Jumat, 21 Oktober 2016

STOP PESTA KELULUSAN


Bagi siswa, orang tua, maupun pihak sekolah, menantikan pengumuman kelulusan merupakan saat yang paling menegangkan. Betapa tidak, dalam  pengumuman itu hanya ada dua alternatif saja. Lulus ataupun tidak lulus. Seperti halnya bagi siswa-siswi SMA sederajat yang tahun ini harus mendapat giliran pertama dan kemudian disusul SMP seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kekhawatiran dan ketegangan selama penantian akan berubah menjadi kelegaan dan kegembiraan jika akhirnya mereka dinyatakan lulus. Sebaliknya petaka akan dirasakan bagi mereka yang tidak lulus tentunya.
Meskipun pengumuman kelulusan bukan akhir dari semua perjuangan, namun luapan kegembiraan bagi mereka yang lulus sepertinya menjadi puncak kesuksesan segalanya. Sampai-sampai mereka merayakan kesuksesan tersebut secara berlebihan.
Kelulusan yang mestinya disyukuri  menjadi berlebihan manakala sudah menjadi pesta dan arak-arakan sebagaiman yang terjadi selama ini. Tradisi arak-arakan motor atau konvoi, aksi corat-coret baju seragam dan semprot rambut, pesta pora, bahkan ada yang sampai merayakan dengan pesta bikini dan pergaulan bebas tampaknya masih akan mewarnai suasana tahun ini. Bahkan beberapa tahun yang lalu diberitakan ada sebuah sekolah di suatu daerah yang merayakan pesta kelulusan dengan bertelanjang dada baik siswa putra maupun putrinya.
Kebiasaan itu terus terjadi meskipun berbagai pihak telah melarang atau tidak mnyetujui. Mereka tak mengindahkan larangan dan aturan tersebut. Semua dikarenakan oleh perasaan menang dari sebuah perjuangan.
Pertanyaannya apakah tradisi tersebut memang sudah tak lagi mampu dicegah sehingga terus-menerus terjadi di setiap musim kelulusan? Ataukah memang tidak ada upaya yang serius sehingga terjadi semacam pembiaran?
Banyak kasus terjadi akibat  dari adanya kebiasaan negatif semacam itu. Pada tahun yang lalu misalnya, beberapa kasus kecelakaan lalulintas terjadi diakibatkan oleh  arak-arakan siswa yang tengah merayakan euforia kelulusan.
Di Madiun misalnya, seorang siswa yang baru menerima pengumuman kelulusan tewas tertabrak truk akibat dirinya menghindari konvoi kendaraan teman-temannya. Di Brebes seorang siswa SMP menabrak seorang warga hingga tewas saat melakukan konvoi. Di Cilacap seorang siswa SMK tewas akibat motornya menabrak truk ketika dirinya melakukan konvoi. Banyak lagi kasus serupa yang terjadi di daerah lain yang merenggut nyawa mereka.Namun tak ada jera-jeranya untuk melakukan hal yang sama.
 Belum lagi kerugian lain yang secara tidak langsung dirasakan. Berapa potong pakaian yang akhirnya mubazir karena aksi corat-coret? Berapa  liter BBM yang habis digunakan untuk sekadar  hura-hura? Dan berapa banyak anak yang menjadi korban psikis akibat pergaulan bebas atau minum-minuman?
Sebenarnya sudah banyak usaha untuk mencegah adanya aksi negatif tersebut. Berbagai pihak telah melakukan antisipasi setiap menjelang saatnya pengumuman kelulusan. Pihak polisi misalnya telah menghimbau bahkan mengancam akan menilang bagi pelanggar yang ikut konvoi. Dinas pendidikan kota maupun kabupaten telah menghimbau siswa dan sekolah untuk melanghindari konvoi. Tetapai tampaknya semua itu tidak digubris.
Meski sebagian sekolah telah menerapkan strategi  dan tekhnik penyampaian pengumuman baik melalui surat pos, maupun melalu cara lain tetapi konvoi dan aksi lainnya tetap saja ada di hari berikutnya.
Tinggal satu upaya dari pihak sekolah yang kiranyadapat diharapkan untuk meredam kegiatan negatif tersebut. Perlu adanya usaha yang serius dari pihak sekolah untuk mengurangi  bahkan mencegah aksi yang tak berguna yakni mengalihkan kegiatan negatif menjadi yang positif.
Hal itu bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelum saatnya pengumuman kelulusan melalui penjelasan, nasihat, penyadaran, serta pegawasan yang serius.
Berkaca dari beberapa sekolah yang telah berhasil mengalihkan perhatian siswanya yang baru menerima pengumuman kelulusan, dari kegiatan yang negatif  menjadi positif, tampaknya perlu dijadikan contoh bagi  sekolah lainnya.
Ada beberapa sekolah yang telah mencoba mengumpulkan sejumlah pakaian seragam siswanya yang lulus untuk disumbangkan ke orang yang tidak mampu. Aksi semacam itu tentu dilakukan sebelum mereka menerima pengumuman. Kegiatan tersebut ternyata berhasil menghindari aksi corat-coret baju. Kegiatan ini tentu harus didahului dengan penjelasan yang menyadarkan mereka untuk beramal, dan menghindari hal yang mubazir.
Beberapa aksi lain misalnya doa bersama, sujud sukur, atau mungkin aksi bakti sosial atas kelulusan mereka dapat juga dijadikan pengalihan perhatian mereka. Hanya yang pasti mereka tetap perlu bimbingan, pengawasan, dan perhatian dari pihak sekolah dan orang tua secara serius.
Ada juga sekolah yang telah berhasil mengganti konvoi kendaraan bermotor menjadi konvoi sepeda onthel. Ini pun hal yang sangat bagus. Meski sama-sama berbentuk konvoi, namun konvoi sepeda onthel jelas lebih kecil resikonya dibanding konvoi sepeda motor. Baik itu resiko kecelakaan, keributan, maupun pengawasan. Apalagi jika semua guru atau pihak sekolah ikut serta sakali gus mengkordinasi dan mengawasi.
Beberapa kegiatan di atas merupakan contoh cara pengubahan perhatian dan sekali gus pengubahan tradisi siswa  dalam merayakan kelulusannya dari yang berbentuk negatif menjadi kegiatan yang positif. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah tergantung kreatifitas mereka masing-masing.
Jika beberapa sekolah telah mampu mengubah tradisi negatif menjadi positif tentu tidak ada alasan bagi sekolah lain untuk mengataka tidak bisa. Semua tergantung kepada keseriusan semua pihak. Luapan  emosi anak tentu sangat bisa dibatasi dengan berbagai tekhnik yang tepat dan terarah. Dan itu merupakan salah satu tugas guru selaku pendidik.
Meskipun mereka segera akan lepas dari sekolah tersebut, namun sebagai bekas almamaternya sekolah tetap harus bertanggung jawab atas perilaku mereka. Kegiatan dan aksi mereka tetap akan mencitrakan bekas almaternya. Maka jangan sampai ulah dan aksi mereka justru akan mencoreng nama baik sekolahnya karena dinilai negatif.
Beberapa kasus negatif  akibat perilaku dan aksi siswa-siswi kita yang hampir terjadi setiap tahun dan menjadi sorotan semua pihak kiranya cukuplah berhenti sampai di sini saja. Jadikanlah  tahun ini sebagai tahun kesadaran bagi para siswa yang akan menghadapi auforia kelulusan.
Semoga tidak lagi banyak aksi yang kurang bermanfaat melainkan  sebaliknya muncul aksi positif dan bermanfaat. Menanamkan budaya malu jika hanya sekadar berhura-hura setelah lulus ujian harus segera dilakukan.
 Kini sudah tidak jamannya lagi merayakan kelulusan dengan hura-hura, karena memasuki  jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau dunia kerja butuh perjuangan yang lebih berat lagi. Dan penanaman kesadaran  itu  masih menjadi bagian tugas guru di almamaternya.@


(Dimuat di Suara Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar