalahan kegiatan
pembelajaran di kelas yang tidak relevan dengan rencana yang telah mereka susun
sebelumnya.
Persoalan
praktik pembelajaran yang dilakukan sejumlah guru yang ada secara rinci akan
diuraikan dan dikaji dalam bab ini secara sistematis. Adapun masalah –masalah
yang ditemukan diantaranya adalah ;
a. Kegiatan
pendahuluan
Kegiatan
pendahuluan dalam pembelajaran yang dilakukan guru pada umumnya tidak menjadi
persoalan besar. Hal ini wajar mengingat kegiatan pendahuluan hanya terdiri
atas penyiapan kondisi siswa untuk memulai pembelajaran yang ada di dalamnya
adalah kegiatan mengabsen siswa, berdoa, penyiapan perangkat pembelajaran,
peralatan, media dan kelengkapan lain. Termasuk pula adalah menyampaikan tujuan
pembelajaran secara garis besar.
Untuk hal di atas 88,8 % terlaksana dengan
baik. Hanya untuk yang disebut terakhirlah yang banyak tidak dilakukan guru.
Hanya 2 orang dari 9 guru atau 22,2% saja yang menyampaikan tujuan
pembelajarannya secara garis besar. Sebanyak 88,8% sisanya tidak menyampaikan
tujuan kepada anak baik lisan maupun tertulis.
Ada
dua kemungkinan mengapa mereka tidak menyampaikan tujuan tersebut. Pertama
karena memang tidak menjadikan hal itu sebagai bagian dari sekenarionya. Dan ke
dua, mereka lupa ketika berada di depan siswa. Sehingga apa harapan guru
setelah melakukan pembelajaran dari siswa tidak diketahui oleh siswa tersebut.
Hal ini cukup bisa menjadi alasan mengapa anak tidak berhasil dalam
pembelajaran karena mereka tidak memahami apa yang harus didapatkan setelah
berakhirnya pembelajaran.
Setidaknya mereka akan bisa mengarah ke satu
harapan jika saja mereka tahu ke mana arah guru melakukan pembelajaran. Dengan
kata lain siswa bukan saja dijadikan objek pembelajaran tetapi mereka akan bisa
menjadi subjek dan bersama-sama untuk mencapai tujuan.
Memulai
tahapan apersepsi, ada beberapa hal yang dapat dikaji dari hasil temuan yang
ada. Sebagaimana telah disinggung dalam hal penyusunan RPP pada pembahasan
sebelumnya, bahwa ditemukan 88,9% guru yang melakukan apersepsi dengan tekhik
menanyakan pelajaran yang lalu. Meski kadang pelajaran yang lalu sangat tidak
relevan dan membosankan namun hal itu terus dilakukan oleh guru.
Masalah
ini akan terus berlangsung jika tidak ada pembimbingan dan pengetahuan tentang
apa itu apersepsi, apa fungsi dan tujuan apersepsi pada kegiatan pembelajaran.
Apersepsi
selama ini dipandang sebagai kegiatan seremonial saja tanpa dipahami apa
fungsinya. Apersepsi adalah sebagai kegiatan seorang guru atau pembicara untuk
memasuki esensi materi yang sesungguhnya atau materi pokok agar tidak terjadi
degradasi dalam hal pembicaraan atau pembahasan materi tersebut sebagaimana
pendapat Riyadi dalam artikelnya berjudul Mengawali Pembelajaran yang Menarik,
bahwa apersepsi merupakan kegiatan awal dalam pembelajaran yang berfungsi untuk menarik mengarahkan dan
memusatkan perhatian audien terhadap suatu masalah yang akan disampaikan guru
atau pembicara (Riyadi dalam Sang Guru edisiSeptember 2014).
Apersepsi diperlukan untuk mengkondisikan
siswa atau audien agar secara tak sadar tergerak mengikuti arah pembicara guru
menuju ke sebuah bahasan materi. Bentuk apersepsi sangat beragam. Bisa
mengaitkan dengan masalah yang lalu sebagimana yang dilakukan sebagian besar
guru, bisa juga dengan bentuk-bentuk yang menyenangkan semacam cerita, menyanyi,
permainan, tebakan, kuis, dan sebagainya. Hal itu sejalan dengan pendapat Eko
Susanto (2009) bahwa dalam kegiatan membuka pelajaran perlu diperhatikan komponen ; menerik
perhatian, dapat menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan.
Variasi
apersepsi sangat penting dilakukan agar siswa tidak merasa bosan dengan kegitan
apersepsi dengan bentuk bertanya yang tidak bermutu. Bagaimana siswa tertarik
untuk mengikuti pembelajaran ketika mereka sudah merasa bosan di awal (di
bagian apersepsi).
Ini
terjadi di sebagian besar guru di manapun. Ketidak pahaman terhadap maksud dan
tujuan kegiatan apersepsi menjadikan mereka tidak kreatif dalam memilih bentuk
apersepsi. Kegiatan apersepsi menjadi klise dan sama sekali tidak menarik siswa
karena hanya itu-itu saja.
Memasuki
kegiatan inti yang terdiri dari beberapa tahapan yang sering disebut sebagai
kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, guru pun mulai melakukan dengan
kekacauan. EEK tidak dipahami sehingga langkah-langkah pembelajaran yang
dilakukan guru sama sekali tidak mencerminkan dan menggambarkan langkah-langkah
EEK yang dimaksud.
Sekenario
pun menjadi berantakan akibat ketidakpahamannya. Apalagi ketika sudah
berhadapan dengan siswa yang kadang-kadang dapat mengubah keadaaan akibat
kondisi mereka yang mungkin saja berbeda dengan apa yang dibayangkan guru
sebelumnuya.
Dari
9 guru yang diamati ternyata hanya 3 guru atau 33,3% yang melakukan langkah
pembelajaran yang mencerminkan adanya EEK. Sedangkan 77,7% sisanya tidak
mencerminkan kegiatan EEK dan bahkan dalam RPP pun tidak mencantumkannya.Masalah
ini juga menjadi bahan garapan kepala sekolah di SDN Sunyalangu untuk ke depan.
Pada
kegiatan penutup guru memiliki permasalahan sendiri. Pada umumnya mereka tidak
mampu mengelola waktu sehingga waktu pembelajaran yang sudah ditentukan menjadi
kurang efektif dan tidak tepat waktu.
Sebagian masalahnya adalah kekurangan waktu sehingga kegiatan penutup
tidak bisa dilakukan sepenuhnya. Guru tidak dapat memberikan tugas, PR, bahkan
amanat lain yang penting untuk sebuah pembelajaran yang bermakna. Mereka
menutup pembelajaran dengan salam yang segera karena waktu yang sudah tidak
memungkinkan.
Dari
beberapa persoalan yang ditemukan dan dibahas di atas barulah sebagian kecil
yang disampaikan berdasarkan langkah-langkah kegiatan pembelajaran saja. Secara rinci akan dibahas pula persoalan lain
yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran dengan tetap mengacu pada aspek
atau kriteria yang diamati oleh supervisor dan tercantum dalam pedoman pelaksanan
supervisi akademik. Meski dimungkinkan beberapa aspek ada variannya namun
secara garis besar semua memiliki kesamaan maksud dan tujuan. Oleh karena itu
beberapa catatan penting berikut ini tetap perlu dikaji sebagai bahan tambahan
yang berguna.
Terkait
dengan tekhnik bertanya ditemukan beberapa guru yang melakukan kegiatan
bertanya yang kurang tepat. Sebagai contoh sebelum menyampaikan pertanyaan,
guru terlebih dahulu menunjuk seseorang siswa yang harus menjawabnya. Ini hal
yang keliru karena akan menyusahkan satu anak dan membuat yang lain tidak perlu
berpikir. Berbeda dengan melontarkan pertanyaan secara umum dahulu baru kemudian
menunjuk seseorang untuk menjawabnya. Ini membuat semua berkesempatan berpikir
karena mereka merasa memiliki kemungkinan akan ditunjuk guru.
Kemampuan
guru untuk memberikan pertanyaan yang menantang juga sangat jarang atau bahkan
tidak dilakukan guru. Pertanyaan menantang umumnya dikaitkan dengan kondisi
riil dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam hal ini gurupun harus
kreatif melakukan pembelajaran yang dikaitkan dengan pengalaman anak dalam
kehidupan sehari-hari. Itulah makna pembelajaran yang sesungguhnya dan yang
bermakna. Jika guru tidak mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata maka
sulit juga untuk membuat pertanyaan yang bersifat menantang.
Selanjutnya
bagaimana guru mampu membangkitkan dan memberi motivasi terhadap anak yang
berkelainan dalam mengikuti pembelajaran? Salah satu kasus yang sempat penulis
jumpai adalah ketika anak tidak mau maju untuk mempresentasikan hasil kerjanya.
Kemudian guru menyikapinya dengan keputus asaan. Guru mengancam akan mengurangi
nilainya jika tetap tidak maju. Apa yang terjadi? Ternyata anak tersebut tetap
tidak mau maju. Padahal menurut pengamatan dan fakta sehari-hari anak tersebut
termasuk anak yang pandai di atas rata-rata. Namun dalam hal ini tidak mau.
Tentu ada masalah khusus saat itu yang perlu dipahami guru. Namun guru tidak
melakukan hal itu hingga pelajaran usai.
Yang terjadi, anak merasa menyesal dan minder saat itu.
Penanganan
guru saat kondisi semacam itu sebenarnya masih mungkin dilakukan dan sangat
mungkin akan mengubah suasana. Andai saja misal guru yang mengalah mendekatinya
dan membujuk siswa tersebut mempresentasikannya di bangkunya saja tanpa harus
maju seperti yang lain barangkali akan dapat memberikan solusi. Atau juga jika
tetap tidak mau guru masih dapat mengalah dengan menyuruhnya membaca sambil
duduk. Inipun bisa dilakukan, tetapi yang dilakukan guru bukanlah demikian.
Guru tetap bersikeras menyuruh anak tersebut maju ke depan. Sehingga membuat
anak makin tertekan.
a. Metode
Persoalan
lain yang berkaitan dengan metode pembelajaran ditemukan beberapa masalah dalam
pelasanaannnya. Meski dalam RPP sudah ditentukan beberapa metode yang digunakan,
namun dalam praktiknya beberapa metode tersebut tidak tampak dalam
pembelajaran. Sebagian besar dari mereka masih banyak dan cenderung menggunakan
ceramah dan tugas sebagai metode yang termudah. Beberapa metode diskusi, tanya
jawab, dramatisasi, dan lainnya muncul hanya dalam porsi yang sangat kecil.
Akibat
dari hal itu siswa menjadi tidak berperan aktif
dan lebih cenderung sebagi objek saja. Pembelajaran menjadi tampak
membosankan dan suasana siswa di kelas menjadi kurang dapat dikendalikan sesuai
harapan.
b. Pelaksanaan
evaluasi
Pada
tahap pelaksanaan evaluasi lagi-lagi ditemukan
kasus yang serupa. Sebagian besar dari mereka tidak melakukan penilaian
pos tes karena kurang waktu. Persoalan ini hanya dikarenakan kurangnya
kemampuan guru dalam memanage waktu. Ada pula yang disebabkan karena kekurangdisiplinan
guru dalam menggunakan waktu sehingga beberapa kegiatan kadang berlarut-larut
tidak sesuai skenario.
Jika
sampai guru tidak melakukan evaluasi dalam bentuk pos tes tentu akan menjadi
persoalan baru. Guru tidak mampu mengetahui keterukuran tujuan pembelajaran
yang dilakukannya. Berhasil atau
gagalnya pembelajaran tidak bisa diketahui karena guru tidak bisa mengambil
data berupa nilai anak setelah mengikuti pembelajaran.
Selain
itu, hampir semua guru yang diamati tidak melaksanakan penilaian sepanjang
pembelajaran yang dapat dikumpulkan dalam bentuk dokumen portopolio. Akibatnya
guru hanya dapat memperoleh informasi tentang perkembangan siswanya hanya
dengan menggunakan satu nilai saja yakni pos tes. Maka akan menjadi makin parah
ketika pos tes itupun tidak dilakukan.
Dengan
demikian guru juga tidak bisa mengetahui seberapa jauh kemajuan siswanya sekaligus
guru tidak bisa mendokumentasikan data nilai di buku kumpulan nilai atau buku
nilai sebagai bahan laporan kepada kepala sekolah maupun orang tua siswa.
c. Penggunaan
media
Dalam
hal penggunaan media juga telah sedikit disinggung sebelumnya. Dari 9 guru
hanya satu orang atau 11,1% yang memanfaatkan media LCD yang sudah disediakan
pihak sekolah. Media elektronik yang lain semacam tape rekorder, radio, DVD,
dan lainnya pun tidak ada yang menggunakannya. Hanya satu guru yang
memanfaatkan LCD, itupun mengalami kegagalan.
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam memanfaatkan LCD ternyata
sangat lemah. Terbukti ketika dirinya menggunakan media tersebut masih memanfaatkan
bantuan pihak lain untuk memasang dan mengoperasionalkannya. Ini sangat memprihatinkan
mengingat di era modern seperti sekarang ini tuntutan guru untuk memanfaatkan ICT
sungguh tinggi sekali. Meskipun pemerintah sudah mengklaim guru di Indonesia
semua sudah mampu menggunakan ICT, namun kenyataannya sungguh terbalik.
Akibat
ketidakmampuannya itu, justru menjadi bumerang. Media yang sedianya akan mempermudah
dan melancarkan proses pembelajarannya ternyata justru menghambat dan menghabiskan
waktu karena gangguan teknis. Akhirnya guru lebih banyak berkutat untuk urusan
tekhnik penggunaan alat tersebut ketimbang mengajarnya. Inilah persoalan nyata
yang ditemukan di lapangan.
Persoalan
lain adalah kurangnya kreatifitas guru dalam memanfaatkan media yang ada di
sekitarnya. Media masih dipahami sebagai alat peraga yang bagus atau dibuat
oleh guru atau pabrik saja. Mereka kurang peka dalam menggunakan media dalam
bentuk benda-benda di sekitar yang ditemukan. Akibatnya mereka sangat minim
dalam menggunakan media, sementara di sekitarnya banyak benda yang sesungguhnya
dapat dijadikan media baik itu yang terencana maupun yang ditemukan secara
spontanitas.
Untuk
hal ini perlu adanya bimbingan khusus dalam hal pemahaman terhadap alat dan
media pembelajaran.
d. Materi
Pemilihan
materi pada umumnya tidak banyak mengalami permasalahan yang serius. Hanya saja
dalam hal pengembangan materi rata-rata masih kurang. Penyampaian materi masih
sangat minim. Materi kurang dikembangkan. Padahal untuk mengembangkan materi
cukup tersedia fasilitasnya. Buku-buku wajib, penunjang, dan referensi lain
cukup tersedia di perpustakaan. Disamping itu mereka juga dapat memanfaakan
jaringan internet yang sudah disediakan sekolah untuk mencari referensi lain.
Hanya
saja tidak banyak guru yang memanfaatkan internet untuk sarana pencarian sumber
belajar. Kendalanya sebagian dari mereka belum mampu memanfaatkan tekhnologi
tersebut. Ini sangat disayangkan karena fasilitas yang tersedia menjadi kurang
optimal dalam pemanfaatannya.
B. Solusi
dan tindak lanjutnya.
Berbagai masalah yang telah dikaji di
atas merupakan garapan bagi sekolah terutama bagi Kepala Sekolah. Seorang kepala
sekolah bertanggungjawab untuk mengatasi segala permasalahan tersebut.
Tujuannya tentu untuk membantu kesulitan guru dalam melaksanakan pembelajaran
khususnya. Mengingat kesulitan guru merupakan hambatan dalam meningkatakan
hasil belajar dan prestasi anak maka sangat perlu segera ditangani agar
prestasi siswa dan prestasi sekolah dapat meningkat.
Adapun
strategi penanganan dan solusi terhadap permasalahan di atas adalah sebagai
berikut ;
1. Penanganan
masalah kesulitan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Untuk
mengatasi masalah kesulitan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
kepala sekolah dapat menentukan beberapa kebijakan. Kebijakan pertama , kepala
sekolah sangat perlu untuk segera mengadakan kegiatan pelatihan penyusunan RPP
bagi para guru.
Berbagai
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menyusun RPP dapat
dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan pelatihan di
sekolah dapat berupa In House Training (IHT) atau model pembimbingan oleh
kepala sekolah. In House training dapat
menghadirkan pakar di bidang penyusunan RPP sebagai nara sumber baik itu dari pengawas,
pakar, ataupun nara sumber lain semacam
guru senior yang sudah diakui kemampuannya.
Kegiatan
semacam itu bisa dilakukan sewaktu-waktu atau dengan memperhatikan saat yang
tepat semacam saat libur atau di kegiatan tengah semester.
Dengan
kegiatan pelatihan semacam itu diyakini akan dapat meningkatkan kemampuan
mereka dalam menyusun RPP yang baik dan benar.
Kegiatan
pelatihan keterampilan penyusunan RPP juga dapat dilakukan guru melalui kegiatan
kolektif semacam workshop, KKG, maupun diskusi di kelompok kerja guru. Kegiatan
semacam itu hendaknya dilakukan secara rutin dan terkontrol sehingga dapat diketahui hasil perubahannya.
Disamping
usaha meningkatkan keterampilan guru sebagaimana dijelaskan di atas, kepala
sekolah harus terus melaksanakan pemantauan secara rutin terhadap setiap RPP
yang disusun guru. Tujuannya agar kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat
penyusunan RPP oleh guru dapat selalu terdeteksi dan segera dapat dibantu
penangannya. Melalui kegiatan supervisi yang rutin dan frekfensi yang lebih
sering, kepala sekolah dapat segera tahu
setiap permasalahan guru-guru dan kemudian dirinya dapat melakukan pembimbingan
baik secara individu maupun kelompok.
Tugas
kepala sekolah adalah memeriksa setiap RPP yang disusun guru secara cermat.
Kepala sekolah tidak hanya sekadar menandatangani RPP yang disodorkan setiap
hari atau secara berkala. Namun lebih dari pada itu, dirinya harus mencermati,
meneliti, sekali gus mengoreksi jika terjadi kekurangan atu kesalahan di
dalamnya. Dengan memeberikan tanda atau catatan khusus terhadap RPP yang telah
diperiksanaya akan dapat menjadi perhatian guru dalam memeperbaiki RPP tersebut. Dengan demikian setiap ada
kesalahan atau kekurangan dapat segera diketahui, dibenarkan dan disempurnakan
oleh guru yang bersangkutan.
Ini menuntut
konsekuensi besar bagi kepala sekolah karena dengan begitu seorang kepala
sekolah dituntut untuk lebih memahami dan menguasai penyusunan RPP yang baik.
Pemahaman kepala sekolah dalam hal itu dapat menaikkan kepercayaan para guru
bawahannya dan menjadi panutan bagi para guru.
Yang harus dihindari adalah ketidakpahaman dan
ketidakmampuan kepala sekolah dalam hal penyusunan RPP yang baik. Karena hal
ini akan menjadikan tingkat kepercayaan mereka menjadi menurun.
Jika hal itu
dapat terlaksana dengan baik tentu akan berdampak positif terhadap guru. Para
guru akan selalu berusaha menyusun RPP yang lebih baik
karena mereka selalu merasa terkontrol dan mendapatkan pengalaman
tentang bagaimana menyusun RPP yang baik dari kepala sekolah. Maka dalam hal ini kepala sekolah harus lebih
dulu memiliki kemampuan yang lebih dalam hal menyusun RPP karena dirinya akan
dijadikan contoh yang baik bagi para guru.
2. Masalah
dalam pelaksanaan Pembelajaran
Berbagai
masalah yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran oleh guru dapat dirangkum
cara mengatasinya. Secara garis besar, kelemahan- kelemahan para guru dalam
melaksanakan pembelajaran dapat diatasi dengan kegiatan yang hampir sama dengan
kesulitan menyusun perencanaan pembelajaran.
Kegiatan
IHT, pelatihan pelaksanaan pembelajaran,dan sebagainya dapat dilakukan pula di
sekolah sendiri. Kepala sekolah juga dapat memprogramkan kegiatan penyertaan
guru dalam forum diskusi, kelompok kerja guru, seminar, maupun kegiatan lainnya
yang membahas tentang pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan.
Penyediaan
sumber bacaan berupa buku, majalah, buletin, atau bacaan lain yang mengupas
tentang metode, tekhnik, strategi, dan model pembelajaran guru juga perlu
dilakukan kepala sekolah guna mendukung peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan
pembelajaran.
Kegiatan
monitoring dan supervisi juga harus dilakukan kepala sekolah secara rutin dan
frekuensi yang lebih sering agar dapat selalu diketahui tentang kelemahan
setiap guru. Dengan demikian kepala sekolah akan mendapat data secara pasti
tentang berbagai masalah guru dalam pembelajaran dan segera dapat membimbingnya
atau mengambil kebijakan lain yang diperlukan.
Di
sisi lain, kepala sekolah juga harus mampu menjadi pembimbing dalam hal
pembelajaran. Kepala sekolah mestinya mampu menjadi pendamping, dan
melaksanakan pembimbingan terhadap guru saat kesulitan melakukan pembelajaran.
Dengan memberikan contoh pembelajaran yang baik, kreatif, dan menyenangkan,
seorang kepala sekolah sesungguhnya telah melaksanakan salah satu tugasnya
dalam hal melaksanakan pembimbingan pembelajaran terhadap guru.
Konsekuensi
dari itu, kepala sekolah harus lebih mampu dan menguasai berbagai tekhnik,
strategi, dan model pembelajaran dari pada guru-gurunya. Jangan sampai keadaan
tersebut justru terbalik yang dapat membuat bumerang bagi dirinya sendiri.
Kemampuan
kepala sekolah dalam membimbing pelaksanaan pembelajaran terhadap guru akan menjadikan modal bagi guru
untuk mendapatkan supervisi dalam makna pemberian bantuan terhadap kesulitan
mereka. Kemampuan kepala sekolah dalam memberikan bantuan kepada guru akan
dipandang positif oleh para guru. Efeknya mereka akan terbuka dan selalu berani
untuk meminta bantuan kepada kepala sekolah dalam hal kesulitan yang
dialaminya.
Dengan begitu
kesulitan akan segera terdeteksi kemudian segera tertangani sehingga tidak akan
menjadikan hambatan berkepanjangan yang dapat merugikan anak didik dan
memajukan sekolah tersebut.
Demikianlah kajian terhadap
permasalahan dalam penyusunan rencana
dan pelaksanaan pembelajaran guru SD Negeri Sunyalagu ini disajikan
secara ilmiah dengan data dan fakta yang sesungguhnya berdasarkan data empirik
yang diperoleh dari hasil supervisi yang dilakukan kepala sekolah serta
pengamatan sehari-hari.
Tentu
masih banyak lagi hal yang masih belum tersampaikan dan terakomodir dalam
tulisan ini karena keterbatasan kemampuan dan pengamatan. Oleh karena itu perlu
kiranya ada tulisan lain yang lebih
sempurna dengan bahasan yang sama namun lebih lengkap dan sempurna.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selama ini terjadi masalah terhadap para
guru di SD Negeri Sunyalangu dalam hal melaksanakan tugasnya melakukan
pembelajaran. Masalah tersebut ditemukan dari hasil supervisi kepala sekolah.
Permasalahan tersebut disinyalir dapat berpengaruh buruk terhadap peningkatan
prestasi siswa dan prestasi sekolah. Oleh karena itu harus ditangani dengan
segera oleh kepala sekolah sebagai orang yang bertanggung jawab penuh terhadap
kebehasilan pendidikan di satuan pendidikannya tersebut.
Permasalahan
guru yang meliputi masalah penyusunan perencanaan pelaksanaan pembelajaran dan
pelaksanaan pembelajaran itu dapat ditangani melalui berbagai cara diantaranya
dengan strategi peningkatan keterampilan di bidang tersebut melalui kegiatan
IHT, KKG, workshop,dan pembimbingan oleh kepala sekolah.
B. Saran
Melihat
fakta bahwa dalam menjalankan tugas pokoknya ternyata guru-guru masih banyak
mengalami kendala dan kesulitan maka hendaknya kepala sekolah selalu
melaksanakan supervisi dalam pengertian yang luas.
Para
guru juga hendaknya terbuka terhadap kepala sekolah ketika mengalami kesulitan
dalam melaksankan pembelajaran sehingga kepala sekolah sebagai mentor dapat
memberikan bantuan atas kesulitan yang dihadapi tersebut. Semua dilakukan guna
meningkatnya kualitas pembelajaran guru dan ketercapaian tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Manggar,
Johannes,dkk, Supervisi Akademik,LPPKS,Karanganyar,2011
Ngaliman
M,Purwanto, Administrasi dan Supervisi
Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010
Riyadi, Mengawali Pembelajaran yang Menarik,Sang
Guru, Banyumas Cerdas,Purwokerto, 2014
Susanto,
Eko, 60
Games untuk Mengajar,Lukita, Yogyakarta, 2009
Tim
adhoc, Peraturan Mendiknas RI nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah, BNSN, Jakarta,
2007
__,
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen, -- , Jakarta, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar