Mengenali Budaya Sendiri
Oleh : Riyadi
Satu
lagi mantera yang berbentuk tembang masyarakat
Jawa berbunyi ; Turu-turu ayam ,mburimu ana gaok, ngarepmu ana dok.
Mantera
tersebut biasanya dilafalkan oleh orang
– orang tua di Jawa dengan setengah bersenandung ketika hendak menidurkan
anak-anak mereka. Seraya digendong atau
dipangku mereka didengarkan mantera
tersebut berulang-ulang. Konon dengan mantera turu-turu ayam, si anak akan
segera tertidur dengan lelapnya. Demikian manjurnya mantera tersebut?
Meski
mantera tersebut hanya terdiri dari 3
baris pendek dan tersusun atas kata-kata yang sangat mudah dipahami maknanya
secara leksikal, tetapi terasa indah dan enak didengar karena menggunakan
pencitraan bunyi yang sedemikian tingginya. Efoni bunyi yang ditimbulkannya
memberi efek yang demikian harmonisnya membuat merdu didengar oleh anak-anak
dalam keadaan mengantuk.
Tidak
terlalu butuh waktu lama untuk mengartikan setiap kata yang ada di dalamnya
secara harfiah. Juga tidak ada hal yang terlalu istimewa jika diperhatikan
sepintas, tetapi jika dicermati lebih teliti tampak ada makna tersendiri yang tersembunyi di
dalamnya, dan makna itu mungkin dapat
bermakna dalam kehidupan.
Ada
beberapa kata yang dapat ditelaah melalui semiotikalogi yang dapat membuka
tabir makna dan amanat mantera tersebut.
Kata ; mburi, ngarep, gaok , dan dok memiliki fungsi simbolik yang harus
di telaah lebih lanjut.
Mburi dan ngarep yang keduanya saling berantonim
selain membentuk pencitraan yang harmonis juga sangat dalam maknanya. Ngarep merupakan simbol kehidupan yang
akan dihadapi oleh seeorang ( masa depan), sedangkan mburi merupakan simbol kehidupan yang sudah dilalui (masa lampau).
Keduanya dibatasi oleh masa yang disebut sekarang
yang disimbolkan dengan kata turu (tidur)
yang menggambarkan sebuah keadaan tak sadar atau mati dalam sesaat.
Di
sini orang tua mengingatkan kepada anak
cucu mereka untuk selalu menengok / melihat dan mengintrospeksi diri terhadap
kehidupan baik yang sudah dilalui maupun yang akan dihadapi. Ngarepmu dan mburimu bermakna kehidupan yang akan dijalani dan yang sudah
dijalani.
Hal itu dilakukan mengingat terkadang manusia
lalai (tertidur) dengan masa lalu dan masa yang akan datang dikarenakan dirinya
sedang menjalani kehidupan yang disebut dengan sekarang.
Kata gaok
dan dok
yang merupakan nama sejenis burung akan terdengar enak pula
manakala diucapkan karena keduanya memiliki kesamaan persajakan. Gaok dan
dan dok ( burung gagak dan burung elang)
keduanya merupakan jenis burung buas pemangsa daging. Kedua burung tersebut
dalam mantera ini menyimbolkan ancaman , musuh, dan segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
Ancaman kehidupan memiliki arti yang sangat
luas, baik ancaman terhadap harta, jiwa,
pikiran, mental, dan lain-lain. Semua
itu disimbolkan dengan burung dok dan gaok yang menakutkan baik secara rupa, bunyi , maupun perilaku.
Ketika kata-kata itu teruntai menjadi sebuah
bentuk mantera ( puisi ), kemudian dimaknai, ditelaah secara rinci dan kontekstual maka akan terbentuk makna yang sangat luhur.
Turu-turu
ayam yang merupakan baris pertama, adalah kalimat seruan, perintah ajakan
serta perumpamaan yang sekali gus peringatan
kapada segenap manusia( ayam)
agar sadar akan sesuatu sebelum mereka
tidak sadar (turu ).
Adapun sesuatu
yang dimaksud adalah tentang kehidupan mereka ( yang termaktub dalam
baris ke dua dan ke tiga). Kehidupan yang akan datang ( ngarepmu) dan kehidupan
yang sudah dijalani ( mburimu ).
Kenapa
manusia harus diingatkan atau disadarkan? Karena di depan dan di belakang kehidupan mereka senantiasa ada ancaman atau bahaya yang selalu mengintai ( gaok dan dok ).
Secara keseluruhan
mantera tersebut mengandung
amanat agar manusia selalu bersikap
waspada dalam menghadapi kehidupan yang akan dijalani dan selalu berkaca
terhadap kehidupan yang telah dilalui sebagai penara. Maka hidup harus hati-hati. Jangan sampai lengah
sehingga terhindar dari mara bahaya dan
ancaman yang selalu mengintai (gaok dan
dok ).
Demikianlah inti dan amanat dari mantera yang diucapkan orang tua kita ; Turu-turu ayam. Jadi apapun bentuk
mantera yang diucapkan para leluhur kita sesungguhnya bukan sekadar bunyi-bunyian tanpa
makna sebagai pelipur lara atau bentuk menakut-nakuti saja, melainkan tetaplah
berisi nasihat luhur untuk anak cucu mereka.
Sebagaimana
mantera di atas,bukan berarti si anak tak akan mau tidur tanpa mantera itu, tetapi sesungguhnya orang tua tengah membekali
anak-anak mereka dengan nasehat luhur agar mereka senantiasa waspada, hati-hati
dalam menghadapi kehidupan, sebab setiap langkah kehidupan mereka selalu ada
ancaman baik yang tampak maupun
tersembunyi. Hanya saja nasehat tersebut
tersirat adanya sehingga banyak yang tak dimengerti oleh sebagian
masyarakat.
Semoga
telaah melalui pendekatan semiotikalogi
terhadap mantera masyarakat Jawa ini dapat memberikan sedikit makna bagi kita serta membekali sikap arif
terhadap khasanah budaya Jawa warisan leluhur kita@
Riyadi,S.Pd.
Pendidik dan pemerhati budaya Jawa.
Tinggal di Jl. Buntu Pasirmuncang
RT 06/04 Purwokerto Barat-53137
No HP. 081542722864