Jumat, 28 Oktober 2016

UNTUK APA MENULIS PTK*


 “Sungguh menjadi niat yang  tidak  mulia karena saya membuat PTK dengan  tujuan untuk mempertahankan tunjangan sertifikasi tidak dicabut.”
Demikian satu kiriman pesan SMS yang saya terima dari seorang teman di suatu malam. Dan menariknya pernyataannya itu bukan ditujukan kepada orang lain tetapi justru ditujukan kepada dirinya sendiri. Meskipun awalnya bernada gurauan namun tampaknya ada keseriusan yang tak lagi dapat tersembunyikan dalam pikirannya. Karena kebetulan saat itu ia kabarkan bahwa dirinya tengah sibuk menyelesaikan PTK.
Sempat sejenak saya merenungkan  apa maksud  dari pernyataan itu. Dan masih dalam kebingungan kemudian saya tanyakan hal itu. Dan  dirinya pun berdiplomasi; mestinya membuat PTK harus diniati untuk berbagi ilmu yang bermanfaat.Tetapi kenyataannya?
Terus terang  pernyataan itu membuat saya menjadi tertantang untuk mengikuti pikirannya. Dan kemudian mengajak jari-jemari saya untuk secepatnya menekan-tekan tombol komputer, menuliskan segala hal yang ada dalam alam pikiran saya terkait dengan pernyataannya itu dan menuliskan pula kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam pikiran dia.
Pernyataan seloroh namun saya anggap sangat serius untuk ditanggapi dan dibahas dengan pikiran yang jernih. Sebab saya yakin bahwa teman itu melontarkan pernyataan dari lubuk hati yang paling dalam. Dan hebatnya ia berani mengritik dirinya sendiri di tengah ketakutan orang untuk jujur “ menertawakan”  diri sendiri. Berani jujur adalah hebat, begitu kalimat yang tepat untuk mengapresiasinya sebagaimana bunyi slogan yang kebetulan saya baca di sebuah majalah ilmiah.
Kenapa hebat ? Karena terus terang saja sementara sebagian besar orang justru tengah menyimpan erat kelucuannya sendiri untuk tidak ditertawakan orang lain, sementara teman saya itu justru berani menertawakan diri. Maka patut saya apresiasi dia.
Apakah yang menjadi kelucuan kita terutama sebagai guru akhir –akhir ini? Tentu tentang hal yang terkait dengan tema SMS teman saya tadi. Kelucuan apa yang sementara disimpan oleh kita ? Lagi-lagi tentang hal yang terkait dengan topik SMS tadi. Yakni kejujuran motivasi dan niatan malakukan kegiatan guru berupa penelitian yang dianggap ilmiah itu.
Ada banyak hal yang pantas kita renungkan bersama  secara jernih tentang ketidak mulian niat kita untuk membuat PTK serta prosesnya sebagaimana dilontarkan oleh teman saya tadi. Pengakuan diri bahwa apa yang tengah dilakukannya merupakan perkerjaan yang jauh dari maksud pemerintah yang sesungguhnya dalam memberikan kebijakan yang mewajibkan para guru melaksanakan penelitian tindakan kelas.
Semua tentu sudah memahami maksud dan tujuan pemerintah memberikan kebijakan itu. Inti dari maksud  dan tujuan pemerintah tentu untuk menjadikan guru meningkat dalam hal kualitasnya yang berefek baik terhadap  kualitas pembelajarannya sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Maksud lain adalah agar guru mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang tepat demi peningkatan hasil belajar siswa. Inipun  jauh api dari panggang. Dengan penelitian seadanya seorang guru berani menyatakan kesimpulan hasil tindakan ilmiahnya telah berhasil meningkatkan prestasi yang diyakinkan dengan tabel angka yang sangat mudah dibaca dan dengan dukungan gambar grafik warna menarik. Semua ditampilkan untuk meyakinkan orang lain bahwa apa yang telah dilakukannya benar-benar berhasil.
Berbagi kebaikan  ilmu kepada orang lain juga  menjadi tujuan yang tidak kalah mulianya dibanding dua tujuan yang disebut di atas menurut catatan yang ada di dalam PTK. Namun kenyataannya membuat kita tertawa dalam hati juga. Bagaimana mungkin kita berbagi ilmu ketika kita sendiri tidak memiliki pengalaman nyata terhadap apa yang konon kita lakukan?
Lagi-lagi kita harus berani menertawakan diri, mana kala kita tak mengerti apa yang kita lakukan terkait dengan penelitian yang kita akui sebagai buah karya. Memahami sesuatu  yang kita miliki dan kita lakukan tentu akan lebih mudah jika sesuatu itu  benar-benar milik kita. Tapi bagaimana kita akan memahami terhadap sesuatu yang bukan milik kita? Jadi bagaimana mungkin kita akan berbagi ilmu sedangkan kita sendiri tidak memahaminya?
Namun fenomena yang terjadi di lapangan justru sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh teman saya tadi. Jangankan berpikir untuk menjamin peningkatan  kualitas pendidikan, untuk meningkatkan kualitas diri pun sudah tak terpikirkan lagi. Melaksanakan penelitian bukan lagi bertujuan mulia seperti yang diungkapkan oleh teman saya tadi yakni untuk meningkatkan kualitas diri dan berbagi ilmu yang bermanfaat. Tetapi secara jujur ia melakukannya demi memenuhi kewajiban dan mempertahankan sesuatu yang konon disebut “hak”, yakni kenaikan pangkat dan tunjangan sertifikasi.
Ada benarnya pernyataan tersebut ketika selanjutnya saya endapkan dalam pikiran saya. Tapi bagaimana lagi? Itulah kenyataan yang ada di dunia pendidikan kita saat ini. Menjadi dilema saat kita ada di dalamnya. Antara menerima dan menolak kenyataan menjadi bertarung dengan kekuatannya masing-masing.
Ironis memang ketika kita sudah berpikir uang menjadi segalanya seperti halnya pernyataan teman saya tadi. Karena uang akan memperbudak kita dan memaksa segala cara dilakukan demi mendapatkannya. Dan ketika teman itu berpikir sadar bahwa membuat PTK pun demi uang, maka perhitungan untung rugi pun sudah ditara dengan uang.
Berbagai cara dilakukan demi mempertahankan “hak” diri hingga dengan beraninya merampas hak orang lain. Hak intelektual orang dalam bentuk karya sebagian telah dicuri dan dihina sedemikian rupa demi mempertahankan “hak”. Di mana keintelektualan kita ketika sudah tak mampu lagi  menghargai hak intelektual orang lain?
Hak intelektual orang lain telah dibegal dan diakui sebagai hasil intektual dirinya tanpa permisi. Meski dengan sepengetahuannya dan seijinnya sekali pun, sesungguhnya kita sangat tidak etis untuk bertindak demikian. Apalagi jika itu dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seijinnya. Tentu ini merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.
Ini merupakan PR besar bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan itu. Kebijakan yang kurang populer di kalangan guru ternyata telah menjerumuskan guru untuk mencari solusi termudah dan tercepat.
Hal yang perlu kembali dikaji oleh pemerintah adalah keefektifan kebijakan tersebut. Demikan berpengaruhkah kebijakan agar  guru melakukan penelitian, terhadap peningkatan prestasi siswa dan peningkatan kualitas pendidikan di negeri kita? Pemerintah mestinya perlu mengkaji dan  menguji kembali bukti-bukti pengaruh penelitian itu (jika hanya sebuah rekayasa) terhadap peningkatan kualitas guru dalam pembelajaran dan peningkatan kualitas pendidikan.
Pemerintah juga perlu mengkaji kebijakan itu terhadap efek negatif perilaku guru. Pengalaman selama ini membuktikan aturan yang terlalu ketat biasanya  akan melahirkan solusi jahat. Apalagi jika dilakukan oleh para intelektual bangsa yang nota bene dipercaya juga untuk melahirkan intelektual bangsa yang baru. Tidakkah itu sangat berbahaya jika dibiarkan terus menerus?
Tentu pemerintah tidak boleh menutup mata. Pemerintah mesti segera melangkah untuk mencari kebijakan baru yang “lebih bijak” agar dapat diterima oleh para guru sejalan dengan kemampuannya. Memaksakan kebijakan berakibat vatal. Tentu ada cara yang lebih baik untuk memoles guru agar lebih tampak cantik lagi.
Di sisi lain guru juga harus mau berniat diri untuk melakukan sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan keintelektualannya dengan rasa iklas dan semangat tanpa berpikir terlalu jauh tentang imbalan apa yang hendak didapatkannya.
Sudah selayaknya semua berpikir jernih dan bersemangat untuk saling memperbaiki diri dengan prinsip saling menghormati. Sudah saatnya kita tidak akan pernah lagi mencuri hak intektual seseorang demi mempertahankan “hak” kita@

*Dimuat majalah Sang Guru




Tidak ada komentar:

Posting Komentar