Jumat, 21 Oktober 2016

MENGAPA IJASAH PALSU?

Bom nuklir seakan meledak di tengah dunia pendidikan kita khususnya, dengan santernya pemberitaan tentang beredarnya  ijazah palsu di negeri kita. Seperti radiasi, semua media masa memberitakan dan mengupas tentang fenomena tersebut sehingga topik ini tak kalah bersaing dengan berita lainnya untuk menjadi tranding topic.
Sebenarnya fenomena tentang ijazah palsu bukan masalah baru di negeri ini. Bertahun-tahun  sudah banyak beredar kabar tentang hal semacam itu. Bahkan persoalan pemalsuan ijazah semacam ini hampir bisa dikatakan setiap saat terjadi. Tapi untuk yang terakhir ini menjadi lebih menarik dibanding yang sudah terjadi berkali-kali karena kasus ini bukan terjadi terhadap perorangan melainkan diketemukan di berbagai lembaga yang menangani  pendidikan. Kasus ini secara mendadak terkuak di beberapa daerah dan lembaga pendidikan.
 Memang terasa sangat memukul dunia pendidikan kita ketika kasus ini mulai terbongkar. Hal itu menjadi sangat memprihatinkan semua pihak mengingat lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang digadang-gadang untuk  mencetak manusia Indonesia yang berkarakter,berkepribadian,  jujur, dan berkualitas. Namun jika satu-satunya lembaga yang menjadi harapan bangsa ini juga kemudian tertular dengan virus kejahatan semacam itu, rasanya kita menjadi semakin bingung. Kemana lagi kita akan berharap?
Sebagian bangsa ini mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi? Kalau ingin mendapat jawabannya tentu kita harus mencari akar permasalahnnya agar dapat segera teratasi dari akar rumputnya.
Akar permasalah pertama adalah banyaknya tuntutan hidup di dunia modern yang sering memicu sebagian orang  segera mengatasinya.untuk berbuat sesuatu yang dianggap dibutuhkannya meski kadang tindakan itu kurang benar.  Sebagian orang sering bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai tindakan yang dapat merugikan pihak lain. Jika hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, itu masih  mendingan . Tapi parahnya adalah jika tindakan yang mereka lakukan bukan lagi semata-mata karena tutuntan kebutuhan sehari-hari melainkan sudah karena unsur persaingan hidup. Hal ini sangat membahayakan karena dapat merugikan orang lain.
Munculnya sejumlah kasus  ijasah palsu yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan atau biro akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti adanya dampak dari  tututan hidup di era modern seperti sekarang ini. Tuntutan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia membawa konsekunsi terhadap semua orang untuk berlomba-lomba meneruskan studinya di manapun yang memungkinkan.
Sejauh ini orang memandang bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan studi terutama di sekolah atau lembaga formal. Sebab lembaga-lembaga formal semacam sekolah baik dasar, menengah, atas, maupun perguruan tinggi itulah yang memiliki kewenangan mengeluarkan tanda legalitas baik yang berupa sertifikat maupun ijazah. Oleh karena itu agar seseorang mendapatkan pengakuan bahwa dirinya memiliki kualitas dan keahlian tertentu maka dokumen-dokumen semacam sertifikat  ijazah, maupun gelar mereka kejar untuk dimilikinya.
Hanya saja fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah cara mendapatkan surat berharga itu dengan langkah yang keliru dan melawan hukum. Sebagian orang ada yang secara  sengaja ataupun tidak sengaja mendapatkan ijazah itu dengan cara yang begitu cepat dan mudah. Ini sangat disayangkan karena tujuan pemerintah ale-ale meningkatkan kualitas masyarakat tetapi yang terjadi justru hanyalah meningkatnya kuantitas kepemilikan gelar dan ijazah saja. Bahkan bila dikaitkan dengan kriminal hal itu justru cenderung meningkatkan kejahatan. Barangkali itulah salah satu akar permasalahan yang menyebabkan kejahatan pemalsuan ijazah akhir-akhir ini makin marak.
Sebagai contoh kongkrit adanya dampak negatif dengan adanya kebijakan pemerintah  atas tuntutan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di dunia pendidikan yakni para guru, dari tingkatan  Paud hingga SMA, mereka  harus memiliki ijazah S-1. Sementara para dosen harus memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-2. Implikasi  dari kebijakan itu adalah munculnya sejumlah permasalahan baru. Para guru dan dosen harus menempuh studinya lagi jika mereka tetap ingin berprofesi sebagai pendidik. Dan ini membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang lumayan banyak.
            Karena kebijakan tersebut bersifat mengikat maka akibat bagi pelanggarnya tentu akan terkena sanksi kedinasan. Karenanya mau atuapun tidak para guru dan dosen harus melanjutkan studinya sesuai dengan tuntutan. Mereka berbondong-bondong untuk menempuh studi dan mendapatkan gelar yang relevan dengan tuntutan.
Ternyata adanya kebijakan agar para guru dan dosen untuk melanjutkan pendidikannya menjadikan peluang bagi sejumlah lembaga terkait maupun biro jasa. Mereka membuka peluang  menyediakan tempat untuk menampung kebutuhan para guru. Peluang itu dimanfaatkan oleh sejumlah universitas dan lembaga lain untuk berlomba menampung mereka melakukan studi dan mendapatkan gelar. Karena banyaknya lembaga yang ingin mendapatkan bagian rejeki, maka terjadilah persaingan. Nah celakanya adalah ketika muncul persaingan yang kurang sehat. Bentuk persaingan itu antara lain adalah pemberian kemudahan bagi para calon mahasiswa yang notabene umumnya sudah tidak mau repot-repot. Diberikannya mereka kemudahan waktu, sarana , hingga kewajiban yang semestinya harus dilakukan secara akdemis. Dan berawal dari itulah kemudian muncul  sejumlah lembaga pendidikan abal-abal untuk sekadar mencari keuntungan yang sangat menyesatkan.
Fenomena semacam itu bukan hanya terjadi terhadap para pendidik saja tetapi sudah mengakar ke semua profesi,pejabat, dan masyarakat umum.  Sebagian para pejabat telah melakukan hal yang sama. Mereka mendapatkan berbagai  kemudahan  dan keistimewaan   dalam mengikuti studinya hingga mendapatkan gelarnya. Bahkan konon sebagian orang tidak pernah mengikuti kuliah tetapi tiba-tiba mengikuti wisuda dan mendapatkan gelar. Jika model semacam itu bisa dilakukan tentu tidak bisa dipersalahkan jika orang akan memilih hal yang termudah. Hal itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Semua  itu mereka lakukan karena adanya kebijakan pemerintah yang kurang sejalan dengan tujuan awalnya serta  tak diimbangi dengan kotrol yang ketat.
Adanya model kuliah  jarak jauh,ekstensen, kuliah paket, dijadikan oleh sebagian lembaga untuk mendapatkan siswa  atau mahasiswa baru demi mendapatkan uang dari mereka. Beberapa perguruan akhirnya ditutup karena dianggap tak terakreditasi atau tak resmi sehingga tak berhak untuk mengeluarkan ijazah. Namun diantara lembaga itu ada yang tak mau putus asa untuk tetap meraup rupiah dengan iming-iming kuliah mudah dan cepat yang berakhir dengan munculnya ijasah palsu   seperti sekarang ini.
Betapun orang mengerti bahwa hakekat belajar adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, namun ketika mereka memiliki peluang untuk mengambil jalan pintas yang lebih mudah dan cepat, tentu mereka akan tergiur dan segera memanfaatkannya. Penawaran dari sejumlah lembaga pendidikan untuk mengikuti pendidikan di sana yang lebih mudah tentu tak akan disia-siakan oleh mereka yang berprinsip,yang penting mempunyai ijazah, ngapain harus reput-repot? Maka di sinilah hukum pasar berlaku, di mana ada kebutuhan maka di situlah terjadi penyediaan. Simbiosis mutualisme dalam hal yang negatif terjadi antar mereka.
Sejumlah biro dan lembaga pendidikan yang berorientasi untuk mendapatkan uang bermunculan dan berusaha untuk menyediakan kemudahan . Peluang pun ditawarkan kepada mereka yang tengah membutuhkan akibat tuntutan. Akhirnya peluang itu pun banyak dibeli karena untuk hal tersebut mereka memiliki cukup uang.
Beberapa kebijakan yang  diterapkan dan tanpa disadari telah mengakibatkan munculnya kejahatan rasanya perlu ditinjau kembali. Kejahatan semacam penerbitan ijazah palsu adalah dampak negatif dari kebijakan tersebut. Merka hanya ingin mendapatkan gelar dan ijazah saja tanpa berpikir apa sebenarnya tujuan belajar itu.
 Jaman sekarang banyak sekali ijazah yang tidak relevan dengan keahliannya. Sebagai contoh, seorang berijazah sarjana sosial ternyata sama sekali tidak memiliki keahlian di bidangnya. Seorang berijazah sarjana hukum ternyata tidak mencerminkan ijazah yang dimilikinya, begitupun mereka yang bergelar sarjana ekonomi, pendidikan, kesehatan, tekhnik, dan lainnya. Ini merupakan salah satu indikator ketidak berhasilan lembaga tersebut dalam melaksanakan pendidikan. Hanya saja mereka kurang terkontrol atau dimintai pertanggungjawabannya oleh pihak yang berkompeten. Akhirnya pihak penyelenggara pendidikan semacam itu merasa nyaman dan terus berjalan tanpa merasa bersalah.
Akar permasalahan  ke dua yakni banyaknya  birokrasi atau lembaga  yang selalu mengedepankan seseorang untuk mengisi jabatannya berdasar kepemilikan ijasahnya dari pada keahliannya. Seorang penjaga keamanan di sebuah instansi diwajibkan mengikuti studi lanjutan untuk mendapatkan kenaikan pangkatnya. Seorang petugas kebersihan pasar dengan golongan I berusaha untuk melanjutkan studinya  agar golongannya menjadi naik. Padahal setelah mereka mendapatkan ijazah dan pndah golongan, tak berpengaruh sama sekali terhadap kinerjanya. Ijazah SMA yang dimilki petugas kebersihan pasar tidak menjadikan dirinya lebih pandai dalam hal menyapu melainkan  hanya terjadi peningkatan golongannya saja  menjadi golongan dua. Padahal tanpa disadari konsekuensi pemerintah terhadap hal itu adalah harus menambah anggaran untuk menambah gaji mereka.
Praktek semacam itu sudah biasa terjadi di lembaga manapun termasuk di dunia pendidikan. Padahal setelah terjadi melimpahnya pegawai atau karyawan yang berpendidikan tinggi justru  dapat menimbulkan persaingan untuk mengejar kedudukan. Peningkatan pendidikan bukan menghasilkan kualitas sumber daya manusia melainkan sekadar meningkatkan gengsi baik pribadi maupun bagi pemerintah. Pemerintah akan merasa berhasil dalam meningkatkan sumber daya manusianya  ketika banyak penduduknya yang berijazah tinggi
Kedua hal sebagaimana diuraikan di atas barangkali dapat membantu menguak  akar permasalahannya yang menyebakan orang berlomba-lomba mendapatkan ijazah dan  gelar meskipun dengan cara  yang tidak benar. Dan hal itu ditangkap oleh lembaga pendidikan atau biro tertentu untuk meraup penghasilan.
Maka dalam hal ini  mestinya pemerintah segera mengambil tindakan tegas  kepada sejumlah lembaga pendidikan atau biro abal-abal yang menyelenggarakan praktek pemalsuan ijazah. Selain itu pemerintah juga harus ketat mengawasi semua lembaga pendidikan agar ke depan tidak lagi kecolongan. Dan bila memungkinkan tampaknya juga  perlu berpikir ulang tentang tuntutan ijazah yang terlalu tinggi untuk sebuah  profesi tertentu karena selama ini belum tampak signifikan antara peningkatan kuantitas kepemilikan ijazah dan gelar dengan peningkatan kualitas, keterampilan dan keahlian mereka.      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar