Jumat, 21 Oktober 2016

BUKU RAPORT YANG BIKIN REPOT



Mengakhiri smester gasal tahun pelajaran 2014/2015 dunia pendidikan digonjang-ganjingkan oleh situasi yang tidak jelas perihal pemberlakuan kurikulum di negeri ini. Kurikulum 2013 yang baru saja diimplementasikan sejak Januari 2014 sudah dicut kembali, diberhentikan menjelang akhir smester gasal ini  dengan alasan belum siap. Perdebatan para pejabat dan masyarakatpun mengembang baik ditingkat bawah maupun atas. Ada yang setuju ada pula yang tidak dengan argumennya masing-masing. Semua menjadikan dunia pendidikan kita semakin ramai.
Terlepas dari pro dan kontra penghentian implementasi kurikulum tersebut ada pekerjaan yang harus tak boleh dihentikan oleh para guru. Kewajiban guru di akhir smester itu adalah mengolah nilai dan membuat buku raport. Para guru benar-benar butuh konsentrasi penuh dalam mengolah nilai dan membuat buku raport tersebut.
Hanya sayangnya, pada saat konsentrasi dan  keseriusan itu mestinya terjaga, justru suasana pendidikan dikeruhkan oleh perdebatan panjang, sehingga mau tidak mau konsentrasi para guru pun goyah dan akhirnya terpecah  juga. Munculnya kebingungan dan ketidak pastian kurikulum manakah yang akan dipakai dalam sitem penilaian dan pengisian buku raport.
Namun akhirnya titik terang pun datang. Penilaian ditetapkan menggunakan kurikulum 2013. Padahal justru masalah penilain itulah yang menjadi problem khusus dalam kurikulum 2013. Penilaian pada kurikulum 2013 dirasakan oleh para guru sebagai masalah yang paling pelik dan membingungkan. Masalah penilaian yang demikian banyak dan rumitnya, menyita sebagian besar waktu mengajar dan tugas lainnya.
 Untuk menuangkan nilai yang dianggap outentik ke dalam buku raport menjadi sangat repot.Kerepotan terasa bagi guru, sekolah , maupun wali murid. Bagi sebagian besar guru, pengolahan nilai raport pada kurikulum 2013 ini dirasakan menjadi  sangat repot. Kerepotan itu dimulai sejak guru harus mendapatkan data nilai yang seambrek banyaknya. Penilaian outentik yang diharapkan oleh kurikulum 2013 harus diinput dari data nilai anak melalui tiga aspek yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tekhnik mendapatkan data nilai itu dengan berbagai cara, diantaranya melalui pengamatan langsung dalam pembelajaran, pengamatan langsung di luar pembelajaran, data yang diperoleh dari teman, maupun informasi lain yang mungkin dapat dipercaya.
Penilaian semacam ini bukanlah hal  sesederhana yang dibayangkan. Butuh waktu cukup dan tenaga untuk mengamati, menginputnya jika yang diharapkan adalah nilai yang benar-benar outentik, bukan nilai asal-asalan. Banyak sekali data yang harus diambil dari anak untuk sekadar memastikan tentang perkembangan siswa dalam mengikuti pendidikan di sekolahnya. Konsekuensinya adalah diperlukan waktu dan tenaga yang super ekstra untuk mewujudkan idealisme nilai outentik.
Hanya dalam kenyataannya, konsekuensi waktu dan tenaga justru diluar perhitungan dalam perubahan kurikulum tersebut. Pembagian alokasi waktu pada kurikulum 2013 paraktis tidak banyak mengalami perubahan. Terutama waktu untuk mengakses dan menginput nilai baik itu nilai harian, nilai tengah semester maupun nilai smester. Demikian pula alokasi waktu yang disediakan untuk mengolah nilai yang akan diinput ke buku raport di akhir smester, tidak ada penambahan sama sekali. Hal inilah yang membuat sebagian besar guru menjadi  limpung. Pembuatan buku raport dirasakan sangat repot dengan waktu yang demikian singkat.
Hal lain yang menjadikan guru merasa repot adalah adanya sistem penilaian dalam buku raport  yang sekarang  bentuknya berupa diskripsi. Untuk menanggulangi kerepotan tersebut memang ada bebarapa pihak yang telah menyediakan diri membuat aplikasi penilaian sebagai solusi. Namun karena terbatasnya sosialisasi dan simpang siurnya informasi dari berbagai pihak justru menambah kerepotan baru. Berbagai aplikasi yang datang silih berganti dengan versi sendiri-sendiri membuat suasana semakin kalang kabut. Itu yang dialami para guru yang sudah mengenal ICT. Payahnya lagi bagi guru yang belum memahami tekhnologi ICT, mereka terasa seperti hendak mati. Apa artinya aplikasi yang memudahkan pekerjaan jika mereka juga tak mengerti. Namun lebih parah lagi jika mereka harus mengerjakan buku raport dengan tulisan tangan. Berpa lama lagi waktu yang akan dibutuhkan?
Kelemahan-kelemahan itulah yang menjadikan antara rencana dan kenyataan tak sesuai. Alhasil buku raport sebagian ada yang tidak dapat terbagikan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan dalam kalender pendidikan.
Selain merepotkan sebagaian besar guru, penilaian kurikulum 2013 juga merepotkan pihak sekolah. Banyak kebijakan sekolah menjadi mengambang. Rencana kebijakan sekolah untuk membagi buku raport sesuai kalender pendidikan menjadi tidak dapat terlaksana. Konsekuensinya adalah pihak sekolah harus bertanggung jawab terhadap wali murid dan masyarakat. Sekolah harus memberi penjelasan yang dapat diterima oleh wali murid yang demikian heterogen dalam hal kemampuan memaknai penjelasan. Melalui penjelasan langsung ataupun melalui surat kepada orang tua murid mesti dilakukan demi menggamblangkan kenyataan.
Dibutuhkan kebijakan yang tepat dari pihak sekolah untuk mengatasi hal itu.   Setidaknya ini menambah penanganan  khusus jika tak mau dibilang merepotkan dan menambah pekerjaan.
Di sisi lain sekolah juga harus menanggung resiko lebih besar lagi terkait pembuatan buku raport. Buku raport yang biasanya sudah tersedia dan tinggal mengisinya kini tidak ada lagi. Pengadaan buku raport diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah harus mencetak buku raport yang jumlah halamannya cukup banyak. Diperlukan sarana komputer dan perangkat lainnya untuk mencetak buku raport disamping kebutuhan kertas yang demikian banyaknya.
Kerepotan berikutnya dialami juga oleh para wali murid. Untuk menerima perubahan sistem penilaian baru 2013 sungguh memerlukan waktu yang panjang. Banyaknya perbedaan antara penilaian kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya menambah daftar kebingungan. Banyak wali murid yang tidak bisa menerima model penilaian seperti yang ada sekarang ini. Mereka tidak bisa menafsirkan apa yang ada di dalam model penilaian baru tersebut.
Ada banyak orang tua siswa yang mengeluh dan menanyakan kepada guru berapa nilai anak saya, berapa jumlah nilai anak saya, rangking berapa anak saya, dan berbagai macam pertanyaan yang lain terkait dengan ukuran angka. Hal itu wajar mengingat selama ini mereka mengenal buku raport yang  berisi  angka-angka, bukan berisi tulisan deskripsi seperti yang ada sekarang ini. Mereka banyak menanyakan keadaan anak mereka meski sebenarnya kondisi perkembangan anaknya sudah terekam dalam diskripsi buku raport.
Perlu dimaklumi karena tidak semua orang tua dapat menerjemahkan kalimat diskripsi dalam buku raport. Apalagi bagi orang tua siswa yang ada di daerah pinggiran yang notabene pendidikan mereka rendah, bahkan masih ada sebagian diantara mereka yang tidak bisa membaca huruf. Akibatnya mereka tidak mengerti dan memahami setiap laporan para guru yang ditujukan kepada mereka dalam bentuk buku raport.
Fungsi buku raport menjadi kurang efektif ketika orang tua menjadi repot dibuatnya.  Guru harus menjelaskan hal-hal yang baru dan berbeda dengan yang biasa ada di buku raport sebelumnya.
Terlepas dari masalah repot  atau tidaknya dalam pengerjaan buku raport, para guru tetap dituntut untuk menyelesikannya juga tanpa alasan apapun. Bagaimanapun bentuknya buku raport harus segera terbagikan kepada wali murid sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada mereka. Oleh karena itu dengan segala ketidaksempurnaan yang diakibatkan kurangnya pembekalan penilaian, buku raport kurikulum harus terbagikan.
Harapan sekolah  dan para guru kepada pemerintah tidak lain adalah segera menyelesaikan kemelut ini dengan kebijakan yang pasti dan tidak begitu merepotkan. Kepada segenap wali murid juga perlu memaklumi dengan kondisi semacam ini. Karena keterlambatan atau ketidak sempurnaan buku raport baru  bukanlah sebagai faktor kesengajaan namun semata-mata karena perlunya waktu untuk beradaptasi.
Di sisi lain keberlanjutan pengggunaan model penilaian ini juga menjadi pertanyaan. Akankah penilaian ini berlanjut di tahun- tahun mendatang, mengingat penghentian kurikulum 2013 ini juga masih menjadi perdebatan panjang. Jika penghentian kurikulum  2013 ini benar-benar dilaksanakan, artinya usia model penilaian ini  pun hanya seumur jagung. Para guru harus kembali ke penilaian lama yang mungkin dapat dirasa sedikit melegakan. Oleh karena itu kepastian kebijakan pemerintah melalui surat resmi yang ditujukan ke sekolah-sekolah sangatlah dinantikan sebelum memasuki smester gasal tahun pelajaran  2014/ 2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar