Aroma menakutkan suasana ujian Nasional
pun mulai tercium. Sesaat lagi anak-anak
kita yang menduduki jenjang terakhir di satuan pendidikan tersebut akan
bergulat dengan suasana yang cukup
menakutkan itu.
Tidak mengerti mangapa suasana ujian di
jaman sekarang ini semakin lama terasa makin menjadi monster yang menakutkan
saja. Tidak saja menakutkan bagi
anak-anak melainkan dirasakan juga oleh orang tua, pihak sekolah, maupun
jajaran dinas terkait sendiri. Padahal kegiatan yang diselenggarakan setiap
akhir tahun pelajaran itu merupakan kegiatan biasa dan wajar untuk mengevaluasi
pelaksanaan pembelajaran selama kurun
waktu pendidikan di satuan pendidikannya
masing-masing.
Fenomena ini menjadi menarik
diperbincangkan mengingat suasana
semakin hari semakin mencekam
setiap menjelang ujian nasional maupun ujian sekolah. Apakah sedemikian sakral
dan menentukannya UN/US ini terhadap masa depan anak-anak kita. Ataukah suasana
itu memang sengaja didramatisir untuk menyakralkan hal yang sebenarnya biasa
saja. Jika hal itu benar maka sangat disayangkan mengapa para pelaku pendidikan
menciptakan suasana yang membuat anak-anak menjadi semakin stres dan ketakutan?
Tidakkah ada solusi lain yang lebih menenangkan mereka dalam melaksanakan ujian
nasional itu?
Ujian nasional merupakan kegiatan rutin
yang biasa dilakukan oleh sekolah untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran
di suatu satuan pembelajaran tertentu. Kegiatan ini hakekatnya untuk
mengevaluasi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Artinya
yang dievaluasi adalah seluruh komponen yang terkait. Bukan hanya menguji
keberhasilan siswa saja dalam menyerap materi yang telah disampaikan dalam
pembelajaran, namun mestinya juga mengevaluasi kinerja pendidik, sekolah, dan
komponen lainnya yang terkait. Namun demikian beban keberhasilan seakan lebih
harus ditanggung oleh peserta didik. Inilah yang membuat para peserta didik
semakin stres menghadapinya.
Kekeliruan yang tak tersadari selama ini
adalah hasil ujian itu bukan lagi menjadi evaluasi, melainkan dijadikan tolok
ukur keberhasilan anak yang dapat digunakan untuk memvonis seorang anak” bodoh”
atau “pandai”, bahkan seakan menentukan gelap-terangnya kehidupan mereka kelak.
Hal inilah yang menyebabkan mereka merasa harus berjuang untuk membuat terang
kehidupannya dengan meraih nilai setinggi-tingginya dalam ujian tersebut.
Kenyatan itu membuat semua pihak merasa
harus bertanggung jawab dalam keberhasilan meraih nilai terbaik. Berbagai upaya
dilakukan demi tujuan itu. Termasuk menciptakan kesakralan dalam menghadapi dan
melaksanakan kegiatan ujian tersebut.
Memberikan penjelasan kepada peserta
didik tentang hakekat ujian nasional yang kurang tepat dengan maksud agar mereka
tidak menyepelekan, dilakukan oleh para guru dan sekolah secara bertubi-tubi. Memberikan
ancaman terhadap ketidakberhasilan dalam menempuh ujian nasional terus
dilakukan tanpa pernah melihat bagaimana perasaan anak-anak saat itu. Demikian juga tekanan sekolah terhadap para
calon peserta ujian dalam bentuk penambahan jam pelajaran, les khusus, gelaran doa bersama, atau bahkan ada tradisi
yang sedikit nyentrik, semua
dilakukan dengan dalih menyiapkan mental dan keberhasilan anak. Meski tujuannya
agar mereka termotivasi untuk belajar lebih keras, namun tanpa disadari
sesungguhnya mereka tengah menciptakan monster –monster ujian nasional itu.
. Dalam hal tujuan
memang baik, namun ketika cara penyampaiannya keliru maka yang terjadi bukan membantu keberhasilan mereka, melainkan
justru menyebabkan kerugian. Hal itu
dapat terjadi karena rasa stres dan ketakutan yang terus terjadi dan
terakumulasi sehingga tidak mustahil menjadi bom waktu bagi anak-anak.
Perkara ujian nasional sebenarnya perkara
yang biasa saja dan bukanlah mengandung hal yang istimewa manakala kita tidak
mengemasnya menjadi hal yang super istimewa. Anak-anak tidak akan merasa
ketakutan manakala kita tidak menakut-nakutinya.
Usaha menakut-takuti dan mengemas dengan
kesakralan justru diciptakan oleh guru, sekolah, orang tua dan stokeholder
lainnya akibat ketakutan mereka sendiri karena kepentingan masing-masing. Orang
tua mengkhawatirkan anaknya tidak dapat mencapai nilai baik yang dapat menghambat ambisinya untuk
melanjutkan ke sekolah favorit atau takut dikatakan anaknya bodoh. Sekolah
mengkhawatirkan reputasinya menurun akibat siswanya mendapatkan nilai ujian
kurang bagus yang dapat mengakibatkan menurunnya daya saing. Demikian pula
dinas, mereka merasa gengsi manakala hasil peserta didik di wilayahnya kurang
baik.
Andai saja masing-masing komponen tersebut
tidak memiliki tendensi dan kepentingan diri dalam hal itu, tentu tidaklah akan
terjadi hal demikian. Suasana ujian tentu akan berjalan normal dan wajar tanpa
beban yang demikian beratnya baik bagi peserta didik, orang tua, sekolah,
maupun pihak lainnya. Semua akan berjalan lancar tanpa ada seremonial tertentu
yang demikian menakutkan dengan ilustrasi tangisan anak-anak dan orang tua yang
mengesankan seolah akan terjadi
pertaruhan nyawa yang terakhir saat menjelang ujian nasional.
Menyakralkan dan mendramatisir keadaan
menjelang ujian rasanya menjadi tradisi yang semakin meningkat. Sebuah sekolah
merasa menjadi punya beban ketika belum menyelenggarakan seremonial tersebut.
Sekolah akan merasa bersalah ketika tidak melakukan hal demikian hingga saatnya
berlangsung ujian. Maka wajar jika kegiatan semacam ini marak dilakukan oleh
sebagian besar sekolah.
Ketika fenomena semacam itu sudah
membudaya, rasanya menjadi sulit untuk dikembalikan. Apalagi ketika pemerintah
juga masih menciptakan ujian nasional untuk menentukan segalanya. Untuk
menentukan prestasi peserta didik, menentukan tingkat kemampuan anak, untuk
mengukur keberhasilan sekolah, atau menentukan kebijakan tertentu terkait nasib
masa depan anak maupun sekolah itu sendiri.
Sekolah dan orang tua akan mengorbankan
daya kemampuan anak yang berbeda-beda itu demi ambisi memenuhi keinginan dan
prestice mereka. Anak-anak akan dianggap sebagai obyek semata, bukan sebagai subyek
pendidikan. Akibatnya anaklah yang lebih besar tanggungannya dalam hal ini.
Oleh karena kiranya semua pihak harus
menyadari apa hakekat ujian yang sesungguhnya. Ujian bukan untuk menjadi dasar
utama untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan siswa maupun sekolah,
melainkan hanya bagian kecil dari evaluasi keberhasilan pendidikan saja.
Keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak boleh diukur dengan deretan
angka-angka saja melainkan harus dilihat secara menyeluruh. Keberhasilan siswa
dan sekolah tidak boleh diukur dari berapa rata-rata nilai yang diperolehnya,
melainkan ada ukuran lain yang lebih penting dapat digunakan.
Mengukur karakter, sikap, perilaku,
keterampilan, dan lainnya tidak dapat ditentukan dengan angka 0 hingga 100,
melainkan sangat normatif. Mestinya kita berani juga untuk mengukur bagaimana
karakter, perilaku, dan ketrampilan para lulusan sebuah satuan pendidikan
dengan berbagai cara. Sayangnya hal itu
belum membudaya di masyarakat dan pemerintah kita. Orang masih akan lebih merasa
kagum dengan nilai matematika 100 dari pada nilai kejujuran amat bagus. Meski
pemerintah telah memulai memberikan
nilai integritas terhadap sekolah namun penghargaan itu belum memiliki kekuatan untuk mendongkrak prestasi
sebagaimana prestasi akademik sehingga
integritas masih menjadi urutan ke sekian.
Maka tidak perlu menyalahkan ketika di
suatu saat akan lebih banyak tercipta manusia-manusia cerdas tak berperilaku baik
dan tak bermoral. Semua memang kitalah yang memberi andil menciptakan mereka@
Penulis : Riyadi, S.Pd.
Pendidik di SDN Sunyalangu
UPK Karanglewas, Banyumas.
Alamat : Jl Buntu
Pasirmuncang RT 6/4 Purwokerto Barat 53137
HP. : 081542722864
e-mail :
riyadiar001@gmail.com
Rek BRI :
3237-01-006549-53-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar