Minggu, 23 Oktober 2016

MENGGALANG DANA TANPA PUNGUTAN


Makalah oleh Riyadi*
Sejauh ini banyak sekolah mengalami dilema terkait dengan penggalangan dana dari masyarakat. Di satu sisi berdasarkan penilaian akreditasi sekolah, pemerintah mengharapkan sekolah dapat menggalang partisipasi masyarakat dalam hal pendanaan sekolah, namun di sisi lain dengan munculnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pihak sekolah terutama sekolah negeri dilarang keras untuk melakukan pungutan dari orang tua siswa.
Peraturan tersebut sungguh membuat sejumlah sekolah mengalami keraguan dalam hal menentukan kebijakan. Sekolah yang tidak melakukan penggalangan dana, nilai poin akreditasi akan kurang karena efek dari itu disinyalir akan menghambat perkembangan sekolah. Sedangkan jika sekolah melakukan penggalangan dana maka akan dicurigai dan dianggap melanggar peraturan. Karena dengan dalih apapun mereka akan dipersalahkan jika sampai melakukan kegiatan pungutan.
Hal semacam  itu juga menjadi simalakama ketika dilaksanakan oleh sekolah sehingga pihak sekolah, terutama kepala sekolah sebagai penentu kebijakan menjadi grogi dan takut. Banyak kasus penggalangan dana dianggap sebagai pungutan yang akhirnya menyeretnya ke ranah hukum tanpa ada pembelaan dari pihak manapun.
Dilema  semacam itu  dialami oleh sebagian besar sekolah di tanah air termasuk pula di Sekolah Dasar Negeri Sunyalangu Kecamatan Karanglewas selama ini. Pihak sekolah mengalami kebuntuan dalam menetukan kebijakan dalam hal pendanaan sekolah dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada para siswanya karena segala pendanaan operasional dan kebutuhan sekolah mutlak diandalkan dari dana APBN dan APBD da;am bentuk BOS.
Sejauh pengetahuan penulis, sejak adanya dana BOS, praktis segala pendanaan sekolah ditanggung oleh dana tersebut. Hal ini dilakukan oleh sebagian besar kepala sekolah yang pernah menjabat di sana. Dan kebijakan ini jelas dilakukan karena penafsiran terhadap peraturan yang berbunyi ; “Sekolah dilarang melakukan pungutan”  serta pernyataan “ Sekolah bebas pungutan” yang wajib dipasang di lingkungan sekolah sekali gus menjadi ancaman.
Disamping itu  kondisi ekonomi masyarakat dan wali murid yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan menjadikan setiap kepala sekolah harus berpikir ulang ketika hendak melakukan penggalangan dana semacam itu di sana.
Maka wajar, ketika hal tersebut berimbas terhadap kemajuan dan perkembangan sekolah yang demikian lambat terutama dalam hal pengembangan fisik dan lingkungan sekolah jika dibandingkan dengan sekolah yang berada di kota.
Hal demikian terus berlangsung dan menimbulkan beberapa efek yang kurang menguntungkan bagi pihak sekolah. Pertama sekolah  mendapatkan nilai negatif dalam hal peran serta  masyarakat pada saat dilakukannya penilaian akreditasi sekolah. Hal itu dapat dibuktikan dengan perolehan nilai di sektor peran serta masyarakat dalam hal pendanaan sekolah yang merosot dibanding dengan saat sebelum sekolah tersebut mendapatkan dana Bantuan Opererasional Sekolah (BOS) beberapa tahun yang lalu.
 Ke dua, mengurangi kesadaran masyarakat dalam hal ikut bertanggung jawab terhadap sekolah. Masyarakat merasa kurang memilki kepedulian terhadap sekolah sebagai bagian dari kehidupan terutama bagi anak-anak mereka dalam hal memperoleh pendidikan yang layak.
Dampak ke tiga adalah  menumbuhkan  karakter negatif yakni mereka selalu berharap bantuan dari pihak lain tanpa mau berusaha untuk mandiri. Dengan adanya bantuan tersebut seolah mereka memiki hak penuh untuk melakukan sekehendak hati. Maknanya mereka justru merasa tak dirugikan ketika anak-anak mereka tidak bersemangat dalam belajar atau bersekolah. Mereka kurang memberikan motivasi terhadap anak-anak sehingga banyak terjadi drop out yang tidak disesali akibat mereka tidak merasa membayar langsung terhadap biaya sekolah anak-anak mereka.
Dan ke empat, yang merupakan efek  paling jelas yakni terhambatnya perkembangan sekolah. Sekolah menjadi biasa- biasa saja akibat dana yang terbatas dan penggunaannya yang dibatasi pula oleh berbagai peraturan yang seringkali berbeda dengan kebutuhan riil di sekolah tersebut.
Dengan melihat kenyataan itu maka perlu adanya solusi yang dapat mengubah hal yang bersifat negatif itu. Hanya saja solusi ini harus benar-benar cermat dan tepat yang tidak menimbulkan masalah di masyarakat dan bergejolak hingga memaksa pihak sekolah mengalami nasib tak menguntungkan semacam masuk ke ranah hukum.
Diperlukan kebijakan dan strategi untuk menggalang dana dengan tidak merugikan dan membebani wali murid terutama mereka yang termasuk keluarga kurang mampu. Adapun langkah pertama yang diambil kepala sekolah adalah menanamkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sekolah dan menanamkan konsep sekolah adalah milik masyarakat. Ini sangat penting agar dapat menjadi dasar untuk menentukan langkah berikutnya.
 Penanaman kesadaran itu dilakukan dengan cara pertemuan wali murid, pertemuan paguyuban wali murid, kunjungan ke wali murid, dan sejenisnya. Tidak lupa menggandeng Komite Sekolah sebagai mitra sekolah dan mitra masyarakat untuk melakukan semua itu.
Sekolah harus mempu meyakinkan mereka dengan bahasa yang tepat dan mengena sasaran. Hal itu sangat penting mengingat masyarakat di sana merupakan masyarakat kelompok bawah yang cukup sulit ketika diajak berkomunikasi dengan bahasa yang terlalu rumit. Oleh karena itu penggunaan komunikasi yang sederhana justru diharapkan membuahkan hasil baik.
 Mereka diajak untuk ikut memikirkan tentang kemajuan sekolah melalui berbagai kegiatan sekolah dalam setiap kesempatan. Pihak sekolah tidak memaksakan suatu program tertentu yang sudah dipersiapkannya karena belum tentu mereka dapat menerimanya. Namun ketika mereka diberi kesempatan menentukan kebijakan, mereka merasa dimanusiakan oleh pihak sekolah sehingga apa yang dikerjakan sekolah  mendapat restu dan dukungan mereka. Dengan kesadaran semacam itu ternyata mekan mudah mereka dibawa untuk maju karena mereka merasa memilki sekolah.
Langkah berikutnya sekolah melakukan penawaran program kegiatan dan menawarkan solusi pendanaannya  sekali gus. Jika selama ini masyarakat di sana telah terninabobokan oleh pemerintah dalam pendanaan sekolah putra-putri mereka, maka secara halus sekolah mencoba membangunkan mereka dari peraduannya. Sekolah mencoba sedikit demi sedikit menggalang dana yang sekiranya tidak  terlalu memberatkan mereka.
Sebagai contoh yang dilakukan di sana, sekolah memilki program pembuatan taman sekolah, papan nama, dan perbaikan talud serta tembok keliling yang cukup memerlukan banyak dana. Dilemanya sekolah tidak bisa melakukan itu jika hanya mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah saja. Maka yang dilakukan sekolah yakni membuat terobosan dan strategi menggalang dana untuk mewujudkan program itu. Strategi itu tentu dipilih yang tidak mengagetkan dan membebani masyarakat yang dapat mengakibatkan gejolak dan menyebakan campur tangan pihak lain yang hanya membuat kekisruhan saja.
Sebagai contoh kecil, anak dimintai untuk menyumbangkan satu butir batu, atau seember pasir sebagai bentuk peran serta mereka sebagai warga sekolah yang sama-sama ingin maju. Sebagai prediksi awal, sekolah melakukan penghitungan. Taruhlah jika di sana terdapat 150 siswa, dan 90% dari mereka memenuhi tugasnya maka diprediksi akan terkumpul sejumlah 135 butir batu dengan ukuran minimal. Dan jika harga batu setempat diprediksikan seribu rupiah per butir maka akan terkumpul dana sejumlah minimal seratus tigapuluh lima ribu rupiah.
Jika kegiatan itu dilakukan seminggu sekali maka dalam satu bulan akan terkumpul pula sejumlah delapan ratus sepuluh ribu rupiah. Sebuah jumlah angka yang cukup tinggi bagi masyarakat pedesaan. Ini membuat beban sekolah dalam merencanakan program pembuatan taman dan nama sekolah menjadi lebih ringan dalam pendanaannya.
  Ini sangat memungkinkan dilakukan anak atau orang tua semiskin apapun karena sebutir batu dapat diambil dari mana saja. Dari sungai terdekat, dari pekarangan atau dari mana saja karena sekolah tersebut kebetulan berada di kaki gunung yang merupakan sumber bebatuan dan memudahkan masyarakat di sana menemukan berbagai macam batuan.
Kegiatan semacam itu cukup aman karena tidak melanggar ketentuan dan tidak memberatkan masyarakat atau wali murid.  Wali murid tidak merasa mendapat kewajiban membayar iuran namun sesungguhnya mereka telah menyumbangkan uang. Strategi semacam itu cukup halus dan tidak menyebabkan gejolak dan melanggar peraturan karena sekolah tetap tidak bisa dituduh  telah melakukan pungutan.
Untuk masalah lain semacam penyediaan pot, tanaman, pupuk, dan kebutuhan lain juga bisa dilakukan dengan strategi serupa. Yang penting mereka tidak dibebani dana dan  sekolah tidak membuat aturan pungutan atau iuran untuk sebuah kegiatan.
Untuk rencana itu sekolah membagi anak- anak di kelas ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok akan diberi tugas untuk memelihara tanaman dalam sebuah pot. Guna menunjang program tersebut sekolah menugasi mereka untuk mengadakan program semacam tabulapot beserta tanamannya. Tentu saja dalam hal ini sekolah atau guru memberikan berbagai petunjuk dan ketentuan tentang bentuk pot dan jenis tanaman agar hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah.
Kegiatan ini bisa diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu yang terkait dan tentu  perlu diberi reward berupa nilai proyek atau sejenisnya agar mereka termotivasi dan lebih bersemangat. Bahkan bila perlu hal semacam itu dilombakan antar kelompok agar mereka memiliki motivasi yang lebih besar lagi.
            Kegiatan semacam itu di satu sisi akan memberikan pengalaman terhadap anak-anak. Mereka akan mendapatkan pembelajaran tentang tanggung jawab, kekompakan, dan sekaligus pengetahuan pertanian dan cinta lingkungan yang dapat mendukung pembentukan karakter mereka sebagai manusia dewasa kelak. Di sisi lain sekolah juga  diuntungkan dengan keringanan pendanaan penyediaan tanaman dan pot untuk taman.
 Dalam hal ini sekolah melalui guru wali kelas atau guru yang ditunjuk sebagai penanggung jawab dapat membimbing dan mengarahkan sedemikian rupa agar apa yang dilakukan siswa sesuai dengan apa yang menjadi program sekolah.
Kegiatan semacam itu sedikit demi sedikit sedang diterapkan di SDN Sunyalangu Kecamatan Karanglewas.  Sebagian apa yang dibahas di atas telah terwujud nyata dan dapat dijadikan reverensi terhadap semua program sekolah tahun-tahun mendatang.
Apa yang dilakukan sekolah ternyata tidak mendapatkan respon negatif dari para orang tua murid. Justru mereka mendukung kegiatan tersebut dengan penuh antusias. Beberapa orang tua yang dimintai komentar dan tanggapannya secara terbuka dan dalam situasi yang tidak resmi, memberikan apresiasi dan tidak merasa keberatan untuk menyumbangkan sebutir batu. Bahkan beberapa orang tua turut serta membantu anaknya mengantarkan beberapa buah batu ke sekolahnya dengan suka rela. Ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat sebenarnya tetap dapat dilakukan dalam bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah untuk tidak melakukan pungutan kepada orang tua siswa.
Dengan demikian kunci dari keberhasilan program peran serta pendanaan masyarakat terhadap sekolah adalah adanya  inovasi sekolah. Sekolah harus mampu berinovasi untuk melakukan hal semacam itu. Butuh kreatifitas kepala sekolah dan guru dalam merancang penggalangan dana masyarakat tanpa merugikan dan memberatkan mereka.
Jadi tidak ada alasan takut menggalang dana karena penggalangan dana memang disarankan di satu sisi. Hanya saja metode, strategi dan tekhniknya jangan sampai membuat mereka menjadi keberatan, bersifat memaksa dan atau mewajibkan dalam  bentuk yang memang melanggar aturan. Karena hal itu akan menjadikan gejolak dan menimbulkan masalah baru bagi sekolah.
Komunikasi harus terus dijalin agar tidak terjadi miskomunikasi yang merugikan pihak manapun. Membangun kerja sama antar sekolah dengan komite, sekolah dengan masyarakat, dan komite dengan masyarakat tampaknya harus terus dilakukan demi suksesnya program sekolah. Jadi tidak ada alasan sekolah tidak mampu menggalang dana masyarakat dengan munculnya peraturan sebagaimana tertulis  “Sekolah tidak boleh memungut biaya”  atau “Sekolah bebas pungutan”.
Sepanjang sekolah tidak pernah membuat kebijakan tentang pungutan dalam bentuk iuran yang ditentukan jumlah dan waktunya maka sekolah tidak akan dicap sebagai sekolah non bebas pungutan. Menafsirkan makna peraturan tersebutsecara tepat juga sangat perlu agar sekolah tidak terjebak oleh kebijakan sendiri yang dapat menjadikan persoalan@

Riyadi
Pendidik di SD Negeri I Kediri UPK Karanglewas.
Tinggal di jln Buntu Pasirmuncang RT05/04 Purwokerto Barat.

*Dimuat Majalah INFO Education
                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar