Mengenali budaya
Sendiri
Oleh Riyadi
Betapa
asyiknya ketika anak- anak Jawa bermain-main seraya menyanyikan tembang Dhayohe
Teka. Serasa tak ada beban yang
menggelayuti kehidupan mereka meski
keadaan mereka sesungguhnya sangat kurang beruntung karena pada saat itu masih dalam suasana penjajahan.
Tetapi dengan melantunkan tembang itu seakan terlepas semua beban yang
menghimpitnya.
Tembang
Dhayohe
Teka secara turun-temurun diwariskan
dari nenek moyang mereka tanpa pernah
mengerti betapa besar kandungan nilainya. Mereka hanya menerima sebagai sarana bersuka cita untuk mengurangi duka lara yang dirasakan mereka.
Tembang Dhayohe
Teka yang berbunyi :
E ..., dhayohe teka, e... , gelarna
klasa
E... , klasane bedah, e... ,
tambalen jadah
E..., jadahe mambu,
e ..., empakna asu
E... , asune mati, e... , buangen
kali
E... , kaline banjir , e ..., buangen pinggir
Dilihat
sepintas tembang itu tersusun atas lima
larik di mana kelimanya berbentuk dialog yang enak dibunyikan
dan didengar. Pencitraan bunyi yang digunakan dalam tembang tersebut
sungguh sangat tinggi nilainya. Setiap
kalimat diawali dengan kata E...
secara repetisi yang menyebabkan
pendengar tertarik perhatiannya.
Selanjutnya semua diakhiri dengan
persajakan yang terpadu sehingga terasa nyaman dinikmati.
Dengan
memparafrasekan dan menelaah tembang
tersebut mungkin dapat sedikit
menyingkap makna dan pesan yang terkandung
di dalamnya. Maka telaah berikut ini bertujuan untuk memahami atas kandungan maknanya .
Baris
pertama berbunyi ; E... , dhayohe teka,
menggambarkan tentang seseorang yang kedatangan
tamu. Tamu di sini adalah tamu yang benar-benar sudah ditunggu kedatangannya.
Kata dhayohe berbeda dengan ana dhayoh.
Jika kalimat itu berbunyi ana dhayoh teka, maknanya dhayoh ( tamu ) yang datang belum tentu atau tidak diketahui
oleh si Tuan rumah sebelumnya. Tetapi kata dhayohe teka bermakna si tamu sudah diketahui sebelumnya. Dengan
kata lain si Tuan
rumah sudah mengetahui akan datangnya tamu. Mengingat si Tuan
rumah sudah tahu akan kedatangan tamunya maka segala yang berkaitan dengan tamu tersebut sudah dipersiapkan semua.
Tamu
bagi masyarakat Jawa merupakan sosok manusia yang harus diberi penghormatan istimewa dari si
tuan rumah. Siapapun manusia yang
disebut tamu kehadirannya merupakan
penghormatan besar bagi si tuan rumah, maka penghormatan balik, wajib
sifatnya sebagai balasan. Penghormatan
balik sifatnya relatif tetapi siapapun orang yang menjadi tuan rumah
akan merasa bangga jika dirinya
mampu mengistimewakan tamunya.
Tamu
di sini merupakan perlambangan dari sesuatu yang berharga, dihormati dan diistimewakan. Maknanya
luas sekali. Maka tamu harus disambut ( gelarna klasa ) sebagai simbol
penghormatan .
Nggelar klasa merupakan bentuk penghormatan.
Sebagaimana adat menerima tamu bagi
masyarakat Jawa yang dikenal dengan istilah gupuh,
lungguh, dan suguh. Gupuh
maknanya adalah sikap ramah tamah dari si tuan rumah. Lungguh maknanya penghormatan berupa
pemberian tempat duduk yang nyaman. Sedangkan suguh bermakna penghormatan
dalam bentuk sajian atau jamuan makan dan minum. Nggelar klasa berarti menyediakan tempat tetapi lengkap dengan suguh yang disajikan dengan gupuh
( ramah tamah ). Jadi kata nggelar klasa justru maknanya lebih luas
dari pada sekadar nggelar klasa
menyediakan tempat duduk.
Baris
ke dua berbunyi ; E... klasane bedhah
( tikarnya sobek ) memberi gambaran bahwa apa yang yang hendak disuguhkan untuk tamu ternyata
tidak sempurna ( bedhah ). Kata bedhah
melambangkan kekurangan , ketidaksempurnaan,
kesederhanaan atau kekurang layakan. Masih bertujuan untuk penghormatan maka
mereka disarankan untuk memperbaikinya ( tambalen ). Bahkan untuk melengkapinya
disarankan nambal dengan jadah, yang
melambangkan sesuatu yang sangat berharga pula. Jadah , jenang atau dhodhol adalah jenis makanan yang
bernilai tinggi di masyarakat Jawa.
Baris
ke tiga berbunyi ; E... jadahe mambu dan disahut dengan E.. empakna asu, memberikan gambaran makna jika sampai terjadi sesuatu yang berharga
itu pun rusak ( mambu ) maka
disarankan untuk melepaskan kerusakan
dan membuangnya ke tempat yang semestinya.
Makna
yang dapat diambil dari kalimat tersebut
adalah manusia harus dapat menempatkan
atau mengelompokkan dan memilih antara kebaikan dan keburukan. Keburukan harus disingkirkan ke
tempat yang buruk pula yang disimbolkan
dengan binatang anjing ( asu ) yang
menurut anggapan mereka adalah binatang kotor atau bahkan najis.
E...asune mati, e...
buangen kali,
merupakan bunyi baris ke empat yang menggambarkan
bahwa tempat yang kotor pun sudah
tidak berfungsi lagi ( mati ).
Dalam hal seperti itu manusia disarankan
untuk bersikap bijak untuk lebih memilih cara yang lebih baik lagi yaitu
membersihkan atau menyucikannya. Maknanya segala sikap dan perilaku yang kotor
bukan untuk diketahui saja melainkan harus disucikan atau diganti dengan
kebaikan dan kemuliaan.
Ini disimbolkan dengan membuangnya ke sungai ( buangen kali ). Buangen kali maknanya perintah membersihkan.
Kotoran jiwa yang berupa
perilaku yang tidak mulia harus
dihanyutkan ke kali sebagai simbol penyucian diri.
Baris
terkhir berbunyi ; E... kaline banjir, e... buangen pinggir,
menggambarkan sesuatu yang besar atau tinggi ternyata sulit untuk dijangkau
oleh yang kecil atau yang rendah. Maknanya untuk menghanyutkan atau
mengubah perilaku manusia yang kotor tidaklah
dapat dilakukan dengan serta merta dan
seketika ( banjir ) melainkan harus
dilakukan secara sabar, sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan sehingga tidak
mengejutkan mereka. Jika di tengah banjir
itu tidak bisa melakukannya maka mulailah dari tepi ( pinggir ). Jangan membuang dari tengah tapi awalilah dari tepi, sedikit
demi sedikit. Maknanya, untuk mengubah perilaku jelek manusia haruslah secara sedikit- sedikit, tidak perlu
terburu-buru harus cepat berhasil secara total.
Demikianlah makna tembang tersebut jika diterjemahkan, difarafrasekan dan
ditelaah melalui perlambangan. Dengan
begitu makna dan pesan yang terkandung pun sedikit dapat
terkuak.
Hanya
saja bukan makna itu saja yang dapat
ditemukan . Ada makna lain yang dapat
ditemukan selain makna di atas.
Jika diperhatikan bentuk dialog dari
tembang tersebut memberikan gambaran
tentang filosofis hidup masyarakat Jawa yang senantiasa sabar, tidak putus asa,
dan bersikap tenang dan santai. Mereka meyakini semua masalah dalam hidup manusia pasti
mempunyai solusinya. Hidup tidak perlu dibuat pusing-pusing tetapi harus
dihadapi dengan ketenangan.
Hal
itu dapat dilihat dalam dialog tembang tersebut setiap barisnya. Tampak dalam setiap baris disuguhkan tentang masalah atau problem
hidup, kemudian disuguhkan pula solusinya.
Bila
dicermati dalam setiap baris ,terdapat masalah, kemudian diberi
pemecahannya secara santai. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat kalimat per kalimat berikut ini.
Baris pertama ada masalah dhayohe teka, solusinya adalah gelarna
klasa. Maknanya masalah sudah terselasaikan. Baris ke dua ada masalah; klasane bedhah, selanjutmya diselesaikan
dengan : tambalen jadah. Masalahpun
selesai pula. Demikian di baris berikutnya sampai terakhir. Jadahe mambu solusinya empakna asu. Asune mati menjadi masalah, maka solusinya buangen kali. Terakhir masalah; kaline
banjir pun dapat diselesaikan dengan buangen
pinggir. Maknanya dari sekian masalah tak ada satupun yang tak ada
solusinya. Dan menariknya semua masalah terselesaikan dengan demikian
santainya.
Begitulah
filosofis masyarakat Jawa. Setiap masalah hidup pasti ada pemecahannya. Dan
solusinyapun terasa amat sederhana .
Pencitraan rasa dapat kita jumpai manakala tembang itu dilantunkan
sehingga membuat kita tidak berputus asa atau frustasi dalam menghadapi
masalah. Tak ada masalah yang tak dapat
teratasi. Begitulah salah satu amanatnya@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar