Oleh
; Riyadi
Tanggal
25 hingga 27 Oktober ini baru dilangsungkan Kongres
I Basa Penginyongan yang dilaksanakan di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini
tentu berkaitan dengan peringatan bulan bahasa. Adapun tujuannya tentu untuk
menggairahkan semangat mengembangkan bahasa, khususnya dialek Banyumas yang
mulai luntur di kalangan generasi muda. Hal
ini terlihat dari kenyataan di
masyarakat, sebagian anak muda utamanya yang tinggal di perkotaan sudah jarang
yang mau menggunakan dialek Banyumasan dalam kesehariannya. Hal itu sangat membahayakan
bagi kelangsungan hidup dialek Banyumas.
Kekhawatiran
Bupati Banyumas yang pernah diungkapkan pada saat diselenggarakan seminar
bertajuk Bahasa Penginyongan beberapa bulan lalu tentu tidak hanya
dirasakan dirinya saja, melainkan
dirasakan pula oleh berbagai pihak utamanya mereka yang peduli dengan budaya Banyumas.
Oleh karena itu pemerintah daerah melalui lembaga yang berkompeten terus mengupayakan berbagai cara untuk
menghidupkan dialek Banyumas.
Saat
ini penggunaan dialek Banyumas memang masih kalah bersaing dari bahasa gaul.
Terutama di kalangan remaja yang lebih
merasa bergengsi menggunakan bahasa
gaul. Hal ini disebabkan karena lingkungan keluarga yang tidak terbiasa menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan
sehari-hari.
Dialek
Banyumas merupakan cerminan karakter masyarakat
Banyumas yang dikenal cablaka, kesatria,
dan semedulur. Cablaka memiliki makna apa adanya antara apa yang diucapkan
dengan apa yang ada di hati. Sifat kesatria memiliki makna pemberani,dan
semedulur karena dialek ini tidak memiliki tingkatan sebagaimana Bahasa Jawa
pada umumnya.
Karena
alasan itulah maka berbagai pihak melakukan upaya untuk mengembangkannya. Hanya
pertanyaannya, sejauh manakah keseriusan mereka dalam hal ini? Yang
dikhawatirkan, pernyataan mereka hanya bersifat spontanitas dan latah belaka. Sejauh ini pernyataan semacam itu selalu muncul di acara seminar
ataupun sarasehan budaya dan baru sebatas wacana. Sedangkan follow up nya belum tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Ada
beberapa upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah. Di antaranya
anjuran penggunaan dialek Banyumas di kalangan pemerintahan dan lembaga yang
ada di Kabupaten Banyumas setiap hari Kamis.
Namun kebijakan itu tampaknya jauh api dari panggang. Kebijakan itupun
tampaknya bersifat emosional belaka sehingga dalam perjalanannya dirasakan
mentah. Tidak jelas bagaimana nasib kebijakan itu hingga saat ini.
Selain
itu, melalui dinas pendidikan, pemerintah daerah pun telah melakukan kebijakan
untuk memasukkan budaya lokal Banyumas menjadi muatan dalam kurikulum. Dan
berlakulah kurikulum yang memuat berbagai budaya yang ada di Banyumas dan
kemudian disebut sebagai kurikulum muatan lokal Budaya Banyumasan.
Berbagai
aspek kebudayaan Banyumas dijadikan konten kurikulum tersebut. Mulai dari
bermacam-macam adab dan tata krama masyarakat Banyumas dalam berbagai situasi
dan tempat, cerita rakyat yang memuat sejarah dan babad di Banyumas,
tempat-tempat wisata di Banyumas, hingga segala macam jenis makanan khas
Banyumas, semua dijadikan materi kurikulum. Sayangnya, aspek kebahasaan yang
mestinya dapat memuat dialek Banyumas sama sekali tidak tersentuh dalam konten
kurikulum tersebut.
Unsur
bahasa ( dialek Banyumas) yang konon harus dikembangkan justru tidak dipelajari
sama sekali. Bahkan ironisnya dalam
penyampaiannya, kurikulum tersebut pun
menggunakan bahasa Indonesia (bukan menggunakan dialek Banyumas).
Ini
patut disayangkan mengingat mata pelajaran Mulok Budaya Banyumasan yang
semestinya memiliki otoritas dan dapat berfungsi
untuk mempertahankan dan mengembangkan berbagai aspek kebudayaan, termasuk di
dalamnya unsur kebahasaan, justru tidak tersentuhnya. Maka tak perlu
menyalahkan siapa pun ketika dialek ini terindikasi mendekati kelunturan jika
pemerintah daerah tidak menyadari akan kelemahannya sendiri.
Selama
ini upaya menyelamatkan dialek Banyumas yang dilakukan oleh pemerintah
daerahpun tampaknya masih sekadar wacana. Meski sudah sangat sering para
budayawan Banyumas semacam Ahmad Tohari, Bambang Wadoro (Bador), dan lainnya
menyuarakan permasalahan itu, namun tetap saja setali tiga uang. Belum ada
wujud nyata yang dapat dirasakan signifikan menumbuhkan dialek Banyumas. Demikian
pula cara lain semacam lomba lawak Banyumasan, stand up komedi, maupun lomba pidato dialek Banyumasan, pun hanya
bersifat seremonial saja.
Di
sisi lain kecenderungan anak-anak muda
enggan menggunakan dialek Banyumas mestinya dikaji kembali. Bukan kesalahan
pihak keluarga semata yang tidak mengajarkan dialek Banyumas.Namun lingkungan
juga turut menentukan. Ada indikasi yang menyebabkan mereka malu menggunakan
dialek Banyumas. Meski pihak-pihak tertentu selalu mengklaim dan megelu-elukan
kelebihan dialek Banyumas, demi memanamkan kebanggaan terhadap dialek sendiri,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa
mereka tetap tidak bangga terhadap
dialeknya sendiri.
Sementara
orang menganggap dialek ini bersifat cablaka
(apa adanya), namun kenyataannnya justru mereka tidak suka dengan keterbukaan
itu. Mereka memilih bungkam ketika berada di luar Banyumas atau lebih memilih
bahasa gaul untuk berkomunikasi. Bahkan kalau mau jujur mereka minder ketika
harus berbicara dengan orang di luar banyumas. Maka perlu kiranya dikaji
kembali tekhnik penanaman kebanggaan melalui metode semacam itu.
Sejauh
ini, dialek Banyumas baru digunakan orang hanya untuk sekadar lelucon di dunia
hiburan. Orang akan tertawa ketika mendengar dialek Banyumas diucapkan oleh artis
atau pelawak. Ini malah mengesankan bahwa dialek ini bersifat aneh dan bernilai
rendah. Apalagi selama ini dalam tayangan televisi maupun film, dialek Banyumas
cenderung digunakan oleh tokoh pembantu
atau tokoh rendahan yang makin menurunkan gengsi terutama bagi kaum muda di Banyumas.
Oleh
karena itu perlu kiranya pemerintah maupun pihak yang berkopenten yang peduli
tehadap dialek Banyumas meninjau kembali
kebijakan yang sudah ada dan mencari terobosan lain untuk mengembangkan dan mempertahankan
kekayaan lokal di Banyumas ini.
*Dimuat di Harian Satelit Post (31 Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar