Senin, 05 Desember 2016

PRING PUGAG AJA NGGO GAWEAN

Mengenali Budaya Sendiri


Ada sebuah ungkapan ora ilok di masyarakat Banyumas yang berbunyi ; Pring pugag aja nggo gawean.Terjemahannya ; Bambu pugag ( tanpa ujung ) jangan untuk membuat sesuatu. Ungkapan  ora ilok ini  disampaikan kepada siapapun  yang akan membuat sesuatu menggunakan  pring pugag.
Pring pugag adalah  bambu yang tidak sempurna pertumbuhannya. Bagian ujung  atau pucuk tunas bambu tersebut patah ketika masa pertumbuhan. Akibatnya pertumbuhan tidak sempurna harena pertumbuhannya  berpusat pada bagian pangkal saja. Secara fakta memang  masih dapat  tumbuh, bertambah tinggi dan bertambah besar. Tetapi karena ujungnya  tidak ada maka terjadi pertumbuhan di bagian bawah.
Pring pugag bentuknya memang cenderung lurus karena beban di ujung tidak ada. Ukurannya pun cenderung besar dikarenakan sentral  pertumbuhannya di bawah. Sepintas tampak bagus. Tetapi  karakteristik bambu itu sangat berbeda dengan bambu yang tidak pugag. Meski besar dan tampak lurus  bagus tetapi tidak memiliki  kualitas seperti bambu umumnya. Teksturnya sangat renyah, mudah pecah,serta memiliki kandungan  air yang relatif  tinggi.
Mengingat sifat bambu  itu yang tidak berkualitas maka pantaslah jika  orang  Banyumas menyarankan  untuk tidak memanfaatkannya  sebagai bahan pembuatan perabot ataupun  barang  apapun. Dan itu  sangat  bisa diterima secara akal oleh siapapun.
Hanya saja permasalahannya menjadi berbeda ketika anjuran  dan saran itu menjadi sebuah  ungkapan yang tergolong ora ilok. Anjuran itu kini menjadi berubah nilainya.  Bukan sekadar larangan berdasar atas  rendahnya  kualitas ,akan tetapi menjadi larangan yang bernilai magis.  Anjuran tersebut menjadi lebih bersifat mengikat  dan diyakini  masyarakat karena diancam oleh sebuah akibat tertentu yang tidak dijelaskan secara kongkrit.
Sesungguhnya ada pesan tersembunyi di balik ungkapan tersebut. Pring pugag adalah simbol dari sebuah kegagalan hidup manusia. Pucuk bambu yang idealnya  tumbuh menjulang tinggi ke atas melambangkan perjalanan kehidupan manusia di mana mereka memiliki tujuan yang hendak dicapainya. Cita- cita manusia  dilambangkan  seperti  pertumbuhan bambu  yang terus meninggi ke atas. Usaha  manusia  untuk menggapainya itulah seperti  pucuk bambu.
Jika pucuk bambu itu patah atau rusak  maka pertumbuhanpun terhambat. Cita –cita manusia yang patah di tengah  proses perjalanan  sama  artinya dengan  kegagalan.  Kegagalan  dapat disebut juga balo. Balo dalam bahasa jawa  lebih bermakna  negatif.  Jika gagal maknanya  bisa  diulang kembali, tetapi jika balo maknanya lebih tinggi dari pada  gagal yakni bantat, susah untuk diulang kembali atau bahkan tidak bisa diulang lagi.
Ujung bambu yang patah ketika masa pertumbuhan   tidak dapat disamakan dengan kegagalan, tetapi lebih tepat dikatakan balo karena tidak akan dapat disambung kembali agar tumbuh sempurna. Itulah yang dimaksud pugag.
Kehidupan manusia yang balo ( bukan gagal ) akan menghasilkan  manusia balo juga. Hal itulah yang disimbolkan dengan pring pugag. Ke-balo-an hidup manusia bisa bermacam-macam  wujudnya.  Ada yang balo dalam menempuh pendidikan, balo  dalam berkarier, balo dalam berumah tangga, dan sebagainya. Manusia- manusia balo umumnya dianggap  kurang berkualitas.
 Demi pertimbangan itulah orang Banyumas melarang atau menghindari siapapun  untuk memanfatkan manusia –manusia balo. Manusia- manusia balo tidak dapat dijadikan atau diandalkan untuk  sesuatu yang penting sifatnya mengingat  kualitas hidup mereka yang kurang baik. Maka orang Banyumas menghindari  manusia- manusia balo ( pring pugag ) itu  untuk dijadikan sesuatu ( nggo gawean ). Maknanya  manusia- manusia semacam itu kurang tepat untuk menjadi pemimpin, tokoh, dan sebagainya.
Begitu waspadanya orang- orang Banyumas  dalam mengamati kehidupan hingga mereka selalu  menghindari sesuatu  hal  yang diprediksi  akan membawa ketidak baikan bagi dirinya maupun orang lain.

 Hanya apa yang mereka khawatirkan  tidak pernah mereka ucapkan terang- terangan karena  sifat mereka yang  senantiasa  rikuh pekewuh dan senantiasa  menjaga perasaan orang lain. Karena itulah mereka memilih bahasa simbol untuk mengatakan yang sesungguhnya agar tidak menyinggung perasaan orang lain@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar