Mengakhiri smester gasal tahun pelajaran
2014/2015 dunia pendidikan digonjang-ganjingkan oleh situasi yang tidak jelas
perihal pemberlakuan kurikulum di negeri ini. Kurikulum 2013 yang baru saja diimplementasikan
sejak Januari 2014 sudah dicut kembali, diberhentikan menjelang akhir smester
gasal ini dengan alasan belum siap.
Perdebatan para pejabat dan masyarakatpun mengembang baik ditingkat bawah
maupun atas. Ada yang setuju ada pula yang tidak dengan argumennya
masing-masing. Semua menjadikan dunia pendidikan kita semakin ramai.
Terlepas dari pro dan kontra penghentian
implementasi kurikulum tersebut ada pekerjaan yang harus tak boleh dihentikan
oleh para guru. Kewajiban guru di akhir smester itu adalah mengolah nilai dan
membuat buku raport. Para guru benar-benar butuh konsentrasi penuh dalam
mengolah nilai dan membuat buku raport tersebut.
Hanya sayangnya, pada saat konsentrasi
dan keseriusan itu mestinya terjaga,
justru suasana pendidikan dikeruhkan oleh perdebatan panjang, sehingga mau
tidak mau konsentrasi para guru pun goyah dan akhirnya terpecah juga. Munculnya kebingungan dan ketidak pastian
kurikulum manakah yang akan dipakai dalam sitem penilaian dan pengisian buku
raport.
Namun akhirnya titik terang pun datang.
Penilaian ditetapkan menggunakan kurikulum 2013. Padahal justru masalah
penilain itulah yang menjadi problem khusus dalam kurikulum 2013. Penilaian pada
kurikulum 2013 dirasakan oleh para guru sebagai masalah yang paling pelik dan
membingungkan. Masalah penilaian yang demikian banyak dan rumitnya, menyita
sebagian besar waktu mengajar dan tugas lainnya.
Untuk
menuangkan nilai yang dianggap outentik ke dalam buku raport menjadi sangat
repot.Kerepotan terasa bagi guru, sekolah , maupun wali murid. Bagi sebagian
besar guru, pengolahan nilai raport pada kurikulum 2013 ini dirasakan
menjadi sangat repot. Kerepotan itu
dimulai sejak guru harus mendapatkan data nilai yang seambrek banyaknya. Penilaian outentik yang diharapkan oleh
kurikulum 2013 harus diinput dari data nilai anak melalui tiga aspek yakni
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tekhnik mendapatkan data nilai itu dengan
berbagai cara, diantaranya melalui pengamatan langsung dalam pembelajaran,
pengamatan langsung di luar pembelajaran, data yang diperoleh dari teman,
maupun informasi lain yang mungkin dapat dipercaya.
Penilaian semacam ini bukanlah hal sesederhana yang dibayangkan. Butuh waktu
cukup dan tenaga untuk mengamati, menginputnya jika yang diharapkan adalah nilai
yang benar-benar outentik, bukan nilai asal-asalan. Banyak sekali data yang
harus diambil dari anak untuk sekadar memastikan tentang perkembangan siswa
dalam mengikuti pendidikan di sekolahnya. Konsekuensinya adalah diperlukan
waktu dan tenaga yang super ekstra untuk mewujudkan idealisme nilai outentik.
Hanya dalam kenyataannya, konsekuensi waktu
dan tenaga justru diluar perhitungan dalam perubahan kurikulum tersebut.
Pembagian alokasi waktu pada kurikulum 2013 paraktis tidak banyak mengalami
perubahan. Terutama waktu untuk mengakses dan menginput nilai baik itu nilai
harian, nilai tengah semester maupun nilai smester. Demikian pula alokasi waktu
yang disediakan untuk mengolah nilai yang akan diinput ke buku raport di akhir
smester, tidak ada penambahan sama sekali. Hal inilah yang membuat sebagian
besar guru menjadi limpung. Pembuatan
buku raport dirasakan sangat repot dengan waktu yang demikian singkat.
Hal lain yang menjadikan guru merasa repot
adalah adanya sistem penilaian dalam buku raport yang sekarang
bentuknya berupa diskripsi. Untuk menanggulangi kerepotan tersebut memang
ada bebarapa pihak yang telah menyediakan diri membuat aplikasi penilaian
sebagai solusi. Namun karena terbatasnya sosialisasi dan simpang siurnya
informasi dari berbagai pihak justru menambah kerepotan baru. Berbagai aplikasi
yang datang silih berganti dengan versi sendiri-sendiri membuat suasana semakin
kalang kabut. Itu yang dialami para guru yang sudah mengenal ICT. Payahnya lagi
bagi guru yang belum memahami tekhnologi ICT, mereka terasa seperti hendak
mati. Apa artinya aplikasi yang memudahkan pekerjaan jika mereka juga tak
mengerti. Namun lebih parah lagi jika mereka harus mengerjakan buku raport
dengan tulisan tangan. Berpa lama lagi waktu yang akan dibutuhkan?
Kelemahan-kelemahan itulah yang menjadikan
antara rencana dan kenyataan tak sesuai. Alhasil buku raport sebagian ada yang tidak
dapat terbagikan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan dalam kalender
pendidikan.
Selain merepotkan sebagaian besar guru,
penilaian kurikulum 2013 juga merepotkan pihak sekolah. Banyak kebijakan
sekolah menjadi mengambang. Rencana kebijakan sekolah untuk membagi buku raport
sesuai kalender pendidikan menjadi tidak dapat terlaksana. Konsekuensinya
adalah pihak sekolah harus bertanggung jawab terhadap wali murid dan
masyarakat. Sekolah harus memberi penjelasan yang dapat diterima oleh wali
murid yang demikian heterogen dalam hal kemampuan memaknai penjelasan. Melalui
penjelasan langsung ataupun melalui surat kepada orang tua murid mesti
dilakukan demi menggamblangkan kenyataan.
Dibutuhkan kebijakan yang tepat dari pihak sekolah
untuk mengatasi hal itu. Setidaknya ini
menambah penanganan khusus jika tak mau
dibilang merepotkan dan menambah pekerjaan.
Di sisi lain sekolah juga harus menanggung
resiko lebih besar lagi terkait pembuatan buku raport. Buku raport yang
biasanya sudah tersedia dan tinggal mengisinya kini tidak ada lagi. Pengadaan
buku raport diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah harus mencetak buku raport
yang jumlah halamannya cukup banyak. Diperlukan sarana komputer dan perangkat
lainnya untuk mencetak buku raport disamping kebutuhan kertas yang demikian
banyaknya.
Kerepotan berikutnya dialami juga oleh para
wali murid. Untuk menerima perubahan sistem penilaian baru 2013 sungguh
memerlukan waktu yang panjang. Banyaknya perbedaan antara penilaian kurikulum
2013 dengan kurikulum sebelumnya menambah daftar kebingungan. Banyak wali murid
yang tidak bisa menerima model penilaian seperti yang ada sekarang ini. Mereka
tidak bisa menafsirkan apa yang ada di dalam model penilaian baru tersebut.
Ada banyak orang tua siswa yang mengeluh dan menanyakan
kepada guru berapa nilai anak saya, berapa jumlah nilai anak saya, rangking
berapa anak saya, dan berbagai macam pertanyaan yang lain terkait dengan ukuran
angka. Hal itu wajar mengingat selama ini mereka mengenal buku raport yang berisi
angka-angka, bukan berisi tulisan deskripsi seperti yang ada sekarang
ini. Mereka banyak menanyakan keadaan anak mereka meski sebenarnya kondisi
perkembangan anaknya sudah terekam dalam diskripsi buku raport.
Perlu dimaklumi karena tidak semua orang tua
dapat menerjemahkan kalimat diskripsi dalam buku raport. Apalagi bagi orang tua
siswa yang ada di daerah pinggiran yang notabene pendidikan mereka rendah,
bahkan masih ada sebagian diantara mereka yang tidak bisa membaca huruf.
Akibatnya mereka tidak mengerti dan memahami setiap laporan para guru yang
ditujukan kepada mereka dalam bentuk buku raport.
Fungsi buku raport menjadi kurang efektif
ketika orang tua menjadi repot dibuatnya.
Guru harus menjelaskan hal-hal yang baru dan berbeda dengan yang biasa
ada di buku raport sebelumnya.
Terlepas dari masalah repot atau tidaknya dalam pengerjaan buku raport,
para guru tetap dituntut untuk menyelesikannya juga tanpa alasan apapun.
Bagaimanapun bentuknya buku raport harus segera terbagikan kepada wali murid
sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada mereka. Oleh karena itu dengan
segala ketidaksempurnaan yang diakibatkan kurangnya pembekalan penilaian, buku
raport kurikulum harus terbagikan.
Harapan sekolah dan para guru kepada pemerintah tidak lain
adalah segera menyelesaikan kemelut ini dengan kebijakan yang pasti dan tidak
begitu merepotkan. Kepada segenap wali murid juga perlu memaklumi dengan
kondisi semacam ini. Karena keterlambatan atau ketidak sempurnaan buku raport
baru bukanlah sebagai faktor kesengajaan
namun semata-mata karena perlunya waktu untuk beradaptasi.
Di sisi lain keberlanjutan pengggunaan model
penilaian ini juga menjadi pertanyaan. Akankah penilaian ini berlanjut di
tahun- tahun mendatang, mengingat penghentian kurikulum 2013 ini juga masih
menjadi perdebatan panjang. Jika penghentian kurikulum 2013 ini benar-benar dilaksanakan, artinya
usia model penilaian ini pun hanya
seumur jagung. Para guru harus kembali ke penilaian lama yang mungkin dapat
dirasa sedikit melegakan. Oleh karena itu
kepastian kebijakan pemerintah melalui surat resmi yang ditujukan ke sekolah-sekolah
sangatlah dinantikan sebelum memasuki smester gasal tahun pelajaran 2014/ 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar