“Sungguh menjadi niat yang tidak mulia karena saya membuat PTK dengan tujuan untuk mempertahankan tunjangan
sertifikasi tidak dicabut.”
Demikian
satu kiriman pesan SMS yang saya terima dari seorang teman di suatu malam. Dan
menariknya pernyataannya itu bukan ditujukan kepada orang lain tetapi justru
ditujukan kepada dirinya sendiri. Meskipun awalnya bernada gurauan namun
tampaknya ada keseriusan yang tak lagi dapat tersembunyikan dalam pikirannya. Karena
kebetulan saat itu ia kabarkan bahwa dirinya tengah sibuk menyelesaikan PTK.
Sempat
sejenak saya merenungkan apa maksud dari pernyataan itu. Dan masih dalam
kebingungan kemudian saya tanyakan hal itu. Dan
dirinya pun berdiplomasi; mestinya membuat PTK harus diniati untuk berbagi
ilmu yang bermanfaat.Tetapi kenyataannya?
Terus
terang pernyataan itu membuat saya
menjadi tertantang untuk mengikuti pikirannya. Dan kemudian mengajak jari-jemari
saya untuk secepatnya menekan-tekan tombol komputer, menuliskan segala hal yang
ada dalam alam pikiran saya terkait dengan pernyataannya itu dan menuliskan
pula kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam pikiran dia.
Pernyataan
seloroh namun saya anggap sangat serius untuk ditanggapi dan dibahas dengan
pikiran yang jernih. Sebab saya yakin bahwa teman itu melontarkan pernyataan
dari lubuk hati yang paling dalam. Dan hebatnya ia berani mengritik dirinya
sendiri di tengah ketakutan orang untuk jujur “ menertawakan” diri sendiri. Berani jujur adalah hebat,
begitu kalimat yang tepat untuk mengapresiasinya sebagaimana bunyi slogan yang kebetulan
saya baca di sebuah majalah ilmiah.
Kenapa
hebat ? Karena terus terang saja sementara sebagian besar orang justru tengah
menyimpan erat kelucuannya sendiri untuk tidak ditertawakan orang lain,
sementara teman saya itu justru berani menertawakan diri. Maka patut saya
apresiasi dia.
Apakah
yang menjadi kelucuan kita terutama sebagai guru akhir –akhir ini? Tentu
tentang hal yang terkait dengan tema SMS teman saya tadi. Kelucuan apa yang sementara
disimpan oleh kita ? Lagi-lagi tentang hal yang terkait dengan topik SMS tadi.
Yakni kejujuran motivasi dan niatan malakukan kegiatan guru berupa penelitian
yang dianggap ilmiah itu.
Ada
banyak hal yang pantas kita renungkan bersama
secara jernih tentang ketidak mulian niat kita untuk membuat PTK serta
prosesnya sebagaimana dilontarkan oleh teman saya tadi. Pengakuan diri bahwa
apa yang tengah dilakukannya merupakan perkerjaan yang jauh dari maksud
pemerintah yang sesungguhnya dalam memberikan kebijakan yang mewajibkan para
guru melaksanakan penelitian tindakan kelas.
Semua
tentu sudah memahami maksud dan tujuan pemerintah memberikan kebijakan itu. Inti
dari maksud dan tujuan pemerintah tentu untuk
menjadikan guru meningkat dalam hal kualitasnya yang berefek baik terhadap kualitas pembelajarannya sehingga dapat
meningkatkan mutu pendidikan.
Maksud
lain adalah agar guru mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang
tepat demi peningkatan hasil belajar siswa. Inipun jauh api dari panggang. Dengan penelitian
seadanya seorang guru berani menyatakan kesimpulan hasil tindakan ilmiahnya
telah berhasil meningkatkan prestasi yang diyakinkan dengan tabel angka yang
sangat mudah dibaca dan dengan dukungan gambar grafik warna menarik. Semua
ditampilkan untuk meyakinkan orang lain bahwa apa yang telah dilakukannya
benar-benar berhasil.
Berbagi
kebaikan ilmu kepada orang lain juga menjadi tujuan yang tidak kalah mulianya
dibanding dua tujuan yang disebut di atas menurut catatan yang ada di dalam
PTK. Namun kenyataannya membuat kita tertawa dalam hati juga. Bagaimana mungkin
kita berbagi ilmu ketika kita sendiri tidak memiliki pengalaman nyata terhadap
apa yang konon kita lakukan?
Lagi-lagi
kita harus berani menertawakan diri, mana kala kita tak mengerti apa yang kita
lakukan terkait dengan penelitian yang kita akui sebagai buah karya. Memahami
sesuatu yang kita miliki dan kita
lakukan tentu akan lebih mudah jika sesuatu itu
benar-benar milik kita. Tapi bagaimana kita akan memahami terhadap
sesuatu yang bukan milik kita? Jadi bagaimana mungkin kita akan berbagi ilmu
sedangkan kita sendiri tidak memahaminya?
Namun
fenomena yang terjadi di lapangan justru sejalan dengan apa yang dinyatakan
oleh teman saya tadi. Jangankan berpikir untuk menjamin peningkatan kualitas pendidikan, untuk meningkatkan
kualitas diri pun sudah tak terpikirkan lagi. Melaksanakan penelitian bukan
lagi bertujuan mulia seperti yang diungkapkan oleh teman saya tadi yakni untuk
meningkatkan kualitas diri dan berbagi ilmu yang bermanfaat. Tetapi secara
jujur ia melakukannya demi memenuhi kewajiban dan mempertahankan sesuatu yang
konon disebut “hak”, yakni kenaikan pangkat dan tunjangan sertifikasi.
Ada
benarnya pernyataan tersebut ketika selanjutnya saya endapkan dalam pikiran
saya. Tapi bagaimana lagi? Itulah kenyataan yang ada di dunia pendidikan kita saat
ini. Menjadi dilema saat kita ada di dalamnya. Antara menerima dan menolak
kenyataan menjadi bertarung dengan kekuatannya masing-masing.
Ironis
memang ketika kita sudah berpikir uang menjadi segalanya seperti halnya
pernyataan teman saya tadi. Karena uang akan memperbudak kita dan memaksa
segala cara dilakukan demi mendapatkannya. Dan ketika teman itu berpikir sadar
bahwa membuat PTK pun demi uang, maka perhitungan untung rugi pun sudah ditara
dengan uang.
Berbagai
cara dilakukan demi mempertahankan “hak” diri hingga dengan beraninya merampas
hak orang lain. Hak intelektual orang dalam bentuk karya sebagian telah dicuri
dan dihina sedemikian rupa demi mempertahankan “hak”. Di mana keintelektualan
kita ketika sudah tak mampu lagi
menghargai hak intelektual orang lain?
Hak
intelektual orang lain telah dibegal dan diakui sebagai hasil intektual dirinya
tanpa permisi. Meski dengan sepengetahuannya dan seijinnya sekali pun,
sesungguhnya kita sangat tidak etis untuk bertindak demikian. Apalagi jika itu
dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seijinnya. Tentu ini merupakan
tindakan yang sangat tidak terpuji.
Ini
merupakan PR besar bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan itu. Kebijakan
yang kurang populer di kalangan guru ternyata telah menjerumuskan guru untuk
mencari solusi termudah dan tercepat.
Hal
yang perlu kembali dikaji oleh pemerintah adalah keefektifan kebijakan
tersebut. Demikan berpengaruhkah kebijakan agar guru melakukan penelitian, terhadap
peningkatan prestasi siswa dan peningkatan kualitas pendidikan di negeri kita?
Pemerintah mestinya perlu mengkaji dan menguji kembali bukti-bukti pengaruh
penelitian itu (jika hanya sebuah rekayasa) terhadap peningkatan kualitas guru
dalam pembelajaran dan peningkatan kualitas pendidikan.
Pemerintah
juga perlu mengkaji kebijakan itu terhadap efek negatif perilaku guru. Pengalaman
selama ini membuktikan aturan yang terlalu ketat biasanya akan melahirkan solusi jahat. Apalagi jika
dilakukan oleh para intelektual bangsa yang nota bene dipercaya juga untuk
melahirkan intelektual bangsa yang baru. Tidakkah itu sangat berbahaya jika
dibiarkan terus menerus?
Tentu
pemerintah tidak boleh menutup mata. Pemerintah mesti segera melangkah untuk
mencari kebijakan baru yang “lebih bijak” agar dapat diterima oleh para guru
sejalan dengan kemampuannya. Memaksakan kebijakan berakibat vatal. Tentu ada
cara yang lebih baik untuk memoles guru agar lebih tampak cantik lagi.
Di
sisi lain guru juga harus mau berniat diri untuk melakukan sesuatu yang
berfungsi untuk meningkatkan keintelektualannya dengan rasa iklas dan semangat
tanpa berpikir terlalu jauh tentang imbalan apa yang hendak didapatkannya.
Sudah
selayaknya semua berpikir jernih dan bersemangat untuk saling memperbaiki diri
dengan prinsip saling menghormati. Sudah saatnya kita tidak akan pernah lagi
mencuri hak intektual seseorang demi mempertahankan “hak” kita@
*Dimuat
majalah Sang Guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar