Bom nuklir seakan
meledak di tengah dunia pendidikan kita khususnya, dengan santernya pemberitaan
tentang beredarnya ijazah palsu di
negeri kita. Seperti radiasi, semua media masa memberitakan dan mengupas
tentang fenomena tersebut sehingga topik ini tak kalah bersaing dengan berita
lainnya untuk menjadi tranding topic.
Sebenarnya fenomena
tentang ijazah palsu bukan masalah baru di negeri ini. Bertahun-tahun sudah banyak beredar kabar tentang hal semacam
itu. Bahkan persoalan pemalsuan ijazah semacam ini hampir bisa dikatakan setiap
saat terjadi. Tapi untuk yang terakhir ini menjadi lebih menarik dibanding yang
sudah terjadi berkali-kali karena kasus ini bukan terjadi terhadap perorangan
melainkan diketemukan di berbagai lembaga yang menangani pendidikan. Kasus ini secara mendadak terkuak
di beberapa daerah dan lembaga pendidikan.
Memang terasa sangat memukul dunia pendidikan
kita ketika kasus ini mulai terbongkar. Hal itu menjadi sangat memprihatinkan
semua pihak mengingat lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang
digadang-gadang untuk mencetak manusia
Indonesia yang berkarakter,berkepribadian, jujur, dan berkualitas. Namun jika
satu-satunya lembaga yang menjadi harapan bangsa ini juga kemudian tertular dengan
virus kejahatan semacam itu, rasanya kita menjadi semakin bingung. Kemana lagi
kita akan berharap?
Sebagian bangsa ini
mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi? Kalau ingin mendapat jawabannya tentu
kita harus mencari akar permasalahnnya agar dapat segera teratasi dari akar
rumputnya.
Akar permasalah pertama
adalah banyaknya tuntutan hidup di dunia modern yang sering memicu sebagian
orang segera mengatasinya.untuk berbuat sesuatu
yang dianggap dibutuhkannya meski kadang tindakan itu kurang benar. Sebagian orang sering bertindak untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan berbagai tindakan yang dapat merugikan pihak lain.
Jika hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, itu masih mendingan . Tapi parahnya adalah jika
tindakan yang mereka lakukan bukan lagi semata-mata karena tutuntan kebutuhan
sehari-hari melainkan sudah karena unsur persaingan hidup. Hal ini sangat
membahayakan karena dapat merugikan orang lain.
Munculnya sejumlah
kasus ijasah palsu yang dikeluarkan oleh
lembaga pendidikan atau biro akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti adanya dampak
dari tututan hidup di era modern seperti
sekarang ini. Tuntutan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia membawa konsekunsi terhadap semua orang untuk berlomba-lomba meneruskan
studinya di manapun yang memungkinkan.
Sejauh ini orang
memandang bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia hanya bisa dilakukan
dengan cara melakukan studi terutama di sekolah atau lembaga formal. Sebab
lembaga-lembaga formal semacam sekolah baik dasar, menengah, atas, maupun
perguruan tinggi itulah yang memiliki kewenangan mengeluarkan tanda legalitas
baik yang berupa sertifikat maupun ijazah. Oleh karena itu agar seseorang
mendapatkan pengakuan bahwa dirinya memiliki kualitas dan keahlian tertentu
maka dokumen-dokumen semacam sertifikat ijazah, maupun gelar mereka kejar untuk
dimilikinya.
Hanya saja fenomena
yang terjadi akhir-akhir ini adalah cara mendapatkan surat berharga itu dengan
langkah yang keliru dan melawan hukum. Sebagian orang ada yang secara sengaja ataupun tidak sengaja mendapatkan
ijazah itu dengan cara yang begitu cepat dan mudah. Ini sangat disayangkan
karena tujuan pemerintah ale-ale meningkatkan kualitas masyarakat tetapi yang
terjadi justru hanyalah meningkatnya kuantitas kepemilikan gelar dan ijazah
saja. Bahkan bila dikaitkan dengan kriminal hal itu justru cenderung
meningkatkan kejahatan. Barangkali itulah salah satu akar permasalahan yang
menyebabkan kejahatan pemalsuan ijazah akhir-akhir ini makin marak.
Sebagai contoh kongkrit
adanya dampak negatif dengan adanya kebijakan pemerintah atas tuntutan peningkatan kualitas sumber
daya manusia khususnya di dunia pendidikan yakni para guru, dari tingkatan Paud hingga SMA, mereka harus memiliki ijazah S-1. Sementara para
dosen harus memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-2. Implikasi dari kebijakan itu adalah munculnya sejumlah
permasalahan baru. Para guru dan dosen harus menempuh studinya lagi jika mereka
tetap ingin berprofesi sebagai pendidik. Dan ini membutuhkan waktu, tenaga, dan
biaya yang lumayan banyak.
Karena kebijakan tersebut bersifat
mengikat maka akibat bagi pelanggarnya tentu akan terkena sanksi kedinasan.
Karenanya mau atuapun tidak para guru dan dosen harus melanjutkan studinya
sesuai dengan tuntutan. Mereka berbondong-bondong untuk menempuh studi dan
mendapatkan gelar yang relevan dengan tuntutan.
Ternyata adanya
kebijakan agar para guru dan dosen untuk melanjutkan pendidikannya menjadikan
peluang bagi sejumlah lembaga terkait maupun biro jasa. Mereka membuka
peluang menyediakan tempat untuk
menampung kebutuhan para guru. Peluang itu dimanfaatkan oleh sejumlah
universitas dan lembaga lain untuk berlomba menampung mereka melakukan studi
dan mendapatkan gelar. Karena banyaknya lembaga yang ingin mendapatkan bagian
rejeki, maka terjadilah persaingan. Nah celakanya adalah ketika muncul
persaingan yang kurang sehat. Bentuk persaingan itu antara lain adalah
pemberian kemudahan bagi para calon mahasiswa yang notabene umumnya sudah tidak
mau repot-repot. Diberikannya mereka kemudahan waktu, sarana , hingga kewajiban
yang semestinya harus dilakukan secara akdemis. Dan berawal dari itulah
kemudian muncul sejumlah lembaga
pendidikan abal-abal untuk sekadar mencari keuntungan yang sangat menyesatkan.
Fenomena semacam itu
bukan hanya terjadi terhadap para pendidik saja tetapi sudah mengakar ke semua
profesi,pejabat, dan masyarakat umum.
Sebagian para pejabat telah melakukan hal yang sama. Mereka mendapatkan berbagai kemudahan
dan keistimewaan dalam mengikuti studinya hingga mendapatkan
gelarnya. Bahkan konon sebagian orang tidak pernah mengikuti kuliah tetapi
tiba-tiba mengikuti wisuda dan mendapatkan gelar. Jika model semacam itu bisa
dilakukan tentu tidak bisa dipersalahkan jika orang akan memilih hal yang
termudah. Hal itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Semua itu mereka lakukan karena adanya kebijakan
pemerintah yang kurang sejalan dengan tujuan awalnya serta tak diimbangi dengan kotrol yang ketat.
Adanya model
kuliah jarak jauh,ekstensen, kuliah
paket, dijadikan oleh sebagian lembaga untuk mendapatkan siswa atau mahasiswa baru demi mendapatkan uang
dari mereka. Beberapa perguruan akhirnya ditutup karena dianggap tak
terakreditasi atau tak resmi sehingga tak berhak untuk mengeluarkan ijazah.
Namun diantara lembaga itu ada yang tak mau putus asa untuk tetap meraup rupiah
dengan iming-iming kuliah mudah dan cepat yang berakhir dengan munculnya ijasah
palsu seperti sekarang ini.
Betapun orang mengerti
bahwa hakekat belajar adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap, namun ketika mereka memiliki peluang untuk mengambil jalan pintas yang
lebih mudah dan cepat, tentu mereka akan tergiur dan segera memanfaatkannya.
Penawaran dari sejumlah lembaga pendidikan untuk mengikuti pendidikan di sana
yang lebih mudah tentu tak akan disia-siakan oleh mereka yang berprinsip,yang penting mempunyai ijazah, ngapain harus
reput-repot? Maka di sinilah hukum pasar berlaku, di mana ada kebutuhan
maka di situlah terjadi penyediaan. Simbiosis mutualisme dalam hal yang negatif
terjadi antar mereka.
Sejumlah biro dan
lembaga pendidikan yang berorientasi untuk mendapatkan uang bermunculan dan
berusaha untuk menyediakan kemudahan . Peluang pun ditawarkan kepada mereka
yang tengah membutuhkan akibat tuntutan. Akhirnya peluang itu pun banyak dibeli
karena untuk hal tersebut mereka memiliki cukup uang.
Beberapa kebijakan
yang diterapkan dan tanpa disadari telah
mengakibatkan munculnya kejahatan rasanya perlu ditinjau kembali. Kejahatan semacam penerbitan ijazah
palsu adalah dampak negatif dari kebijakan tersebut. Merka hanya ingin
mendapatkan gelar dan ijazah saja tanpa berpikir apa sebenarnya tujuan belajar
itu.
Jaman sekarang banyak sekali ijazah yang tidak
relevan dengan keahliannya. Sebagai contoh, seorang berijazah sarjana sosial
ternyata sama sekali tidak memiliki keahlian di bidangnya. Seorang berijazah
sarjana hukum ternyata tidak mencerminkan ijazah yang dimilikinya, begitupun
mereka yang bergelar sarjana ekonomi, pendidikan, kesehatan, tekhnik, dan
lainnya. Ini merupakan salah satu indikator ketidak berhasilan lembaga tersebut
dalam melaksanakan pendidikan. Hanya saja mereka kurang terkontrol atau
dimintai pertanggungjawabannya oleh pihak yang berkompeten. Akhirnya pihak
penyelenggara pendidikan semacam itu merasa nyaman dan terus berjalan tanpa
merasa bersalah.
Akar permasalahan ke dua yakni banyaknya birokrasi atau lembaga yang selalu mengedepankan seseorang untuk
mengisi jabatannya berdasar kepemilikan ijasahnya dari pada keahliannya.
Seorang penjaga keamanan di sebuah instansi diwajibkan mengikuti studi lanjutan
untuk mendapatkan kenaikan pangkatnya. Seorang petugas kebersihan pasar dengan
golongan I berusaha untuk melanjutkan studinya agar golongannya menjadi naik. Padahal setelah
mereka mendapatkan ijazah dan pndah golongan, tak berpengaruh sama sekali
terhadap kinerjanya. Ijazah SMA yang dimilki petugas kebersihan pasar tidak
menjadikan dirinya lebih pandai dalam hal menyapu melainkan hanya terjadi peningkatan golongannya saja menjadi golongan dua. Padahal tanpa disadari
konsekuensi pemerintah terhadap hal itu adalah harus menambah anggaran untuk
menambah gaji mereka.
Praktek semacam itu
sudah biasa terjadi di lembaga manapun termasuk di dunia pendidikan. Padahal
setelah terjadi melimpahnya pegawai atau karyawan yang berpendidikan tinggi
justru dapat menimbulkan persaingan
untuk mengejar kedudukan. Peningkatan pendidikan bukan menghasilkan kualitas
sumber daya manusia melainkan sekadar meningkatkan gengsi baik pribadi maupun bagi
pemerintah. Pemerintah akan merasa berhasil dalam meningkatkan sumber daya
manusianya ketika banyak penduduknya
yang berijazah tinggi
Kedua hal sebagaimana
diuraikan di atas barangkali dapat membantu menguak akar permasalahannya yang menyebakan orang berlomba-lomba
mendapatkan ijazah dan gelar meskipun
dengan cara yang tidak benar. Dan hal
itu ditangkap oleh lembaga pendidikan atau biro tertentu untuk meraup
penghasilan.
Maka dalam hal ini mestinya pemerintah segera mengambil tindakan
tegas kepada sejumlah lembaga pendidikan
atau biro abal-abal yang menyelenggarakan praktek pemalsuan ijazah. Selain itu
pemerintah juga harus ketat mengawasi semua lembaga pendidikan agar ke depan
tidak lagi kecolongan. Dan bila memungkinkan tampaknya juga perlu berpikir ulang tentang tuntutan ijazah
yang terlalu tinggi untuk sebuah profesi
tertentu karena selama ini belum tampak signifikan antara peningkatan kuantitas
kepemilikan ijazah dan gelar dengan peningkatan kualitas, keterampilan dan
keahlian mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar