Senin, 05 Desember 2016

TURU-TURU AYAM

Mengenali Budaya Sendiri

Oleh : Riyadi 



Satu lagi mantera  yang berbentuk tembang masyarakat Jawa berbunyi  ; Turu-turu ayam ,mburimu ana gaok, ngarepmu ana dok.
            Mantera tersebut biasanya  dilafalkan oleh orang – orang tua di Jawa dengan setengah bersenandung ketika hendak menidurkan anak-anak mereka.  Seraya digendong atau dipangku  mereka didengarkan mantera tersebut berulang-ulang. Konon dengan mantera turu-turu ayam,  si anak akan segera tertidur dengan lelapnya. Demikian manjurnya mantera tersebut?
Meski mantera tersebut  hanya terdiri dari 3 baris pendek dan tersusun atas kata-kata yang sangat mudah dipahami maknanya secara leksikal, tetapi terasa indah dan enak didengar karena menggunakan pencitraan bunyi yang sedemikian tingginya. Efoni bunyi yang ditimbulkannya memberi efek yang demikian harmonisnya membuat merdu didengar oleh anak-anak dalam keadaan mengantuk.
Tidak terlalu butuh waktu lama untuk mengartikan setiap kata yang ada di dalamnya secara harfiah.  Juga tidak ada  hal yang terlalu istimewa jika diperhatikan sepintas, tetapi jika dicermati lebih teliti tampak ada  makna tersendiri yang tersembunyi di dalamnya, dan makna itu mungkin  dapat bermakna dalam kehidupan.
Ada beberapa kata yang dapat ditelaah melalui semiotikalogi yang dapat membuka tabir  makna dan amanat mantera tersebut. Kata ; mburi, ngarep, gaok , dan dok memiliki fungsi simbolik yang harus di telaah lebih lanjut.
 Mburi dan ngarep yang keduanya saling berantonim selain membentuk pencitraan yang harmonis juga sangat dalam maknanya. Ngarep merupakan simbol kehidupan yang akan dihadapi oleh seeorang ( masa depan), sedangkan mburi merupakan simbol kehidupan yang sudah dilalui (masa lampau). Keduanya dibatasi oleh masa yang disebut sekarang yang disimbolkan dengan kata turu (tidur) yang menggambarkan sebuah keadaan tak sadar atau mati dalam sesaat.
Di  sini orang tua mengingatkan kepada anak cucu mereka untuk selalu  menengok  / melihat dan mengintrospeksi diri terhadap kehidupan baik yang sudah dilalui maupun yang akan dihadapi. Ngarepmu dan mburimu bermakna kehidupan yang akan dijalani dan yang sudah dijalani.
 Hal itu dilakukan mengingat terkadang manusia lalai (tertidur) dengan masa lalu dan masa yang akan datang dikarenakan dirinya sedang menjalani kehidupan yang disebut dengan sekarang.
Kata  gaok dan  dok yang merupakan nama sejenis burung akan terdengar enak  pula  manakala diucapkan karena keduanya memiliki kesamaan persajakan.  Gaok dan dan dok ( burung gagak dan burung elang) keduanya merupakan jenis burung buas pemangsa daging. Kedua burung tersebut dalam mantera ini menyimbolkan ancaman , musuh, dan segala sesuatu  yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
  Ancaman kehidupan memiliki arti yang sangat luas, baik  ancaman terhadap harta, jiwa, pikiran, mental,  dan lain-lain. Semua itu disimbolkan  dengan burung dok dan gaok yang menakutkan baik secara rupa, bunyi , maupun perilaku.
 Ketika kata-kata itu teruntai menjadi sebuah bentuk mantera ( puisi ), kemudian dimaknai, ditelaah secara rinci  dan kontekstual maka akan  terbentuk makna yang sangat luhur.
 Turu-turu ayam yang merupakan baris pertama, adalah kalimat seruan, perintah ajakan serta perumpamaan yang sekali gus peringatan  kapada segenap manusia( ayam) agar  sadar akan sesuatu sebelum mereka tidak sadar (turu ).
 Adapun sesuatu  yang dimaksud adalah tentang kehidupan mereka ( yang termaktub dalam baris ke dua dan ke tiga). Kehidupan yang akan datang ( ngarepmu)  dan kehidupan yang sudah dijalani ( mburimu ).
Kenapa manusia harus diingatkan atau disadarkan? Karena di depan dan di belakang  kehidupan mereka  senantiasa ada ancaman atau bahaya  yang selalu mengintai ( gaok dan dok ).
Secara  keseluruhan  mantera tersebut  mengandung amanat agar manusia  selalu bersikap waspada dalam menghadapi kehidupan yang akan dijalani dan selalu berkaca terhadap kehidupan yang telah dilalui sebagai penara. Maka hidup harus hati-hati. Jangan sampai lengah sehingga  terhindar dari mara bahaya dan ancaman yang selalu mengintai (gaok dan dok ).
 Demikianlah inti  dan amanat dari mantera  yang diucapkan orang tua kita ; Turu-turu ayam. Jadi apapun bentuk mantera yang diucapkan para leluhur kita  sesungguhnya bukan sekadar bunyi-bunyian tanpa makna sebagai pelipur lara atau bentuk menakut-nakuti saja, melainkan tetaplah berisi nasihat luhur untuk anak cucu mereka.
Sebagaimana mantera di atas,bukan berarti si anak tak akan mau tidur  tanpa mantera itu, tetapi  sesungguhnya orang tua tengah membekali anak-anak mereka dengan nasehat luhur agar mereka senantiasa waspada, hati-hati dalam menghadapi kehidupan, sebab setiap langkah kehidupan mereka selalu ada ancaman baik yang tampak  maupun tersembunyi. Hanya saja nasehat tersebut  tersirat adanya sehingga banyak yang tak dimengerti oleh sebagian masyarakat.
 Semoga  telaah  melalui pendekatan  semiotikalogi  terhadap mantera  masyarakat  Jawa ini dapat memberikan sedikit  makna bagi kita serta membekali sikap arif terhadap khasanah budaya Jawa warisan leluhur kita@
Riyadi,S.Pd.
Pendidik dan pemerhati budaya Jawa.
Tinggal di Jl. Buntu Pasirmuncang RT 06/04 Purwokerto Barat-53137
No HP. 081542722864


BOCAH WADON SEKANG KALI AJA MAMPIR- MAMPIR

Mengenali Budaya Sendiri



Ada lagi ungkapan ora ilok berbunyi ; Bocah wadon sekang kali aja mampir- mampir, mbok dadi lamarane  mbalik maning. Sebuah ungkapan yang lebih ditujukan kepada anak perempuan atau gadis. Yang artinya seorang gadis sehabis  dari sungai tidak boleh mampir ke tempat orang lain karena dapat berakibat  kegagalan dalam lamaran.
Ungkapan itu dulu benar-benar ditaati oleh semua orang , utamanya kaum  gadis. Bahkan jika  ada  diantara mereka yang sampai lupa maka orang lain pun akan segera mengingatkannya. Benar atau tidaknya  akibat bagi orang yang melanggarnya, yang jelas mereka  tak pernah mempersoalkannya.
Ungkapan  ini mungkin  sudah tak lagi berlaku di zaman modern semacam sekarang terutama  bagi masyarakat kota karena mereka sudah tak pernah lagi mandi atau mencuci di kali. Mandi dan mencuci  umumnya dilakukan di kamar mandi. Tidak lagi seperti zaman dahulu. Tetapi bukan berarti tidak perlu untuk mengungkap makna ungkapan itu jika kita ingin  tahu maksud kandungannya. Maka telaah berikut ini  mungkin akan sedikit bisa memberi gambaran  maksud  dari  para leluhur kita dulu.
Orang Jawa sering menggunakan kata kali ( sungai)  untuk  lelakukan hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan atau kesucian apa saja. Sehingga kali Identik dengan kesucian. Orang menggunakan  kali  untuk mandi, mencuci, untuk bersuci, bahkan untuk melepaskan kekotoran baik kotoran raga maupun jiwa. Ritual penyucian pun sering dilakukan di kali. Sebagai contoh adalah ritual keramas  mitoni, keramas pengantin, dan ritual lainnya. Bahkan sebagian masyarakat  masih ada yang mempercayai  untuk menyucikan jenazah mensyaratkan masih mensyaratkan menggunakan  air kali meski cuma sedikit. Itu semua membuktikan  betapa pentingnya  kali sebagai simbol kesucian.
Anak gadis yang mandi  atau mencuci di kali hakekatnya mereka melakukan penyucian diri. Disamping mereka telah melakukan penyucian   raga atau badan dalam hal yang nyata dengan mandi bersabun , secara simbolis mereka juga telah melakukan penyucian jiwa. Penyucian Jiwa atau batin ini diharapkan bisa melepaskan kotoran jiwa sehingga bisa menjadi gadis yang suci dalam hal sifat dan perilaku mereka.
Ketika mereka pulang atau selesai bersuci maka berarti dalam kondisi benar-benar suci dalam arti luas,sehingga mereka diharapkan dapat berjalan lurus pulang ke rumah dalam keadaan tetap suci .
Jika seorang gadis pulang dari  kali  mampir-mampir, maknanya mereka telah berjalan tidak lurus lagi, Berjalan tidak lurus  atau mampir melambangkan ketidak suciannya lagi. Mereka telah berbelok arah ke tempat yang tidak  terjamin kesuciannya lagi. Mampir-mampir atau berbelok akhirnya menjadi lambang ketidak teguhan, ketidak lurusan hati, ketidak mantapan hati atau pendirian. Akibatnya kesucian hati  yang telah mereka lakukan akhirnya gagal atau batal kembali.
Dari situlah orang Jawa mengaitkan  antara ora ilok; Bocah wadcon  sekang kali aja mampir-mampir dengan akibat yakni  mbok  lamarane dadi mbalik maning atau gagal dengan analogi  anak gadis yang mampir ke rumah orang lain dikhawatirkan akan mendapat pengaruh ( dijobari ) orang lain dalam hal keteguhan dan kemantapan hatinya. Orang yang dijobari  dikhawatirkan goyah pendiriannya sehingga tidak lagi lurus  keyakinannya seperti semula yang kemudian dilambangkan dengan gagalnya  sebuah lamaran ( lamarane  mbalik maning ).
Dengan kata  yang lebih sederhana makna ungkapan itu bahwa saeorang gadis  yang sudah berniat bersuci  atau membersihkan hatinya untuk menjadi seorang yang mulia  ( sekang kali ) hendaknya  tidak diurungkan atau digagalkan  sendiri ( mampir- mampir ). Niat suci itu hendaknya tetap dipelihara dengan  teguh dan istiqomah ( ora mampir ) agar kelak mereka  tetap menjadi  orang yang berhati mulia dan tidak kembali menjadi orang yang berperilaku tidak baik ( lamarane ora  balik maning ).

Demikian kiranya pesan   atau amanat  yang paling mendasar  yang dikehendaki oleh para leluhur  kita untuk kebaikan hidup  di dunia. Sebuah pesan yang patut kita teladani dan kita patuhi . Jadi  silakan saja anda mampir kemana saja sehabis mandi di sungai  jika itu memang sangat perlu. Tetapi tetaplah ingat ; Bocah wadon sekang kali aja  mampir-mampir  mbok lamarane mbalik maning dalam arti yang tersirat.@

PRING PUGAG AJA NGGO GAWEAN

Mengenali Budaya Sendiri


Ada sebuah ungkapan ora ilok di masyarakat Banyumas yang berbunyi ; Pring pugag aja nggo gawean.Terjemahannya ; Bambu pugag ( tanpa ujung ) jangan untuk membuat sesuatu. Ungkapan  ora ilok ini  disampaikan kepada siapapun  yang akan membuat sesuatu menggunakan  pring pugag.
Pring pugag adalah  bambu yang tidak sempurna pertumbuhannya. Bagian ujung  atau pucuk tunas bambu tersebut patah ketika masa pertumbuhan. Akibatnya pertumbuhan tidak sempurna harena pertumbuhannya  berpusat pada bagian pangkal saja. Secara fakta memang  masih dapat  tumbuh, bertambah tinggi dan bertambah besar. Tetapi karena ujungnya  tidak ada maka terjadi pertumbuhan di bagian bawah.
Pring pugag bentuknya memang cenderung lurus karena beban di ujung tidak ada. Ukurannya pun cenderung besar dikarenakan sentral  pertumbuhannya di bawah. Sepintas tampak bagus. Tetapi  karakteristik bambu itu sangat berbeda dengan bambu yang tidak pugag. Meski besar dan tampak lurus  bagus tetapi tidak memiliki  kualitas seperti bambu umumnya. Teksturnya sangat renyah, mudah pecah,serta memiliki kandungan  air yang relatif  tinggi.
Mengingat sifat bambu  itu yang tidak berkualitas maka pantaslah jika  orang  Banyumas menyarankan  untuk tidak memanfaatkannya  sebagai bahan pembuatan perabot ataupun  barang  apapun. Dan itu  sangat  bisa diterima secara akal oleh siapapun.
Hanya saja permasalahannya menjadi berbeda ketika anjuran  dan saran itu menjadi sebuah  ungkapan yang tergolong ora ilok. Anjuran itu kini menjadi berubah nilainya.  Bukan sekadar larangan berdasar atas  rendahnya  kualitas ,akan tetapi menjadi larangan yang bernilai magis.  Anjuran tersebut menjadi lebih bersifat mengikat  dan diyakini  masyarakat karena diancam oleh sebuah akibat tertentu yang tidak dijelaskan secara kongkrit.
Sesungguhnya ada pesan tersembunyi di balik ungkapan tersebut. Pring pugag adalah simbol dari sebuah kegagalan hidup manusia. Pucuk bambu yang idealnya  tumbuh menjulang tinggi ke atas melambangkan perjalanan kehidupan manusia di mana mereka memiliki tujuan yang hendak dicapainya. Cita- cita manusia  dilambangkan  seperti  pertumbuhan bambu  yang terus meninggi ke atas. Usaha  manusia  untuk menggapainya itulah seperti  pucuk bambu.
Jika pucuk bambu itu patah atau rusak  maka pertumbuhanpun terhambat. Cita –cita manusia yang patah di tengah  proses perjalanan  sama  artinya dengan  kegagalan.  Kegagalan  dapat disebut juga balo. Balo dalam bahasa jawa  lebih bermakna  negatif.  Jika gagal maknanya  bisa  diulang kembali, tetapi jika balo maknanya lebih tinggi dari pada  gagal yakni bantat, susah untuk diulang kembali atau bahkan tidak bisa diulang lagi.
Ujung bambu yang patah ketika masa pertumbuhan   tidak dapat disamakan dengan kegagalan, tetapi lebih tepat dikatakan balo karena tidak akan dapat disambung kembali agar tumbuh sempurna. Itulah yang dimaksud pugag.
Kehidupan manusia yang balo ( bukan gagal ) akan menghasilkan  manusia balo juga. Hal itulah yang disimbolkan dengan pring pugag. Ke-balo-an hidup manusia bisa bermacam-macam  wujudnya.  Ada yang balo dalam menempuh pendidikan, balo  dalam berkarier, balo dalam berumah tangga, dan sebagainya. Manusia- manusia balo umumnya dianggap  kurang berkualitas.
 Demi pertimbangan itulah orang Banyumas melarang atau menghindari siapapun  untuk memanfatkan manusia –manusia balo. Manusia- manusia balo tidak dapat dijadikan atau diandalkan untuk  sesuatu yang penting sifatnya mengingat  kualitas hidup mereka yang kurang baik. Maka orang Banyumas menghindari  manusia- manusia balo ( pring pugag ) itu  untuk dijadikan sesuatu ( nggo gawean ). Maknanya  manusia- manusia semacam itu kurang tepat untuk menjadi pemimpin, tokoh, dan sebagainya.
Begitu waspadanya orang- orang Banyumas  dalam mengamati kehidupan hingga mereka selalu  menghindari sesuatu  hal  yang diprediksi  akan membawa ketidak baikan bagi dirinya maupun orang lain.

 Hanya apa yang mereka khawatirkan  tidak pernah mereka ucapkan terang- terangan karena  sifat mereka yang  senantiasa  rikuh pekewuh dan senantiasa  menjaga perasaan orang lain. Karena itulah mereka memilih bahasa simbol untuk mengatakan yang sesungguhnya agar tidak menyinggung perasaan orang lain@

MENYINGKAP FILOSOFIS JAWA DI BALIK TEMBANG DHAYOHE TEKA

Mengenali budaya Sendiri
Oleh   Riyadi


Betapa asyiknya  ketika anak- anak Jawa  bermain-main seraya menyanyikan tembang  Dhayohe Teka. Serasa tak ada beban yang menggelayuti kehidupan mereka meski  keadaan mereka sesungguhnya sangat kurang beruntung karena  pada saat itu masih dalam suasana penjajahan. Tetapi dengan melantunkan tembang itu seakan terlepas semua beban yang menghimpitnya.
Tembang  Dhayohe Teka  secara turun-temurun diwariskan dari nenek moyang mereka tanpa  pernah mengerti betapa besar kandungan nilainya. Mereka  hanya menerima sebagai sarana  bersuka cita untuk mengurangi  duka lara yang dirasakan mereka.
Tembang  Dhayohe Teka yang berbunyi :
E ..., dhayohe teka, e... , gelarna klasa
E... , klasane bedah, e... , tambalen jadah
E...,  jadahe mambu,  e ..., empakna asu
E... , asune mati, e... , buangen kali
E... , kaline  banjir , e ..., buangen pinggir
Dilihat sepintas tembang itu tersusun atas  lima larik di mana kelimanya berbentuk dialog yang enak  dibunyikan  dan didengar. Pencitraan bunyi yang digunakan dalam tembang tersebut sungguh sangat tinggi nilainya. Setiap  kalimat diawali dengan  kata  E...  secara repetisi  yang menyebabkan pendengar  tertarik perhatiannya. Selanjutnya  semua diakhiri dengan persajakan yang terpadu sehingga terasa nyaman dinikmati.
Dengan  memparafrasekan dan menelaah tembang tersebut  mungkin dapat sedikit menyingkap makna dan pesan yang terkandung  di dalamnya. Maka  telaah  berikut ini bertujuan  untuk memahami atas kandungan maknanya .
Baris pertama berbunyi ; E... , dhayohe teka, menggambarkan  tentang seseorang yang kedatangan tamu. Tamu di sini adalah tamu yang benar-benar sudah ditunggu kedatangannya. Kata dhayohe berbeda dengan ana dhayoh.
Jika  kalimat itu berbunyi ana dhayoh teka, maknanya  dhayoh ( tamu )  yang datang belum tentu atau tidak diketahui  oleh si Tuan rumah sebelumnya. Tetapi kata dhayohe teka bermakna si tamu sudah diketahui sebelumnya. Dengan kata lain si Tuan rumah sudah mengetahui akan datangnya tamu. Mengingat  si Tuan rumah sudah tahu akan kedatangan tamunya maka segala yang berkaitan  dengan tamu tersebut  sudah dipersiapkan semua.
Tamu bagi masyarakat Jawa merupakan sosok manusia yang  harus diberi penghormatan istimewa dari si tuan rumah. Siapapun  manusia yang disebut tamu kehadirannya merupakan  penghormatan besar bagi si tuan rumah, maka penghormatan balik, wajib sifatnya sebagai balasan. Penghormatan  balik sifatnya relatif tetapi siapapun orang yang menjadi tuan rumah akan merasa bangga jika  dirinya mampu  mengistimewakan tamunya.
Tamu di sini merupakan perlambangan dari sesuatu yang  berharga, dihormati dan diistimewakan. Maknanya luas sekali. Maka  tamu harus disambut ( gelarna klasa ) sebagai simbol penghormatan .
Nggelar klasa  merupakan bentuk penghormatan. Sebagaimana  adat menerima tamu bagi masyarakat Jawa yang dikenal dengan istilah gupuh, lungguh, dan suguh. Gupuh  maknanya adalah sikap ramah tamah dari si tuan rumah. Lungguh maknanya penghormatan berupa pemberian tempat duduk yang nyaman. Sedangkan suguh bermakna  penghormatan dalam bentuk sajian atau jamuan makan dan minum. Nggelar klasa berarti menyediakan tempat tetapi  lengkap dengan suguh yang disajikan dengan gupuh  ( ramah tamah ). Jadi kata nggelar klasa justru maknanya lebih luas dari pada sekadar nggelar klasa menyediakan tempat duduk.
Baris ke dua berbunyi ; E... klasane bedhah ( tikarnya sobek ) memberi gambaran bahwa apa yang  yang hendak disuguhkan untuk tamu ternyata tidak sempurna ( bedhah ). Kata bedhah  melambangkan kekurangan ,  ketidaksempurnaan, kesederhanaan atau kekurang layakan. Masih bertujuan untuk penghormatan maka mereka disarankan untuk  memperbaikinya ( tambalen ). Bahkan untuk  melengkapinya  disarankan  nambal dengan jadah, yang melambangkan sesuatu yang sangat berharga pula. Jadah , jenang atau dhodhol adalah jenis makanan yang bernilai tinggi di masyarakat Jawa.
Baris ke tiga  berbunyi ; E... jadahe mambu dan disahut dengan E.. empakna asu, memberikan gambaran makna jika sampai  terjadi sesuatu  yang berharga  itu pun rusak ( mambu ) maka disarankan untuk melepaskan kerusakan  dan membuangnya ke tempat yang semestinya.
Makna yang dapat diambil dari  kalimat tersebut adalah manusia  harus dapat menempatkan atau mengelompokkan dan memilih antara kebaikan dan  keburukan. Keburukan harus disingkirkan ke tempat yang buruk pula  yang disimbolkan dengan binatang anjing ( asu ) yang menurut anggapan mereka adalah binatang kotor atau bahkan najis.
E...asune mati, e... buangen kali, merupakan bunyi baris ke empat yang  menggambarkan  bahwa tempat yang kotor pun sudah  tidak berfungsi lagi ( mati ). Dalam hal seperti itu manusia  disarankan untuk bersikap bijak untuk lebih memilih cara yang lebih baik lagi yaitu membersihkan atau menyucikannya. Maknanya segala sikap dan perilaku yang kotor bukan untuk diketahui saja melainkan harus disucikan atau diganti dengan kebaikan dan kemuliaan.
 Ini disimbolkan dengan membuangnya ke sungai ( buangen kali ). Buangen kali maknanya perintah  membersihkan.  Kotoran  jiwa yang berupa perilaku  yang tidak mulia harus dihanyutkan ke kali sebagai simbol penyucian diri.
Baris terkhir berbunyi ;  E... kaline banjir, e... buangen pinggir, menggambarkan sesuatu yang besar atau tinggi ternyata sulit untuk dijangkau oleh yang kecil atau yang rendah. Maknanya untuk menghanyutkan   atau mengubah perilaku manusia yang  kotor tidaklah dapat dilakukan  dengan serta merta dan seketika ( banjir ) melainkan harus dilakukan secara sabar, sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan sehingga tidak mengejutkan mereka. Jika di tengah banjir itu tidak bisa melakukannya  maka  mulailah dari tepi ( pinggir ). Jangan membuang dari tengah tapi awalilah dari tepi, sedikit demi sedikit. Maknanya, untuk mengubah perilaku jelek manusia  haruslah secara sedikit- sedikit, tidak perlu terburu-buru harus cepat berhasil secara total.
Demikianlah  makna tembang tersebut  jika diterjemahkan, difarafrasekan dan ditelaah melalui perlambangan. Dengan  begitu  makna  dan pesan yang terkandung pun sedikit dapat terkuak.
Hanya saja bukan makna itu saja yang  dapat ditemukan . Ada makna lain yang dapat  ditemukan  selain makna di atas. Jika diperhatikan  bentuk dialog dari tembang tersebut  memberikan gambaran tentang filosofis hidup masyarakat Jawa yang senantiasa sabar, tidak putus asa, dan bersikap tenang dan santai. Mereka meyakini  semua masalah dalam hidup manusia pasti mempunyai solusinya. Hidup tidak perlu dibuat pusing-pusing tetapi harus dihadapi dengan ketenangan.
Hal itu dapat dilihat dalam dialog tembang tersebut setiap barisnya. Tampak  dalam setiap baris  disuguhkan tentang masalah atau problem hidup, kemudian disuguhkan pula solusinya.
Bila dicermati  dalam setiap baris  ,terdapat masalah, kemudian diberi pemecahannya  secara santai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat kalimat per kalimat berikut ini.
Baris  pertama ada masalah dhayohe teka, solusinya adalah gelarna klasa. Maknanya masalah sudah terselasaikan. Baris ke dua ada masalah; klasane bedhah, selanjutmya diselesaikan dengan : tambalen jadah. Masalahpun selesai pula. Demikian di baris berikutnya sampai terakhir. Jadahe mambu solusinya empakna asu. Asune mati menjadi masalah, maka solusinya buangen kali. Terakhir masalah; kaline banjir pun dapat diselesaikan dengan buangen pinggir. Maknanya dari sekian masalah tak ada satupun yang tak ada solusinya. Dan menariknya semua masalah terselesaikan dengan demikian santainya.
Begitulah filosofis masyarakat Jawa. Setiap masalah hidup pasti ada pemecahannya. Dan solusinyapun terasa amat sederhana .
 Pencitraan rasa dapat kita  jumpai manakala tembang itu dilantunkan sehingga membuat kita tidak berputus asa atau frustasi dalam menghadapi masalah. Tak ada masalah yang tak dapat  teratasi. Begitulah salah satu amanatnya@


MENENGOK KEHIDUPAN MELALUI TEMBANG CENG-CENG MES

Mengenali Budaya Sendiri

Oleh  :  Riyadi, S.Pd.


Ceng-ceng mes,  Ora kidang ora memes, Memese jangan pare, Kepaiten mele-mele, Ciluk bauwa...!
Nemu  suluh gulungan, Nemu  godhong kompetan, Nemu jamur umbukan
Nini njaluk segane, Putu kae salang, Nini akeh semute, Kethokna  griming-griming...!



Barangkali kita pernah mendengar  tembang  di atas. Meski sudah agak lama kita tak melantunkannya  namun agaknya dapat  kita kenali lagi manakala kita dengar ada orang yang melantunkannya.
Dulu  sering  kita  jumpai  para  orang  tua di Jawa mendendangkan  tembang itu ketika mereka sedang bercengkerama dengan  si kecil anak cucu mereka.  Rasanya begitu enak  dinikmatinya  tembang  itu seraya  guyon dengan si buah hatinya yang masih sedang belajar bicara. Entah tahu atau tidak makna tembang  itu, yang jelas mereka  saat itu dapat bercengkerama  meluapkan perasaan sukanya  seraya mengajari anak menggerakkan kedua tangannya  untuk  bertepuk-tepuk membentuk ritma untuk mengiringi melodinya.
Jenis foklor masyarakat  Jawa  tersebut mungkin senada dengan  foklor  masyarakat  Betawi  yang sering kita dengar  dengan judul  Pok ame-ame , tetapi saya menduga  bahwa tembang  Pok ame-ame  merupakan  adopsi dari tembang Ceng-ceng mes  sebab berdasarkan fakta, tembang Ceng-ceng mes  jauh sudah ada sebelum tembang  Pok ame-ame.
Tanpa bermaksud membanding-bandingkan ke dua foklor  tersebut  tetapi  saya sendiri  lebih merasa  tertarik  untuk menelaah tembang  Ceng-ceng mes  ketimbang yang satunya.  Masalahnya jika diperhatikan ,dicermati dengan  saksama,kandungan filosofinya sangat  tinggi , jadi bukan nyanyian belaka yang dilantunkan sekadar untuk bersuka-suka,  melainkan memiliki makna sangat mendalam sebagai sarana edukasi terhadap anak.
Ada dua fase kehidupan manusia  yang dilambangkan  melalui  syair tembang tersebut jika kita cermati. Fase kehidupan pertama  tersirat di dalam bait pertama sedangkan fase ke dua tersirat di dalam  bait ke dua dan ke tiga di mana keduanya saling terkait sehingga membentuk jalinan kehidupan manusia yang runtut dan petuah yang bermakna bagi orang Jawa khususnya.
Fase pertama tersirat pada bait pertama yang berbunyi;  Ceng –ceng mes, ora kidang ora memes, memese jangan pare, kepaiten mele-mele.
Sungguh susah dimengerti  makna  setiap kata-katanya, di samping ada beberapa kata yang tidak memiliki arti secara leksikal juga susah dipahami  secara kontekstual. Kata-kata semacam ; ceng,mes,memese, tidak dapat ditemukan di dalam kamus Dialek Banyumas, juga tidak ada informan yang mengetahui maknanya . Hanya saja ketika kata-kata tersebut  digabung  menjadi rangkaian puisi dan kita telaah secara menyeluruh, baru ada  gambaran yang dapat dimengerti  tentang  keterkaitan  masing- masing kata sehingga dapat dimengerti  makna sesungguhnya.
Lambang kehidupan manusia sengsara di fase  pertama  digambarkan dengan kata  memese jangan pare kepaiten mele-mele. Tidak begitu jelas keterkaitan antara kata ceng-ceng mes dengan kata ora kidang ora mames, tetapi agaknya keduanya sengaja dimunculkan sebagai sarana untuk menimbulkan efek bunyi  atau  efoni yang dapat terdengar indah serta seirama dengan bunyi tepuk tangan dimana tepuk tangan tersebut menyimbolkan kehampaan dan kekosongan hidup sebagaimana yang dialami manusia  pada umumnya. Kehidupan yang hampa itu makin tersirat jelas manakala dihubungkan  dengan kata ora kidangora memes yang bermakna tidak sama sekali atau tidak apapun. Maknanya tidak kidang tidak pula memes.
Bait  pertama merupakan bait awal yang melambangkan awal kehidupan manusia  juga. Orang Jawa memang umumnya mengambil sisi phit lebih dulu dalam kehidupannya. Meski doa dan harapan mereka tetap yang manis tetapi merek tidak pernah mengungkapkan kemanisannya secara terus terang. Maka petuah mereka kepada anak cucunya  agar mereka  selalu  siap menghadapi kepahitan sekalipun. Berakit-rakit kehulu, demikian ajarannya .
Bait ke dua adalah gambaran kehidupan manusia  di fase ke dua untuk dapat berenang ke tepian. Dan orang tua memberi nasehat dengan kata ciluk bauwa sebagai batas  antara fase pertama dan ke dua yang menyimbolkan perubahan nasib kehidupan mereka dari kehampaan dan keprihatinan menjadi kebahagiaan dan kemakmuran. Dari tak kelihatan  menjadi kelihatan, dari  tak ada menjadi ada.
Kebahagiaan inilah yang digambarkan dengan kalimat nemu  suluh gulungan ,nemu  godhong kompetan,nemu jamur umbukan yang bermakna serba ada dan serba banyak. Kata nemu yang berarti menjumpai melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan seseorang.
Gulungan,kompetan ,dan umbukan adalah  simbol  dari satuan suluh ( kayu bakar ),godhong ( daun ),dan jamur.  Semuanya melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan  hidup seseorang.
Bait terakhir berbentuk dialog antara nenek (nini ) dan cucu ( putu ) yang mengandung makna  paling  syarat  dan sangat dalam dimana mereka memberi amanat yang sangat bijak agar  anak cucu mereka  senantiasa ingat  dan tetap saling mmengasihi sesama, tidak bersikap kikir kepada siapapun.  Dengan kalimat  Nini njaluk segane, putu kae salang ,menggambarkan sikap tetap  peduli  berbagi  ketika mereka sudah sejahtera, memberi kepada yang membutuhkan  dengan  iklas  tanpa  ada  tendensi  apapun.
 Namun demikian mereka diajari juga untuk  tetap berusaha meskipun sudah tersedia apa yang diharapkannya. Dengan kalimat putu kae salang  yang melambangkan perintah untuk berusaha (mengambil sendiri di tempatnya, salang ), bukan harus  dilayani segalanya.  Apalagi  dengan munculnya kalimat Nini akeh semute , yang  disahut  dengan kalimat  kethokna griming-griming  yang bermakna bahwa tidak semudah  apa yang dibayangkan . Bahwa semua kemudahanpun pasti ada saja kendalanya, semut merupakan simbol gangguan yang harus dihadapi dengan dikethokna.

Demikian bijaknya dan tinggi  filosofinya tembang  tersebut  sehingga  setiap orang tua menimang anak-anaknya  dengan penuh harapan dan doa  bersama senandung tembang  Ceng-ceng mes. Mengingat betapa agung kandungan filosofinya bagi kehidupan manusia , semoga saja tembang tersebut tidak akan hilang tertelan Pok ame-ame@

BOCAH AJA MANGAN UMBUT

Mengenali Budaya Sendiri
Oleh  Riyadi 


Bocah aja mangan umbut,ora ilok. Demikian  petuah orang tua kita di  Banyumas disampaikan  kepada  anak cucu mereka ketika mereka melihat anak-anak hendak memakan umbut. Anak-anak pun menuruti nasehat itu tanpa mau tahu alasannya.
            Umbut adalah bagian pucuk atau tunas  dari tanaman kelompok palma terutama tanaman salak.  Pada tanaman sejenis kelapa ,pinang, aren, sagu, dan lainnya yang termasuk kelompok palma juga, umbut sering juga disebut pondhoh. Maka ada versi lain tentang ora ilok yang berbunyi ;  Bocah aja mangan pondhoh. Hal itu muncul sebagai varian saja.
            Orang tua kita tidak mampu menjelaskan tentang larangan tersebut ketika si anak menanyakan perihal alasannya. Namun meskipun tak mampu menjelaskannya mereka tetap  menasehati untuk tidak memakannya.
            Tentu bukan sekadar membuat larangan tanpa tujuan, melainkan ada makna yang seharusnya  kita cermati tentunya. Hanya saja orang tua kita pun tidak memahami  apa makna di balik itu. Yang  memahaminya tentu saja adalah para leluhur kita  yang pertama kali membuat ungkapan tersebut.
            Pesan dan nasehat terselubung  yang maha tinggi inilah  yang hingga saat ini tidak tersampaikan  kepada generasi kita  mengingat sudah terlalu jauh  jarak dan batas masanya antara kita dan leluhur  terdahulu. Maka perlu adanya jembatan untuk penghubung  di antara masa keduannya agar pesan makna tersebut dapat tertangkap oleh  generasi sekarang dan masa depan. Jembatan itu berupa telaah atau analisis.
            Ada dua kata kunci yang sebenarnya  perlu dikaji   lebih dalam. Kata mangan dan umbut keduanya dijadikan  simbol dan perlambangan oleh  nenek moyang kita. Sebagaimana telah ditelaah pada beberapa ungkapan ora ilok lain sebelumnya, bahwa kata mangan memiliki makna simbolik menikmati atau menjalani. Hanya saja dalam kontek ini, kata menikmati menjadi bermakna beda yang memiliki nilai rasa negatif  dibanding kata menikmati pada kontek lain secara umum.
            Umbut sebagaimana telah disinggung di atas adalah bagian atas atau pucuk tanaman salak dan sejenisnya. Bagian tanaman tersebut berfungsi sebagai titik  pertumbuhan dan merupakan lembaga daun sekaligus batang yang akan menambah ukuran panjang dan tinggi serta kwantitas  daun. Ketika umbut terpotong atau rusak, maka pertumbuhan pun menjadi terganggu. Bahkan tanaman itu pula bisa mati.
            Dalam kehidupan manusia umbut atau pondhoh disimbolkan sebagai harapan kehidupan masa depan. Gegayuhaning urip ( cita-cita ) yang terus  tumbuh menjulang ke atas tanpa batas disimbolkan oleh umbut dan pondhoh. Harapan hidup itu  tentulah yang bagus. Harapan hidup bahagia, sejahtera,  tentulah yang dikehendaki mereka. Umbut dan pondhoh sebagai lambang perjalanan asa  mereka  diharapkan akan terus tumbuh  hingga titik maksimal yang berujung dengan kesuksesan mecapai cita-cita. Titik maksimal umbut itulah  yang kelak akan disebut dengan keberhasilan gegayuhaning urip.
            Jika umbut rusak terpotong maka tanaman salak atau kelapa tidak akan dapat tumbuh sempurna dan maksimal. Dan titik maksimal gegayuhaning urip pun tidak akan  terwujud.  Inilah yang kelak akan disebut kegagalan. Maka  melalui perlambangan, umbut dan pondhoh sebagai pejalanan hidup di masa muda, orang tua kita menasehati dan mengingatkan agar tidak memakannya ( Aja mangan umbut ) agar kita dapat  tetap berjalan tumbuh maksimal mencapai gegayuhaning urip. Maknanya  kita tidak boleh  mengaggu terhadap diri kita sendiri dalam usaha  mencapai gegayuhaning urip. Menikmati ( mangan )  masa muda ( umbut ) dalam arti negatif adalah merusak perjalanan hidup manusia. Maka  dengan membiarkan ( ora mangan )  perjalanan hidup ( umbut ) itu maknanya sama dengan tidak mengganggu  usaha untuk meraih  cita-cita sendiri. Sebaliknya jika kita  makan ( mangan  umbut ) ini maknanya  sama dengan  merusak, mengganggu  usaha sendiri  dalam mencapai gegayuhaning urip yang dapat menyebabkan gagalnya kehidupan.
                Demikianlah kiranya makna terselubung yang memang dibungkus rapat oleh nenek moyang kita sebagaimana  budaya dan karakter masyarakat Jawa dan Banyumas khususnya yang selalu  memberi nasehat secara simbolis. Maka kurang bijaklah apabila kita menentang larangan tersebut setelah sedikit tahu akan makna yang terkandung dalam ungkapan ora ilok  tersebut. Sebab bukanlah  kita  dilarang  makan umbut atau pondhoh  secara  lugas, melainkan sesungguhnya kita  tidah boleh  mengganggu  atau menghalangi  usaha yang disebut nggayuh urip serta menghambur-hamburkan masa muda dengan bersantai- santai tanpa usaha.

                 Semoga  telaah ini dapat membuka cakrawala kita@

BOCAH AJA DIULUK-ULUKNA

Mengenali Budaya Sendiri
Ora Ilok :

Oleh  Riyadi 


Barangkali  anda pernah mendengar sebuah nasihat atau larangan  dari orang tua  yang berbunyi ; Bocah aja diuluk-ulukna.  Larangan itu akan diucapkan orang tua  kita  ketika mereka melihat anak-anak kecil diangkat tinggi-tinggi  hingga melewati kepala orang yang mengangkatnya.
Menguluk-ulukkan bocah, yang artinya menjunjung anak kecil hingga melalmpaui kepala orang yang menjunjungnya menjadi hal  pamali dilakukan  oleh  masyarakat Banyumas.  Mereka memberi rambu-rambu terhadap perbuatan  itu dengan ungkapan ora ilok yang meberi simyal tidak boleh dilakukan.
Memang  sangat mengherankan kenapa  hal itu menjadi larangan. Lebih mengherankan lagi ketika ditanya alasannya dan mereka tak bisa menjelaskannya. Tetapi bukan  untuk diperdebatkan bila mereka melarang tanpa bisa menjelaskan alasannya, melainkan lebih bijak untuk mengkajinya lebih lanjut.
Sebenarnya ada satu kata  saja yang menjadi kunci , tetapi dengan satu kata itu  dapat menjalin kata-kata lain hingga dapat memperjelas makna kata secara keseluruhan. Kata yang dimaksud adalah ngulukna, bentuk tanduk dari diulukna dari kata dasar (lingga ) uluk yang bermakna menjunjung sesuatu melampaui kepala.
Sebagaimana makna leksikal secara keseluruhan dari ungkapan ; Bocah aja diuluk- ulukna, ora  ilok, adalah larangan agar  kita tidak menjunjung anak kecil hingga melampaui kepala. Secara logika larangan ini memang cukup beralasan karena dapat  membahayakan keselamatan anak. Mereka khawatir si anak akan jatuh jika si orang tua kurang berhati-hati. Dan akibat  yang jelas dan nyata adalah  perasaan takut yang dialami pada anak-anak itu sendiri..
Berbeda lagi maknanya jika ditelaah  secara simbolisme.  Kata diuluk-ulukna menjadi bermakna lain  dari pada  makna di atas. Kata diuluk-ulukna menyimbolkan makna menyanjung berlebihan,  menyayang berlebihan,  memanja berlebihan, dan sejenisnya. Sikap menyanjung,  memanja, dan kasih sayang berlebihan terhadap anak akan berefek kurang baik. Salah satu efek yang kurang baik itu antara lain anak tidak mau menghormati orang lain, orang tua, atau orang yang lebih tua. Sikap berani melawan orang tua, menentang nasehat orang yang lebih tua,  merupakan contoh-contoh efek  yang ditimbulkan dari  diuluk-ulukna itu.
Satu hal yang paling mendasar dari makna diuluk-ulukna adalah melampaui  kepala orang lain. Kepala  yang merupakan simbol  kehormatan orang ( terutama kepala orang tua )  menjadi simbol kehormatan  yang paling hakiki yang paling harus dihormati. Maka jika ada sesuatu benda  ( misalkan tangan ) orang lain yang akan melampaui kepala orang tua tentulah itu menjadi pamali. Dalam keadaan  yang sangat terpaksa orang  Banyumas akan memohon dengan seribu hormatnya dengan ungkapan numun sewu ( maaf ) secara tulus.
      Maka jika anak-anak dijunjung tinggi-tinggi ( diuluk-ulukna) ini berarti si anak telah naik melampaui kepala orang dewasa. Bukan saja bagian tangan yang telah melampaui ketinggian kepala melainkan badan serta anggota tubuh yang lain pun ikut serta melampaui kepala. Termasuk juga kaki.  Inilah yang dikhawatirkan orang tua bahwa anak-anak akan bersikap berani melampaui hehormatan orang tua dalam arti seluas-luasnya.
Kekhawatiran itu tidak hanya sampai di situ saja sebab makna itupun masih terlalu sempit. Makna yang lebih luas sebenarnya  sudah dapat terlihat melalui telaah di atas.  Melalui ungkapan itu anak-anak diharapkan tidak memiliki sikap yang melampaui kehormatan orang lain. Bukan hanya orang tua saja melainkan kehormatan siapapun. Maka sejak dini  mereka dididik untuk selalu menghormati kehormatan siapapun.. Melalui ungkapan; ora ilok ;Bocah aja diuluk-ulukna , sesungguhnya mereka tengah menanamkan sikap luhur kepada anak-anak mereka tentang pentingnya menghargai orang lain. Kehormatan  bermacam-macam bentuknya. Kehormatan manusia  bisa berupa  nama baik ,jabatan, status sosial, dan lain-lain. Itulah yang harus dihormati.
Maka jelaslah sekarang, inti dari ajaran  yang terdapat dalam ungkapan ora ilok ;Bocah aja diuluk-ulukna adalah ajaran yang maha luhur dan sangat bijak dari orang tua kita kepada anak-anak agar senantiasa menghormati kehormatan orang lain.
Falsafah hidup orang Banyumas yang senantiasa ndhasar, andhap asor, bersahaja, tampaknya termuat  dalam  ungkapan ora ilok tadi dan ditanamkan kepada anak-anak semenjak bayi. Hanya sayangnya ajaran itu tidak disampaikan secara transparan sehingga orang tidak mengerti  jika tidak ditelaah. Ajaran itu sedemikian terselubungnya melalui simbol- simbol hingga generasi kita merasa tidak perlu menaatinya bahkan menganggap tahayul belaka.

Demikianlah satu ungkapan  ora ilok ; bocah aja diuluk-ulukna yang sesungguhnya sarat makna tetapi sering kali dianggap jadi tak bermakna karena hidup kitalah yang sebenarnya kurang bermakna. Mudah-mudahan melalui telaah sederhana ini  kita mau bersikap bijak, tidak mentertawakan  budaya sendiri karena ketidak mengertian kita, tetapi justru dapat merenungi  makna dan ajaran luhur  dari leluhur kita.