Senin, 31 Oktober 2016

ANDA MALU BERBAHASA BANYUMASAN?*

            
    Oleh ; Riyadi
Tanggal 25 hingga 27 Oktober ini baru dilangsungkan Kongres I Basa Penginyongan yang dilaksanakan di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini tentu berkaitan dengan peringatan bulan bahasa. Adapun tujuannya tentu untuk menggairahkan semangat mengembangkan bahasa, khususnya dialek Banyumas yang mulai luntur  di kalangan generasi muda. Hal ini terlihat dari kenyataan  di masyarakat, sebagian anak muda utamanya yang tinggal di perkotaan sudah jarang yang mau menggunakan dialek Banyumasan dalam kesehariannya. Hal itu sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup dialek Banyumas.
Kekhawatiran Bupati Banyumas yang pernah diungkapkan pada saat diselenggarakan seminar bertajuk Bahasa Penginyongan  beberapa bulan lalu tentu tidak hanya dirasakan  dirinya saja, melainkan dirasakan pula oleh berbagai pihak utamanya mereka yang peduli dengan budaya Banyumas. Oleh karena itu pemerintah daerah melalui lembaga yang berkompeten  terus mengupayakan berbagai cara untuk menghidupkan dialek Banyumas.
Saat ini penggunaan dialek Banyumas memang masih kalah bersaing dari bahasa gaul. Terutama di kalangan   remaja yang lebih merasa  bergengsi menggunakan bahasa gaul. Hal ini disebabkan karena lingkungan keluarga yang tidak terbiasa  menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari.
Dialek Banyumas  merupakan cerminan karakter masyarakat Banyumas yang  dikenal cablaka, kesatria, dan semedulur. Cablaka memiliki makna apa adanya antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di hati. Sifat kesatria memiliki makna pemberani,dan semedulur karena dialek ini tidak memiliki tingkatan sebagaimana Bahasa Jawa pada umumnya.
Karena alasan itulah maka berbagai pihak melakukan upaya untuk mengembangkannya. Hanya pertanyaannya, sejauh manakah keseriusan mereka dalam hal ini? Yang dikhawatirkan, pernyataan mereka hanya bersifat spontanitas dan latah belaka. Sejauh ini pernyataan  semacam itu selalu muncul di acara seminar ataupun sarasehan budaya dan baru sebatas wacana. Sedangkan follow up nya belum  tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah. Di antaranya anjuran penggunaan dialek Banyumas di kalangan pemerintahan dan lembaga yang ada di  Kabupaten Banyumas setiap hari Kamis. Namun kebijakan itu tampaknya jauh api dari panggang. Kebijakan itupun tampaknya bersifat emosional belaka sehingga dalam perjalanannya dirasakan mentah. Tidak jelas bagaimana nasib kebijakan itu hingga saat ini.
Selain itu, melalui dinas pendidikan, pemerintah daerah pun telah melakukan kebijakan untuk memasukkan budaya lokal Banyumas menjadi muatan dalam kurikulum. Dan berlakulah kurikulum yang memuat berbagai budaya yang ada di Banyumas dan kemudian disebut sebagai kurikulum muatan lokal Budaya Banyumasan.
Berbagai aspek kebudayaan Banyumas dijadikan konten kurikulum tersebut. Mulai dari bermacam-macam adab dan tata krama masyarakat Banyumas dalam berbagai situasi dan tempat, cerita rakyat yang memuat sejarah dan babad di Banyumas, tempat-tempat wisata di Banyumas, hingga segala macam jenis makanan khas Banyumas, semua dijadikan materi kurikulum. Sayangnya, aspek kebahasaan yang mestinya dapat memuat dialek Banyumas sama sekali tidak tersentuh dalam konten kurikulum tersebut.
Unsur bahasa ( dialek Banyumas) yang konon harus dikembangkan justru tidak dipelajari sama sekali. Bahkan  ironisnya dalam penyampaiannya,  kurikulum tersebut pun menggunakan bahasa Indonesia (bukan menggunakan dialek Banyumas).
Ini patut disayangkan mengingat mata pelajaran Mulok Budaya Banyumasan yang semestinya memiliki otoritas  dan dapat berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan berbagai aspek kebudayaan, termasuk di dalamnya unsur kebahasaan, justru tidak tersentuhnya. Maka tak perlu menyalahkan siapa pun ketika dialek ini terindikasi mendekati kelunturan jika pemerintah daerah tidak menyadari akan kelemahannya sendiri.
Selama ini upaya menyelamatkan dialek Banyumas yang dilakukan oleh pemerintah daerahpun tampaknya masih sekadar wacana. Meski sudah sangat sering para budayawan Banyumas semacam Ahmad Tohari, Bambang Wadoro (Bador), dan lainnya menyuarakan permasalahan itu, namun tetap saja setali tiga uang. Belum ada wujud nyata yang dapat dirasakan signifikan menumbuhkan dialek Banyumas. Demikian pula cara lain semacam lomba lawak Banyumasan, stand up komedi, maupun lomba pidato dialek Banyumasan, pun hanya bersifat seremonial saja.
Di sisi lain kecenderungan  anak-anak muda enggan menggunakan dialek Banyumas mestinya dikaji kembali. Bukan kesalahan pihak keluarga semata yang tidak mengajarkan dialek Banyumas.Namun lingkungan juga turut menentukan. Ada indikasi yang menyebabkan mereka malu menggunakan dialek Banyumas. Meski pihak-pihak tertentu selalu mengklaim dan megelu-elukan kelebihan dialek Banyumas, demi memanamkan kebanggaan terhadap dialek sendiri, namun  tidak dapat dipungkiri bahwa mereka tetap tidak  bangga terhadap dialeknya sendiri.
Sementara orang menganggap dialek ini bersifat cablaka (apa adanya), namun kenyataannnya justru mereka tidak suka dengan keterbukaan itu. Mereka memilih bungkam ketika berada di luar Banyumas atau lebih memilih bahasa gaul untuk berkomunikasi. Bahkan kalau mau jujur mereka minder ketika harus berbicara dengan orang di luar banyumas. Maka perlu kiranya dikaji kembali tekhnik penanaman kebanggaan melalui metode semacam itu.
Sejauh ini, dialek Banyumas  baru digunakan  orang hanya untuk sekadar lelucon di dunia hiburan. Orang akan tertawa ketika mendengar dialek Banyumas diucapkan oleh artis atau pelawak. Ini malah mengesankan bahwa dialek ini bersifat aneh dan bernilai rendah. Apalagi selama ini dalam tayangan televisi maupun film, dialek Banyumas  cenderung digunakan oleh tokoh pembantu atau tokoh rendahan yang makin menurunkan gengsi terutama bagi kaum muda di Banyumas.
Oleh karena itu perlu kiranya pemerintah maupun pihak yang berkopenten yang peduli tehadap dialek Banyumas  meninjau kembali kebijakan yang sudah ada dan mencari terobosan lain  untuk mengembangkan dan mempertahankan kekayaan lokal di Banyumas ini.


*Dimuat di Harian Satelit Post (31 Oktober 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar