Senin, 05 Desember 2016

MENYINGKAP FILOSOFIS JAWA DI BALIK TEMBANG DHAYOHE TEKA

Mengenali budaya Sendiri
Oleh   Riyadi


Betapa asyiknya  ketika anak- anak Jawa  bermain-main seraya menyanyikan tembang  Dhayohe Teka. Serasa tak ada beban yang menggelayuti kehidupan mereka meski  keadaan mereka sesungguhnya sangat kurang beruntung karena  pada saat itu masih dalam suasana penjajahan. Tetapi dengan melantunkan tembang itu seakan terlepas semua beban yang menghimpitnya.
Tembang  Dhayohe Teka  secara turun-temurun diwariskan dari nenek moyang mereka tanpa  pernah mengerti betapa besar kandungan nilainya. Mereka  hanya menerima sebagai sarana  bersuka cita untuk mengurangi  duka lara yang dirasakan mereka.
Tembang  Dhayohe Teka yang berbunyi :
E ..., dhayohe teka, e... , gelarna klasa
E... , klasane bedah, e... , tambalen jadah
E...,  jadahe mambu,  e ..., empakna asu
E... , asune mati, e... , buangen kali
E... , kaline  banjir , e ..., buangen pinggir
Dilihat sepintas tembang itu tersusun atas  lima larik di mana kelimanya berbentuk dialog yang enak  dibunyikan  dan didengar. Pencitraan bunyi yang digunakan dalam tembang tersebut sungguh sangat tinggi nilainya. Setiap  kalimat diawali dengan  kata  E...  secara repetisi  yang menyebabkan pendengar  tertarik perhatiannya. Selanjutnya  semua diakhiri dengan persajakan yang terpadu sehingga terasa nyaman dinikmati.
Dengan  memparafrasekan dan menelaah tembang tersebut  mungkin dapat sedikit menyingkap makna dan pesan yang terkandung  di dalamnya. Maka  telaah  berikut ini bertujuan  untuk memahami atas kandungan maknanya .
Baris pertama berbunyi ; E... , dhayohe teka, menggambarkan  tentang seseorang yang kedatangan tamu. Tamu di sini adalah tamu yang benar-benar sudah ditunggu kedatangannya. Kata dhayohe berbeda dengan ana dhayoh.
Jika  kalimat itu berbunyi ana dhayoh teka, maknanya  dhayoh ( tamu )  yang datang belum tentu atau tidak diketahui  oleh si Tuan rumah sebelumnya. Tetapi kata dhayohe teka bermakna si tamu sudah diketahui sebelumnya. Dengan kata lain si Tuan rumah sudah mengetahui akan datangnya tamu. Mengingat  si Tuan rumah sudah tahu akan kedatangan tamunya maka segala yang berkaitan  dengan tamu tersebut  sudah dipersiapkan semua.
Tamu bagi masyarakat Jawa merupakan sosok manusia yang  harus diberi penghormatan istimewa dari si tuan rumah. Siapapun  manusia yang disebut tamu kehadirannya merupakan  penghormatan besar bagi si tuan rumah, maka penghormatan balik, wajib sifatnya sebagai balasan. Penghormatan  balik sifatnya relatif tetapi siapapun orang yang menjadi tuan rumah akan merasa bangga jika  dirinya mampu  mengistimewakan tamunya.
Tamu di sini merupakan perlambangan dari sesuatu yang  berharga, dihormati dan diistimewakan. Maknanya luas sekali. Maka  tamu harus disambut ( gelarna klasa ) sebagai simbol penghormatan .
Nggelar klasa  merupakan bentuk penghormatan. Sebagaimana  adat menerima tamu bagi masyarakat Jawa yang dikenal dengan istilah gupuh, lungguh, dan suguh. Gupuh  maknanya adalah sikap ramah tamah dari si tuan rumah. Lungguh maknanya penghormatan berupa pemberian tempat duduk yang nyaman. Sedangkan suguh bermakna  penghormatan dalam bentuk sajian atau jamuan makan dan minum. Nggelar klasa berarti menyediakan tempat tetapi  lengkap dengan suguh yang disajikan dengan gupuh  ( ramah tamah ). Jadi kata nggelar klasa justru maknanya lebih luas dari pada sekadar nggelar klasa menyediakan tempat duduk.
Baris ke dua berbunyi ; E... klasane bedhah ( tikarnya sobek ) memberi gambaran bahwa apa yang  yang hendak disuguhkan untuk tamu ternyata tidak sempurna ( bedhah ). Kata bedhah  melambangkan kekurangan ,  ketidaksempurnaan, kesederhanaan atau kekurang layakan. Masih bertujuan untuk penghormatan maka mereka disarankan untuk  memperbaikinya ( tambalen ). Bahkan untuk  melengkapinya  disarankan  nambal dengan jadah, yang melambangkan sesuatu yang sangat berharga pula. Jadah , jenang atau dhodhol adalah jenis makanan yang bernilai tinggi di masyarakat Jawa.
Baris ke tiga  berbunyi ; E... jadahe mambu dan disahut dengan E.. empakna asu, memberikan gambaran makna jika sampai  terjadi sesuatu  yang berharga  itu pun rusak ( mambu ) maka disarankan untuk melepaskan kerusakan  dan membuangnya ke tempat yang semestinya.
Makna yang dapat diambil dari  kalimat tersebut adalah manusia  harus dapat menempatkan atau mengelompokkan dan memilih antara kebaikan dan  keburukan. Keburukan harus disingkirkan ke tempat yang buruk pula  yang disimbolkan dengan binatang anjing ( asu ) yang menurut anggapan mereka adalah binatang kotor atau bahkan najis.
E...asune mati, e... buangen kali, merupakan bunyi baris ke empat yang  menggambarkan  bahwa tempat yang kotor pun sudah  tidak berfungsi lagi ( mati ). Dalam hal seperti itu manusia  disarankan untuk bersikap bijak untuk lebih memilih cara yang lebih baik lagi yaitu membersihkan atau menyucikannya. Maknanya segala sikap dan perilaku yang kotor bukan untuk diketahui saja melainkan harus disucikan atau diganti dengan kebaikan dan kemuliaan.
 Ini disimbolkan dengan membuangnya ke sungai ( buangen kali ). Buangen kali maknanya perintah  membersihkan.  Kotoran  jiwa yang berupa perilaku  yang tidak mulia harus dihanyutkan ke kali sebagai simbol penyucian diri.
Baris terkhir berbunyi ;  E... kaline banjir, e... buangen pinggir, menggambarkan sesuatu yang besar atau tinggi ternyata sulit untuk dijangkau oleh yang kecil atau yang rendah. Maknanya untuk menghanyutkan   atau mengubah perilaku manusia yang  kotor tidaklah dapat dilakukan  dengan serta merta dan seketika ( banjir ) melainkan harus dilakukan secara sabar, sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan sehingga tidak mengejutkan mereka. Jika di tengah banjir itu tidak bisa melakukannya  maka  mulailah dari tepi ( pinggir ). Jangan membuang dari tengah tapi awalilah dari tepi, sedikit demi sedikit. Maknanya, untuk mengubah perilaku jelek manusia  haruslah secara sedikit- sedikit, tidak perlu terburu-buru harus cepat berhasil secara total.
Demikianlah  makna tembang tersebut  jika diterjemahkan, difarafrasekan dan ditelaah melalui perlambangan. Dengan  begitu  makna  dan pesan yang terkandung pun sedikit dapat terkuak.
Hanya saja bukan makna itu saja yang  dapat ditemukan . Ada makna lain yang dapat  ditemukan  selain makna di atas. Jika diperhatikan  bentuk dialog dari tembang tersebut  memberikan gambaran tentang filosofis hidup masyarakat Jawa yang senantiasa sabar, tidak putus asa, dan bersikap tenang dan santai. Mereka meyakini  semua masalah dalam hidup manusia pasti mempunyai solusinya. Hidup tidak perlu dibuat pusing-pusing tetapi harus dihadapi dengan ketenangan.
Hal itu dapat dilihat dalam dialog tembang tersebut setiap barisnya. Tampak  dalam setiap baris  disuguhkan tentang masalah atau problem hidup, kemudian disuguhkan pula solusinya.
Bila dicermati  dalam setiap baris  ,terdapat masalah, kemudian diberi pemecahannya  secara santai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat kalimat per kalimat berikut ini.
Baris  pertama ada masalah dhayohe teka, solusinya adalah gelarna klasa. Maknanya masalah sudah terselasaikan. Baris ke dua ada masalah; klasane bedhah, selanjutmya diselesaikan dengan : tambalen jadah. Masalahpun selesai pula. Demikian di baris berikutnya sampai terakhir. Jadahe mambu solusinya empakna asu. Asune mati menjadi masalah, maka solusinya buangen kali. Terakhir masalah; kaline banjir pun dapat diselesaikan dengan buangen pinggir. Maknanya dari sekian masalah tak ada satupun yang tak ada solusinya. Dan menariknya semua masalah terselesaikan dengan demikian santainya.
Begitulah filosofis masyarakat Jawa. Setiap masalah hidup pasti ada pemecahannya. Dan solusinyapun terasa amat sederhana .
 Pencitraan rasa dapat kita  jumpai manakala tembang itu dilantunkan sehingga membuat kita tidak berputus asa atau frustasi dalam menghadapi masalah. Tak ada masalah yang tak dapat  teratasi. Begitulah salah satu amanatnya@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar