Bagi siswa, orang tua,
maupun pihak sekolah, menantikan pengumuman kelulusan merupakan saat yang
paling menegangkan. Betapa tidak, dalam
pengumuman itu hanya ada dua alternatif saja. Lulus ataupun tidak lulus.
Seperti halnya bagi siswa-siswi SMA sederajat yang tahun ini harus mendapat
giliran pertama dan kemudian disusul SMP seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kekhawatiran dan
ketegangan selama penantian akan berubah menjadi kelegaan dan kegembiraan jika
akhirnya mereka dinyatakan lulus. Sebaliknya petaka akan dirasakan bagi mereka
yang tidak lulus tentunya.
Meskipun pengumuman
kelulusan bukan akhir dari semua perjuangan, namun luapan kegembiraan bagi
mereka yang lulus sepertinya menjadi puncak kesuksesan segalanya. Sampai-sampai
mereka merayakan kesuksesan tersebut secara berlebihan.
Kelulusan yang mestinya
disyukuri menjadi berlebihan manakala
sudah menjadi pesta dan arak-arakan sebagaiman yang terjadi selama ini. Tradisi
arak-arakan motor atau konvoi, aksi corat-coret baju seragam dan semprot
rambut, pesta pora, bahkan ada yang sampai merayakan dengan pesta bikini dan pergaulan
bebas tampaknya masih akan mewarnai suasana tahun ini. Bahkan beberapa tahun
yang lalu diberitakan ada sebuah sekolah di suatu daerah yang merayakan pesta
kelulusan dengan bertelanjang dada baik siswa putra maupun putrinya.
Kebiasaan
itu terus terjadi meskipun berbagai pihak telah melarang atau tidak mnyetujui.
Mereka tak mengindahkan larangan dan aturan tersebut. Semua dikarenakan oleh
perasaan menang dari sebuah perjuangan.
Pertanyaannya
apakah tradisi tersebut memang sudah tak lagi mampu dicegah sehingga
terus-menerus terjadi di setiap musim kelulusan? Ataukah memang tidak ada upaya
yang serius sehingga terjadi semacam pembiaran?
Banyak
kasus terjadi akibat dari adanya kebiasaan
negatif semacam itu. Pada tahun yang lalu misalnya, beberapa kasus kecelakaan
lalulintas terjadi diakibatkan oleh
arak-arakan siswa yang tengah merayakan euforia kelulusan.
Di
Madiun misalnya, seorang siswa yang baru menerima pengumuman kelulusan tewas
tertabrak truk akibat dirinya menghindari konvoi kendaraan teman-temannya. Di Brebes
seorang siswa SMP menabrak seorang warga hingga tewas saat melakukan konvoi. Di
Cilacap seorang siswa SMK tewas akibat motornya menabrak truk ketika dirinya
melakukan konvoi. Banyak lagi kasus serupa yang terjadi di daerah lain yang
merenggut nyawa mereka.Namun tak ada jera-jeranya untuk melakukan hal yang
sama.
Belum lagi kerugian lain yang secara tidak
langsung dirasakan. Berapa potong pakaian yang akhirnya mubazir karena aksi
corat-coret? Berapa liter BBM yang habis
digunakan untuk sekadar hura-hura? Dan
berapa banyak anak yang menjadi korban psikis akibat pergaulan bebas atau
minum-minuman?
Sebenarnya
sudah banyak usaha untuk mencegah adanya aksi negatif tersebut. Berbagai pihak
telah melakukan antisipasi setiap menjelang saatnya pengumuman kelulusan. Pihak
polisi misalnya telah menghimbau bahkan mengancam akan menilang bagi pelanggar
yang ikut konvoi. Dinas pendidikan kota maupun kabupaten telah menghimbau siswa
dan sekolah untuk melanghindari konvoi. Tetapai tampaknya semua itu tidak
digubris.
Meski
sebagian sekolah telah menerapkan strategi
dan tekhnik penyampaian pengumuman baik melalui surat pos, maupun melalu
cara lain tetapi konvoi dan aksi lainnya tetap saja ada di hari berikutnya.
Tinggal
satu upaya dari pihak sekolah yang kiranyadapat diharapkan untuk meredam
kegiatan negatif tersebut. Perlu adanya usaha yang serius dari pihak sekolah
untuk mengurangi bahkan mencegah aksi
yang tak berguna yakni mengalihkan kegiatan negatif menjadi yang positif.
Hal
itu bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelum saatnya pengumuman kelulusan melalui
penjelasan, nasihat, penyadaran, serta pegawasan yang serius.
Berkaca
dari beberapa sekolah yang telah berhasil mengalihkan perhatian siswanya yang
baru menerima pengumuman kelulusan, dari kegiatan yang negatif menjadi positif, tampaknya perlu dijadikan
contoh bagi sekolah lainnya.
Ada
beberapa sekolah yang telah mencoba mengumpulkan sejumlah pakaian seragam
siswanya yang lulus untuk disumbangkan ke orang yang tidak mampu. Aksi semacam
itu tentu dilakukan sebelum mereka menerima pengumuman. Kegiatan tersebut
ternyata berhasil menghindari aksi corat-coret baju. Kegiatan ini tentu harus didahului dengan penjelasan yang
menyadarkan mereka untuk beramal, dan menghindari hal yang mubazir.
Beberapa
aksi lain misalnya doa bersama, sujud sukur, atau mungkin aksi bakti sosial atas
kelulusan mereka dapat juga dijadikan pengalihan perhatian mereka. Hanya yang
pasti mereka tetap perlu bimbingan, pengawasan, dan perhatian dari pihak
sekolah dan orang tua secara serius.
Ada
juga sekolah yang telah berhasil mengganti konvoi kendaraan bermotor menjadi
konvoi sepeda onthel. Ini pun hal
yang sangat bagus. Meski sama-sama berbentuk konvoi, namun konvoi sepeda onthel
jelas lebih kecil resikonya dibanding konvoi sepeda motor. Baik itu resiko
kecelakaan, keributan, maupun pengawasan. Apalagi jika semua guru atau pihak sekolah
ikut serta sakali gus mengkordinasi dan mengawasi.
Beberapa
kegiatan di atas merupakan contoh cara pengubahan perhatian dan sekali gus
pengubahan tradisi siswa dalam merayakan
kelulusannya dari yang berbentuk negatif menjadi kegiatan yang positif. Masih
banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah tergantung kreatifitas
mereka masing-masing.
Jika
beberapa sekolah telah mampu mengubah tradisi negatif menjadi positif tentu
tidak ada alasan bagi sekolah lain untuk mengataka tidak bisa. Semua tergantung
kepada keseriusan semua pihak. Luapan
emosi anak tentu sangat bisa dibatasi dengan berbagai tekhnik yang tepat
dan terarah. Dan itu merupakan salah satu tugas guru selaku pendidik.
Meskipun
mereka segera akan lepas dari sekolah tersebut, namun sebagai bekas
almamaternya sekolah tetap harus bertanggung jawab atas perilaku mereka.
Kegiatan dan aksi mereka tetap akan mencitrakan bekas almaternya. Maka jangan
sampai ulah dan aksi mereka justru akan mencoreng nama baik sekolahnya karena
dinilai negatif.
Beberapa kasus
negatif akibat perilaku dan aksi
siswa-siswi kita yang hampir terjadi setiap tahun dan menjadi sorotan semua
pihak kiranya cukuplah berhenti sampai di sini saja. Jadikanlah tahun ini sebagai tahun kesadaran bagi para
siswa yang akan menghadapi auforia kelulusan.
Semoga tidak lagi
banyak aksi yang kurang bermanfaat melainkan sebaliknya muncul aksi positif dan bermanfaat.
Menanamkan budaya malu jika hanya sekadar berhura-hura setelah lulus ujian
harus segera dilakukan.
Kini sudah tidak jamannya lagi merayakan
kelulusan dengan hura-hura, karena memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau dunia
kerja butuh perjuangan yang lebih berat lagi. Dan penanaman kesadaran itu
masih menjadi bagian tugas guru di almamaternya.@
(Dimuat di Suara Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar