Mengenali
Budaya Sendiri
Oleh  :  Riyadi, S.Pd.

Ceng-ceng mes,  Ora kidang ora memes, Memese jangan pare, Kepaiten
mele-mele, Ciluk bauwa...!
Nemu  suluh gulungan, Nemu  godhong kompetan, Nemu jamur umbukan
Nini njaluk segane, Putu
kae salang, Nini akeh semute, Kethokna 
griming-griming...!
Barangkali kita pernah mendengar  tembang 
di atas. Meski sudah agak lama kita tak melantunkannya  namun agaknya dapat  kita kenali lagi manakala kita dengar ada
orang yang melantunkannya.
Dulu 
sering  kita  jumpai 
para  orang  tua di Jawa mendendangkan  tembang itu ketika mereka sedang
bercengkerama dengan  si kecil anak cucu
mereka.  Rasanya begitu enak  dinikmatinya  tembang  itu seraya  guyon
dengan si buah hatinya yang masih sedang belajar bicara. Entah tahu atau tidak
makna tembang  itu, yang jelas
mereka  saat itu dapat bercengkerama  meluapkan perasaan sukanya  seraya mengajari anak menggerakkan kedua tangannya
 untuk  bertepuk-tepuk membentuk ritma untuk
mengiringi melodinya.
Jenis foklor masyarakat  Jawa 
tersebut mungkin senada dengan 
foklor  masyarakat  Betawi  yang
sering kita dengar  dengan judul  Pok
ame-ame , tetapi saya menduga  bahwa
tembang  Pok ame-ame  merupakan  adopsi dari tembang Ceng-ceng mes  sebab berdasarkan fakta, tembang Ceng-ceng mes  jauh sudah ada sebelum tembang  Pok
ame-ame.
Tanpa bermaksud membanding-bandingkan ke dua foklor  tersebut  tetapi  saya sendiri 
lebih merasa  tertarik  untuk menelaah tembang  Ceng-ceng
mes  ketimbang yang satunya.  Masalahnya jika diperhatikan ,dicermati dengan  saksama,kandungan filosofinya sangat  tinggi , jadi bukan nyanyian belaka yang
dilantunkan sekadar untuk bersuka-suka,  melainkan memiliki makna sangat mendalam
sebagai sarana edukasi terhadap anak.
Ada dua fase kehidupan manusia  yang dilambangkan  melalui 
syair tembang tersebut jika kita cermati. Fase kehidupan pertama  tersirat di dalam bait pertama sedangkan fase
ke dua tersirat di dalam  bait ke dua dan
ke tiga di mana keduanya saling terkait sehingga membentuk jalinan kehidupan
manusia yang runtut dan petuah yang bermakna bagi orang Jawa khususnya.
Fase pertama tersirat pada bait pertama yang
berbunyi;  Ceng –ceng mes, ora kidang
ora memes, memese jangan pare, kepaiten
mele-mele.
Sungguh susah dimengerti  makna  setiap kata-katanya, di samping ada beberapa
kata yang tidak memiliki arti secara leksikal juga susah dipahami  secara kontekstual. Kata-kata semacam ; ceng,mes,memese, tidak dapat ditemukan
di dalam kamus Dialek Banyumas, juga tidak ada informan yang mengetahui
maknanya . Hanya saja ketika kata-kata tersebut 
digabung  menjadi rangkaian puisi
dan kita telaah secara menyeluruh, baru ada 
gambaran yang dapat dimengerti 
tentang  keterkaitan  masing- masing kata sehingga dapat dimengerti  makna sesungguhnya.
Lambang kehidupan manusia sengsara di fase  pertama 
digambarkan dengan kata  memese jangan pare kepaiten mele-mele.
Tidak begitu jelas keterkaitan antara kata ceng-ceng
mes dengan kata ora kidang ora mames,
tetapi agaknya keduanya sengaja dimunculkan sebagai sarana untuk menimbulkan
efek bunyi  atau  efoni yang dapat terdengar indah serta
seirama dengan bunyi tepuk tangan dimana tepuk tangan tersebut menyimbolkan
kehampaan dan kekosongan hidup sebagaimana yang dialami manusia  pada umumnya. Kehidupan yang hampa itu makin
tersirat jelas manakala dihubungkan 
dengan kata ora kidangora memes
yang bermakna tidak sama sekali atau tidak apapun. Maknanya tidak kidang tidak pula memes.
Bait  pertama
merupakan bait awal yang melambangkan awal kehidupan manusia  juga. Orang Jawa memang umumnya mengambil
sisi phit lebih dulu dalam kehidupannya. Meski doa dan harapan mereka tetap
yang manis tetapi merek tidak pernah mengungkapkan kemanisannya secara terus
terang. Maka petuah mereka kepada anak cucunya 
agar mereka  selalu  siap menghadapi kepahitan sekalipun. Berakit-rakit kehulu, demikian ajarannya
.
Bait ke dua adalah gambaran kehidupan manusia  di fase ke dua untuk dapat berenang ke tepian. Dan orang tua
memberi nasehat dengan kata ciluk bauwa
sebagai batas  antara fase pertama dan ke
dua yang menyimbolkan perubahan nasib kehidupan mereka dari kehampaan dan
keprihatinan menjadi kebahagiaan dan kemakmuran. Dari tak kelihatan  menjadi kelihatan, dari  tak ada menjadi ada.
Kebahagiaan inilah yang digambarkan dengan kalimat nemu  suluh
gulungan ,nemu  godhong kompetan,nemu jamur umbukan yang
bermakna serba ada dan serba banyak. Kata nemu
yang berarti menjumpai melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan seseorang.
Gulungan,kompetan
,dan umbukan adalah 
simbol  dari satuan suluh ( kayu bakar ),godhong ( daun ),dan jamur.  Semuanya melambangkan kemakmuran dan
kesejahteraan  hidup seseorang.
Bait terakhir berbentuk dialog antara nenek (nini ) dan cucu ( putu ) yang mengandung makna  paling  syarat  dan sangat dalam dimana mereka memberi amanat
yang sangat bijak agar  anak cucu
mereka  senantiasa ingat  dan tetap saling mmengasihi sesama, tidak
bersikap kikir kepada siapapun.  Dengan
kalimat  Nini njaluk segane, putu kae
salang ,menggambarkan sikap tetap 
peduli  berbagi  ketika mereka sudah sejahtera, memberi kepada
yang membutuhkan  dengan  iklas  tanpa  ada
 tendensi  apapun.
 Namun
demikian mereka diajari juga untuk  tetap
berusaha meskipun sudah tersedia apa yang diharapkannya. Dengan kalimat putu kae salang  yang melambangkan perintah untuk berusaha
(mengambil sendiri di tempatnya, salang
), bukan harus  dilayani segalanya.  Apalagi  dengan munculnya kalimat Nini akeh semute , yang  disahut
 dengan kalimat  kethokna
griming-griming  yang bermakna bahwa
tidak semudah  apa yang dibayangkan .
Bahwa semua kemudahanpun pasti ada saja kendalanya, semut merupakan simbol gangguan yang harus dihadapi dengan dikethokna.
Demikian bijaknya dan tinggi  filosofinya tembang  tersebut 
sehingga  setiap orang tua
menimang anak-anaknya  dengan penuh
harapan dan doa  bersama senandung
tembang  Ceng-ceng mes. Mengingat betapa agung kandungan filosofinya bagi kehidupan
manusia , semoga saja tembang tersebut tidak akan hilang tertelan Pok ame-ame@
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar