”
Oleh
: Riyadi
Keputusan pemerintah melalui Menteri
Pendidikan Anies Baswedan untuk menarik
kembali implementasi kurikulum 2013 yang praktis baru diberlakukan bagi seluruh
sekolah selama belum genap satu semester menjadi masalah yang menarik untuk
dibahas. Peraturan menteri baru yang begitu
cepatnya itu membawa konsekuensi bagi dirinya selaku pemerintah. Pro kontra
terjadi terhadap peraturan tersebut
dengan argumentasi masing-masing. Bahkan ada yang menyebutnya kurikulum kita
“kembali ke laptop.”
Konsekuensi pertama bagi dirinya selaku
pemerintah dianggap gegabah karena kurang perenungan lebih dalam ketika hendak
mengeluarkan peraturan tersebut. Pemerintah dianggap kurang berhati-hati dan
terlalu cepat dalam mengambil langkah.
Konsekuensi ke dua pemerintah dianggap
melakukan langkah mundur dalam dunia pendidikan. Meskipun yang menuduh hal itu
justru dari mantan menteri yang sejak dulu sudah banyak dirundung masalah terkait
dengan pelaksanan UASBN, pemaksaan implementasi
kurikulum 2013, serta masalah lainnya, namun demikian sorotan dari seniornya
itu juga perlu direnungkan.
Konskuensi ke tiga pemerintah dituduh
telah menghambur-hamburkan dana untuk penyusunan kurikulum 2013. Meskipun
tuduhan itu agak sedikit meleset mengingat kebijakan penyususnan kurikulum baru
itu berlangsung selama peerintahan sebelumnya dan pemerintah baru itu hanya terwarisi saja,
namun demikian penghentian itulah yang dianggap memubazirkan keuangan negara.
Konsekuensi berikutnya pemerintah
sekarang diminta untuk tegas menyatakan berhenti atau terus melanjutkan penggunaan kurikulum 2013
tersebut. Hal itu muncul dari kalangan pelaku pendidikan langsung terutama dari
pihak sekolah maupun para pendidik mengingat proses transformasi pendidikan di
sekolah tidak boleh berhenti barang sesaat pun oleh kebingungan mereka.
Tuntutan ketegasan itu memang menjadi
penting mengingat sikap menteri yang terkesan mengendur ketika mendapat tekanan
dari sana-sini sesaat pasca pengeluaran keputusan tetang penghentian kurikulum
baru tersebut. Lihat saja ketika sang menteri di awal tegas-tegas menghentikan
penggunaan kurikulum 2013 melalui surat keputusannya, namun begitu menuai
protes dari berbagai pihak yang merasa dirugikan kemudian sedikit melunak
dengan memberi embel-embel bahwa penghentian kurikulum 2013 diberlakukan bagi
sekolah-sekolah yang baru melaksanakan selama satu semester. Sedangkan bagi sekolah –sekolah yang sudah
memberlakukan selama tiga semester
diperbolehkan tetap menggunakan kurikulum tersebut. Itupun masih diberi
kalimat yang tidak tegas lagi di mana sekolah yang kurang bersedia boleh
mengajukan keberatan.
Sikap plintat-plintut inilah yang mengesankan bahwa pemerintah sekarang
sebenarnya kurang punya nyali. Sabda
pandhita ratu menurut tatanan masyarakat Jawa dinggap sebagai hal yang
mestinya dipegang teguh oleh siapa pun yang menjadi pemimpin, ternyata kurang dipegang oleh pemerintah sekarang.
Maka kepercayaan rakyat pun menjadi luntur ketika pimpinan mancla-mencle dalam sikap
dan peraturan yang berupa undang-undang.
Fenomena kurikulum “kembali ke laptop”
yang merupakan eufemisme masyarakat untuk menyindir pemerintah menjadi
pembicaraan tersendiri di tengah
kebimbangan pemerintah.
Tema terkait dengan penghentian
kurikulum 2013 yang berkembang di masyarakat saat berdesas-desus diantaranya adanya tuduhan bahwa pemerintah
hanya ingin menunjukkan taring, berani mengubah kebiasaan lama bahwa tidak
setiap pemerintahan baru akan memberlakukan kurikulum baru. Pemerintah, dalam
hal ini Menteri Pendidikan ingin
membuktikan bahwa dirinya tidak akan
melakukan hal yang sama seperti
yang selama ini dituduhkan kepada setiap menteri bahwa setiap ganti menteri akan ganti
kurikulum.
Jika tuduhan itu benar maka sikap menteri menjadi hebat selama kebijakan
itu bagus. Sayangnya regulasi itu terlalu cepat, terkesan terlalu emosi untuk
menunjukkan jati dirinya sehingga apa yang sudah menjadi keputusan seakan
disesali sendiri. “Kembali ke laptop” menjadi idiom yang mengembang.
Tuduhan berikutnya, pemeritahan baru
dianggap bernyali kecil ketika diprotes
oleh pemerintahan sebelumnya bahwa dirinya malakukan langkah mundur. Ini terbukti
dengan sikap tetap memberlakukannnya kurikulum 2013 bagi sekolah yang telah melaksanakannya
selama tiga semester sebagai sekolah percontohan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah memberikan kesan mbombongi kepada pihak penggebrak.
Kebijakan mbombongi
ini justru berefek membingungkan bagi pelaksana di bawah. Ada sekolah yang
memberlakukan kurikulum 2013, semantara ada pula yang memberlakukan kurikulum
2006. Maju kena mundur pun kena,
demikian ibaratnya. Maka benar apa yang
ditulis Mardiyanto dalam artikelnya di Suara Merdeka tanggal
(13/12) yang menyebut bahwa terjadi “Dualisme” Kurikulum Nasional di
negeri ini.
Jika sikap mbombongi oleh pemerintah ini benar, maka prediksi ke depan tentang
kurikulum mana yang akan diberlakukan, kemungkinan kurikulum 2013 akan tetap
diberlakukan mengingat sejumlah sekolah telah diberi lampu hijau untuk tetap
malaksanakannya, bahkan sebagai percontohan. Jika demikian pemerintah hanya
berkesan ‘menyelinap’ saja demi
menyelamatkan diri akan kesalahannya dalam mengambil keputusan.
Jika ternyata nanti pemerintah tetap akan memutuskan “kembali ke laptop”,
menggunakan kurikulum 2006 atau mungkin menyusun kurikulum yang lebih baru lagi ini
berarti tradisi lama akan “kembali ke
laptop” juga. Tuduhan ganti menteri ganti kurikulum pun akan berlaku sebagaimana biasanya.
Dan selama masa pengembalian ke
kurikulum 2006 benar-benar terbukti hanya sebagai masa untuk meredam api atau untuk
sekadar mbombongi saja.
Memang menjadi dilema bagi pemerintah
sekarang. Menghentikan kurikulum 2013 yang selama ini dianggap memberatkan para
guru, sepertinya pemerintahan baru tengah menjadi pahlawan bagi mereka yang
keberatan. Tetapi dianggap keliru oleh mereka yang berseteru. Tuduhan
pemerintahan baru terlalu gegabah dan terburu-buru dialamatkannya. Sedangkan
membiarkan pemberlakuan kurikulum 2013, pemerintah dianggap keliru juga.
Banyaknya sekolah yang belum siap melaksanakannya menjadikan proses pendidikan tersendat-sendat
yang akan berimbas pada anak-anak Indonesia bahkan bisa menjadi korban regulasi
dan menjadi kelinci percobaan saja.
Di tengah terombang-ambingnya suasana,
mestinya semua pihak harus berpikir jernih. Saling menyalahkan hendaknya itu
yang harus dinentikan. Duduk bersama yang melibatkan unsur-unsur terkait mesti
segera dilakukan dan membekali diri dengan kepala yang dingin. Tidak perlu ada yang
menyudutkan ketika mencari solusi dan tidak perlu ada yang merasa tersudutkan pula. Jika apa yang
menjadi kebijakannya memang dirasa memiliki kelemahan maka siaplah
disempurnakan tanpa ada perasaan gengsi. Dan yang memiliki kelebihan, secara bertanggung
jawab harus memberi solusi tanpa arogansi.
Kurikulum 2013 yang belum dapat
dilaksanakan oleh sebagian besar sekolah
bukan bermakna tidak tepat atau tidak baik. Hanya perlu waktu untuk
mengenalkannya, menyiapkan SDM nya, serta perangkat pendukung lainnya. Hal ini
sangat dirasakan oleh sekolah-sekolah yang saat itu baru mengenalnya secara dadakan
tanpa bekal persiapan apapun.
Bagi sekolah-sekolah yang sudah
menjalankannya selama tiga semester, permasalahannya tentu saja tak serumit itu.
Mereka menganggap bahwa kurikulum 2013 sangat bagus dan harus tetap
diberlakukan. Hingga mereka bersikap tetap melanjutkan kurikulum 2013 tersebut.
Hanya saja sikap demikian pun perlu dikaji. Benarkah sikap mendukung kurikulum
2013 itu murni karena memang sudah mengkaji dengan lengkap tentang
kelebihannya.
Yang disayangkan adalah jika sikap
mereka hanyalah membela kepentingan sendiri mengingat betapa repotnya jika
mereka harus kembali ke kurikulum lama. Kerepotan tersebut terkait dengan
kelengkapan administrasi dan kebijakan lain yang sudah dijalankan dan berbeda
dengan administrasi kurikulum 2013. Tentu mereka harus merombak kembali sistem
administrasi yang selama ini dikerjakannya. Barangkali pemikiran seperti itulah
yang lebih menjadi pertimbangan untuk tetap mendukung pemberlakukan kurikulum
2013.
Namun demikian bagi sekolah yang
mendukung diberhentikannya implementasi kurikulum 2103 itu pun tidak bisa
kemudian duduk manis. Mereka tetap harus berkemas melaksanakan kurikulum baru itu mengingat
penghentian ini hanyalah bersifat sementara seperti halnya moratorium pada
pemberangkatan haji atau pengadaan PNS. Apalagi sang menteri sudah mengatakan
bahwa penghentian itu didasari oleh belum siapnya sekolah dan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum itu. Maknanya pemerintah akan tetap memberlakukan kurikulum 2013 pada
saatnya.
Akhirnya apapaun yang akan diberlakukan
dalam regulasi pemerintah, sekolah harus tetap mempersiapkan diri. Baik
kurikulum 2103 maupun 2006 yang akan ditatapkan yang penting guru harus siap melakukan terobosan sendiri dalam
mengajar. Mereka harus inovatif dan kreatif dalam melaksanakan pembelajaran.
Itu yang penting. Apalah artinya kurikulum baru jika mereka memilki mindset
yang biasa saja tanpa mau perubahan. Apalah artinya perubahan kurikulum jika
para guru tetap tidak mau berkreasi dan berinovasi dalam pembelajaran. Maka anak-anaklah
yang akan mengenyam imbas dari semua itu.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar