Jumat, 21 Oktober 2016

Menghadapi "Monster Ujian Nasional"



Setelah siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) menjalankan Ujian Nasional beberapa waktu yang lalu, kini gilirannya para siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar(SD) yang harus bersiap-siap menghadapi  “monster” Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.
Aroma menakutkan suasana ujian Nasional pun  mulai tercium. Sesaat lagi anak-anak kita yang menduduki jenjang terakhir di satuan pendidikan tersebut akan bergulat dengan suasana yang  cukup menakutkan itu.
Tidak mengerti mangapa suasana ujian di jaman sekarang ini semakin lama terasa makin menjadi monster yang menakutkan saja. Tidak saja menakutkan  bagi anak-anak  melainkan dirasakan  juga oleh orang tua, pihak sekolah, maupun jajaran dinas terkait sendiri. Padahal kegiatan yang diselenggarakan setiap akhir tahun pelajaran itu merupakan kegiatan biasa dan wajar untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran selama  kurun waktu  pendidikan di satuan pendidikannya masing-masing.
Fenomena ini menjadi menarik diperbincangkan mengingat suasana   semakin hari  semakin mencekam setiap menjelang ujian nasional maupun ujian sekolah. Apakah sedemikian sakral dan menentukannya UN/US ini terhadap masa depan anak-anak kita. Ataukah suasana itu memang sengaja didramatisir untuk menyakralkan hal yang sebenarnya biasa saja. Jika hal itu benar maka sangat disayangkan mengapa para pelaku pendidikan menciptakan suasana yang membuat anak-anak menjadi semakin stres dan ketakutan? Tidakkah ada solusi lain yang lebih menenangkan mereka dalam melaksanakan ujian nasional itu?
Ujian nasional merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh sekolah untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran di suatu satuan pembelajaran tertentu. Kegiatan ini hakekatnya untuk mengevaluasi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Artinya yang dievaluasi adalah seluruh komponen yang terkait. Bukan hanya menguji keberhasilan siswa saja dalam menyerap materi yang telah disampaikan dalam pembelajaran, namun mestinya juga mengevaluasi kinerja pendidik, sekolah, dan komponen lainnya yang terkait. Namun demikian beban keberhasilan seakan lebih harus ditanggung oleh peserta didik. Inilah yang membuat para peserta didik semakin stres menghadapinya.
Kekeliruan yang tak tersadari selama ini adalah hasil ujian itu bukan lagi menjadi evaluasi, melainkan dijadikan tolok ukur keberhasilan anak yang dapat digunakan untuk memvonis seorang anak” bodoh” atau “pandai”, bahkan seakan menentukan gelap-terangnya kehidupan mereka kelak. Hal inilah yang menyebabkan mereka merasa harus berjuang untuk membuat terang kehidupannya dengan meraih nilai setinggi-tingginya dalam ujian tersebut.
Kenyatan itu membuat semua pihak merasa harus bertanggung jawab dalam keberhasilan meraih nilai terbaik. Berbagai upaya dilakukan demi tujuan itu. Termasuk menciptakan kesakralan dalam menghadapi dan melaksanakan kegiatan ujian tersebut.
Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang hakekat ujian nasional yang kurang tepat dengan maksud agar mereka tidak menyepelekan, dilakukan oleh para guru dan sekolah secara bertubi-tubi. Memberikan ancaman terhadap ketidakberhasilan dalam menempuh ujian nasional terus dilakukan tanpa pernah melihat bagaimana perasaan anak-anak saat itu.  Demikian juga tekanan sekolah terhadap para calon peserta ujian dalam bentuk penambahan jam pelajaran, les khusus,  gelaran doa bersama, atau bahkan ada tradisi yang sedikit nyentrik, semua dilakukan dengan dalih menyiapkan mental dan keberhasilan anak. Meski tujuannya agar mereka termotivasi untuk belajar lebih keras, namun tanpa disadari sesungguhnya mereka tengah menciptakan monster –monster ujian nasional itu.
.           Dalam hal tujuan memang baik, namun ketika cara penyampaiannya keliru maka yang terjadi  bukan membantu keberhasilan mereka, melainkan justru  menyebabkan kerugian. Hal itu dapat terjadi karena rasa stres dan ketakutan yang terus terjadi dan terakumulasi sehingga tidak mustahil  menjadi bom waktu bagi anak-anak.
Perkara ujian nasional sebenarnya perkara yang biasa saja dan bukanlah mengandung hal yang istimewa manakala kita tidak mengemasnya menjadi hal yang super istimewa. Anak-anak tidak akan merasa ketakutan manakala kita tidak menakut-nakutinya.
Usaha menakut-takuti dan mengemas dengan kesakralan justru diciptakan oleh guru, sekolah, orang tua dan stokeholder lainnya akibat ketakutan mereka sendiri karena kepentingan masing-masing. Orang tua mengkhawatirkan anaknya tidak dapat mencapai nilai baik  yang dapat menghambat ambisinya untuk melanjutkan ke sekolah favorit atau takut dikatakan anaknya bodoh. Sekolah mengkhawatirkan reputasinya menurun akibat siswanya mendapatkan nilai ujian kurang bagus yang dapat mengakibatkan menurunnya daya saing. Demikian pula dinas, mereka merasa gengsi manakala hasil peserta didik di wilayahnya kurang baik.
Andai saja masing-masing komponen tersebut tidak memiliki tendensi dan kepentingan diri dalam hal itu, tentu tidaklah akan terjadi hal demikian. Suasana ujian tentu akan berjalan normal dan wajar tanpa beban yang demikian beratnya baik bagi peserta didik, orang tua, sekolah, maupun pihak lainnya. Semua akan berjalan lancar tanpa ada seremonial tertentu yang demikian menakutkan dengan ilustrasi tangisan anak-anak dan orang tua yang mengesankan seolah  akan terjadi pertaruhan nyawa yang terakhir saat menjelang ujian nasional.
Menyakralkan dan mendramatisir keadaan menjelang ujian rasanya menjadi tradisi yang semakin meningkat. Sebuah sekolah merasa menjadi punya beban ketika belum menyelenggarakan seremonial tersebut. Sekolah akan merasa bersalah ketika tidak melakukan hal demikian hingga saatnya berlangsung ujian. Maka wajar jika kegiatan semacam ini marak dilakukan oleh sebagian besar sekolah.
Ketika fenomena semacam itu sudah membudaya, rasanya menjadi sulit untuk dikembalikan. Apalagi ketika pemerintah juga masih menciptakan ujian nasional untuk menentukan segalanya. Untuk menentukan prestasi peserta didik, menentukan tingkat kemampuan anak, untuk mengukur keberhasilan sekolah, atau menentukan kebijakan tertentu terkait nasib masa depan anak maupun sekolah itu sendiri.
Sekolah dan orang tua akan mengorbankan daya kemampuan anak yang berbeda-beda itu demi ambisi memenuhi keinginan dan prestice mereka. Anak-anak akan dianggap sebagai obyek semata, bukan sebagai subyek pendidikan. Akibatnya anaklah yang lebih besar tanggungannya dalam hal ini.
Oleh karena kiranya semua pihak harus menyadari apa hakekat ujian yang sesungguhnya. Ujian bukan untuk menjadi dasar utama untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan siswa maupun sekolah, melainkan hanya bagian kecil dari evaluasi keberhasilan pendidikan saja. Keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak boleh diukur dengan deretan angka-angka saja melainkan harus dilihat secara menyeluruh. Keberhasilan siswa dan sekolah tidak boleh diukur dari berapa rata-rata nilai yang diperolehnya, melainkan ada ukuran lain yang lebih penting dapat digunakan.
Mengukur karakter, sikap, perilaku, keterampilan, dan lainnya tidak dapat ditentukan dengan angka 0 hingga 100, melainkan sangat normatif. Mestinya kita berani juga untuk mengukur bagaimana karakter, perilaku, dan ketrampilan para lulusan sebuah satuan pendidikan dengan berbagai cara.   Sayangnya hal itu belum membudaya di masyarakat dan pemerintah kita. Orang masih akan lebih merasa kagum dengan nilai matematika 100 dari pada nilai kejujuran amat bagus. Meski pemerintah telah memulai  memberikan nilai integritas terhadap sekolah namun penghargaan itu belum  memiliki kekuatan untuk mendongkrak prestasi sebagaimana prestasi akademik  sehingga integritas masih menjadi urutan ke sekian.
Maka tidak perlu menyalahkan ketika di suatu saat akan lebih banyak tercipta  manusia-manusia cerdas tak berperilaku baik dan tak bermoral. Semua memang kitalah yang memberi andil menciptakan mereka@

Penulis : Riyadi, S.Pd.
Pendidik di SDN Sunyalangu UPK Karanglewas, Banyumas.
Alamat : Jl Buntu Pasirmuncang RT 6/4 Purwokerto Barat 53137
HP.     : 081542722864
e-mail : riyadiar001@gmail.com
Rek BRI : 3237-01-006549-53-1


Tidak ada komentar:

Posting Komentar