Senin, 31 Oktober 2016

KURIKULUM KITA “KEMBALI KE LAPTOP

Oleh : Riyadi
Keputusan pemerintah melalui Menteri Pendidikan Anies Baswedan untuk  menarik kembali implementasi kurikulum 2013 yang praktis baru diberlakukan bagi seluruh sekolah selama belum genap satu semester menjadi masalah yang menarik untuk dibahas. Peraturan menteri  baru yang begitu cepatnya itu membawa konsekuensi bagi dirinya selaku pemerintah. Pro kontra terjadi  terhadap peraturan tersebut dengan argumentasi masing-masing. Bahkan ada yang menyebutnya kurikulum kita “kembali ke laptop.”
Konsekuensi pertama bagi dirinya selaku pemerintah dianggap gegabah karena kurang perenungan lebih dalam ketika hendak mengeluarkan peraturan tersebut. Pemerintah dianggap kurang berhati-hati dan terlalu cepat dalam mengambil langkah.
Konsekuensi ke dua pemerintah dianggap melakukan langkah mundur dalam dunia pendidikan. Meskipun yang menuduh hal itu justru dari mantan menteri yang sejak dulu sudah banyak dirundung masalah terkait dengan pelaksanan UASBN, pemaksaan  implementasi kurikulum 2013, serta masalah lainnya, namun demikian sorotan dari seniornya itu juga perlu direnungkan.
Konskuensi ke tiga pemerintah dituduh telah menghambur-hamburkan dana untuk penyusunan kurikulum 2013. Meskipun tuduhan itu agak sedikit meleset mengingat kebijakan penyususnan kurikulum baru itu berlangsung selama peerintahan sebelumnya dan  pemerintah baru itu hanya terwarisi saja, namun demikian penghentian itulah yang dianggap memubazirkan keuangan negara.
Konsekuensi berikutnya pemerintah sekarang diminta untuk tegas menyatakan berhenti atau terus  melanjutkan penggunaan kurikulum 2013 tersebut. Hal itu muncul dari kalangan pelaku pendidikan langsung terutama dari pihak sekolah maupun para pendidik mengingat proses transformasi pendidikan di sekolah tidak boleh berhenti barang sesaat pun oleh kebingungan mereka.
Tuntutan ketegasan itu memang menjadi penting mengingat sikap menteri yang terkesan mengendur ketika mendapat tekanan dari sana-sini sesaat pasca pengeluaran keputusan tetang penghentian kurikulum baru tersebut. Lihat saja ketika sang menteri di awal tegas-tegas menghentikan penggunaan kurikulum 2013 melalui surat keputusannya, namun begitu menuai protes dari berbagai pihak yang merasa dirugikan kemudian sedikit melunak dengan memberi embel-embel bahwa penghentian kurikulum 2013 diberlakukan bagi sekolah-sekolah yang baru melaksanakan selama satu semester.  Sedangkan bagi sekolah –sekolah yang sudah memberlakukan selama tiga semester  diperbolehkan tetap menggunakan kurikulum tersebut. Itupun masih diberi kalimat yang tidak tegas lagi di mana sekolah yang kurang bersedia boleh mengajukan keberatan.
Sikap plintat-plintut inilah yang mengesankan bahwa pemerintah sekarang sebenarnya kurang punya nyali. Sabda pandhita ratu menurut tatanan masyarakat Jawa dinggap sebagai hal yang mestinya dipegang teguh oleh siapa pun yang menjadi pemimpin, ternyata  kurang dipegang oleh pemerintah sekarang. Maka kepercayaan rakyat pun menjadi luntur ketika pimpinan mancla-mencle  dalam sikap dan peraturan yang berupa undang-undang.
Fenomena kurikulum “kembali ke laptop” yang merupakan eufemisme masyarakat untuk menyindir pemerintah menjadi pembicaraan tersendiri  di tengah kebimbangan pemerintah.
Tema terkait dengan penghentian kurikulum 2013 yang berkembang di  masyarakat saat berdesas-desus  diantaranya adanya tuduhan bahwa pemerintah hanya ingin menunjukkan taring, berani mengubah kebiasaan lama bahwa tidak setiap pemerintahan baru akan memberlakukan kurikulum baru. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan  ingin membuktikan bahwa dirinya tidak akan  melakukan hal yang  sama seperti yang selama ini dituduhkan kepada setiap menteri  bahwa setiap ganti menteri akan ganti kurikulum.
 Jika tuduhan itu benar maka  sikap menteri menjadi hebat selama kebijakan itu bagus. Sayangnya regulasi itu terlalu cepat, terkesan terlalu emosi untuk menunjukkan jati dirinya sehingga apa yang sudah menjadi keputusan seakan disesali sendiri. “Kembali ke laptop” menjadi idiom  yang mengembang.
Tuduhan berikutnya, pemeritahan baru dianggap bernyali kecil ketika  diprotes oleh pemerintahan sebelumnya bahwa dirinya malakukan langkah mundur. Ini terbukti dengan sikap tetap memberlakukannnya kurikulum 2013 bagi sekolah yang telah melaksanakannya selama tiga semester sebagai sekolah percontohan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah  memberikan kesan mbombongi kepada pihak penggebrak.
 Kebijakan mbombongi ini justru berefek membingungkan bagi pelaksana di bawah. Ada sekolah yang memberlakukan kurikulum 2013, semantara ada pula yang memberlakukan kurikulum 2006.  Maju kena mundur pun kena, demikian ibaratnya.  Maka benar apa yang ditulis Mardiyanto dalam artikelnya di Suara Merdeka  tanggal  (13/12) yang menyebut bahwa terjadi “Dualisme” Kurikulum Nasional di negeri ini.
Jika sikap mbombongi oleh pemerintah ini benar, maka prediksi ke depan tentang kurikulum mana yang akan diberlakukan, kemungkinan kurikulum 2013 akan tetap diberlakukan mengingat sejumlah sekolah telah diberi lampu hijau untuk tetap malaksanakannya, bahkan sebagai percontohan. Jika demikian pemerintah hanya berkesan ‘menyelinap’ saja  demi menyelamatkan diri akan kesalahannya dalam mengambil keputusan.
Jika ternyata nanti pemerintah  tetap akan memutuskan “kembali ke laptop”, menggunakan kurikulum 2006 atau mungkin  menyusun kurikulum yang lebih baru lagi ini berarti  tradisi lama akan “kembali ke laptop” juga. Tuduhan ganti menteri ganti kurikulum pun akan  berlaku sebagaimana  biasanya.  Dan selama masa  pengembalian ke kurikulum 2006 benar-benar terbukti hanya sebagai masa untuk meredam api atau untuk sekadar mbombongi saja.
Memang menjadi dilema bagi pemerintah sekarang. Menghentikan kurikulum 2013 yang selama ini dianggap memberatkan para guru, sepertinya pemerintahan baru tengah menjadi pahlawan bagi mereka yang keberatan. Tetapi dianggap keliru oleh mereka yang berseteru. Tuduhan pemerintahan baru terlalu gegabah dan terburu-buru dialamatkannya. Sedangkan membiarkan pemberlakuan kurikulum 2013, pemerintah dianggap keliru juga. Banyaknya sekolah yang belum siap melaksanakannya  menjadikan proses pendidikan tersendat-sendat yang akan berimbas pada anak-anak Indonesia bahkan bisa menjadi korban regulasi dan menjadi kelinci percobaan saja.
Di tengah terombang-ambingnya suasana, mestinya semua pihak harus berpikir jernih. Saling menyalahkan hendaknya itu yang harus dinentikan. Duduk bersama  yang melibatkan unsur-unsur terkait mesti segera dilakukan dan  membekali diri  dengan kepala yang dingin. Tidak perlu ada yang menyudutkan ketika mencari solusi dan tidak perlu ada yang  merasa tersudutkan pula. Jika apa yang menjadi kebijakannya memang dirasa memiliki kelemahan maka siaplah disempurnakan tanpa ada perasaan gengsi. Dan yang memiliki kelebihan, secara bertanggung jawab harus memberi solusi tanpa arogansi.
Kurikulum 2013 yang belum dapat dilaksanakan  oleh sebagian besar sekolah bukan bermakna tidak tepat atau tidak baik. Hanya perlu waktu untuk mengenalkannya, menyiapkan SDM nya, serta perangkat pendukung lainnya. Hal ini sangat dirasakan oleh sekolah-sekolah yang saat itu baru mengenalnya secara dadakan tanpa bekal persiapan apapun.
Bagi sekolah-sekolah yang sudah menjalankannya selama tiga semester, permasalahannya tentu saja tak serumit itu. Mereka menganggap bahwa kurikulum 2013 sangat bagus dan harus tetap diberlakukan. Hingga mereka bersikap tetap melanjutkan kurikulum 2013 tersebut. Hanya saja sikap demikian pun perlu dikaji. Benarkah sikap mendukung kurikulum 2013 itu murni karena memang sudah mengkaji dengan lengkap tentang kelebihannya.
Yang disayangkan adalah jika sikap mereka hanyalah membela kepentingan sendiri mengingat betapa repotnya jika mereka harus kembali ke kurikulum lama. Kerepotan tersebut terkait dengan kelengkapan administrasi dan kebijakan lain yang sudah dijalankan dan berbeda dengan administrasi kurikulum 2013. Tentu mereka harus merombak kembali sistem administrasi yang selama ini dikerjakannya. Barangkali pemikiran seperti itulah yang lebih menjadi pertimbangan untuk tetap mendukung pemberlakukan kurikulum 2013.
Namun demikian bagi sekolah yang mendukung diberhentikannya implementasi kurikulum 2103 itu pun tidak bisa kemudian duduk manis. Mereka tetap harus berkemas  melaksanakan kurikulum baru itu mengingat penghentian ini hanyalah bersifat sementara seperti halnya moratorium pada pemberangkatan haji atau pengadaan PNS. Apalagi sang menteri sudah mengatakan bahwa penghentian itu didasari oleh belum siapnya sekolah dan guru dalam mengimplementasikan kurikulum itu. Maknanya pemerintah akan tetap memberlakukan kurikulum 2013 pada saatnya.
Akhirnya apapaun yang akan diberlakukan dalam regulasi pemerintah, sekolah harus tetap mempersiapkan diri. Baik kurikulum 2103 maupun 2006 yang akan ditatapkan yang penting guru harus  siap melakukan terobosan sendiri dalam mengajar. Mereka harus inovatif dan kreatif dalam melaksanakan pembelajaran. Itu yang penting. Apalah artinya kurikulum baru jika mereka memilki mindset yang biasa saja tanpa mau perubahan. Apalah artinya perubahan kurikulum jika para guru tetap tidak mau berkreasi dan berinovasi dalam pembelajaran. Maka anak-anaklah yang akan mengenyam imbas dari semua itu.@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar