Rabu, 26 Oktober 2016

PENILAIAN AUTENTIK YANG TIDAK AUTENTIK


Oleh : Riyadi

Minggu ke dua di bulan Desember,  benar-benar dirasakan oleh sebagian besar guru sebagai waktu yang  membuat mereka limpung. Betapa tidak, dalam waktu seminggu guru dituntut menyelesaikan pengolahan nilai hingga pembuatan buku raport yang mengacu pada  kurikulum 2013.
Kalau masalah mengolah , menganalis nilai, hingga pembuatan  buku raport bagi guru sebenarnya bukanlah hal baru karena hal itu merupakan salah satu bagian tugas sehari-hari mereka. Tetapi ketika harus mengerjakan nilai yang berdasarkan kurikulum 2013 menjadi  permasalahan baru. Kenapa demikian? Karena sistem penilaian autentik pada kurikulum ini benar-benar sangat rumit dan begitu banyaknya. Inilah yang membuat mereka benar-benar limpung.
Ada beberapa permasalahan yang benar-benar dirasakan para guru ketika mengerjakan penilaian kurikulum 2013 ini. Permasalahan tersebut antara lain pertama, rumitnya penilaian karena disamping harus mngolah nilai dalam bentuk  angka, berakhir pula dalam bentuk dikripsi yang begitu banyaknya. Angka-angka yang demikian banyaknya kalau benar didapatkan saat pembelajaran rasanya menjadi tidak mungkin. Tentu waktu pembelajaran akan tersita habis untuk melakukan penilaian dari pada dimanfaatkan untuk membantu siswa saat mengalami kesulitan atau mengarahkan skenario pembelajaran yang baik.
            Sekadar tambahan bahwa saat guru melakukan pembelajaran, dirinya disuguhi oleh  berbagai hal yang menuntutnya  dapat melakukan pembelajaran dengan baik.  Mulai dari memikirkan skenario pembelajaran, model, metode, pendekatan,  alat peraga yang cocok, lagkah-langkah pembelajaran, perhatian kepada siswa, mengelola kelas, hingga menyiapkan evaluasi dan perangkatnya  dimana setiap unsurnya memiliki berbagai kriteria yang super njlimet dan semua harus dilakukan dengan maksimal.
Bagaimana mungkin seorang guru dapat melakukan beberapa pekerjaan  dalam  waktu yang bersamaan dengan hasil yang sama-sama maksimal. Apalagi jika ditambah model penilaian autentik dimana setiap pembelajaran menuntut guru mendapatkan data nilai seambrek yang cara pemerolehannya tentu harus melalui proses yang  serius pula.
 Seorang guru harus mengamati satu per satu siswanya untuk mendapatkan data penilaian autentik. Dirinya harus menuliskan data per individu melalui pengamatan yang cermat atas perilaku, sikap, keaktifan mereka dan sejumlah hal lain yang diminta. Mereka juga harus memberikan instrumen penilaian, menilai dan mengolahnya. Dirinya harus mengumpulkan berbagai hasil kegiatan siswa dalam bentuk portofoliio yang dajadikan sebagai data penilaian. Dirinya juga harus menilai tugas rumah, memasukkannya dan mengolahnya  sedemikian rupa. Begitupun penilaian antar teman yang juga harus diperolehnya pada saat itu juga. Semua harus dilakukan dalam waktu itu juga. Jika sampai mereka menunda barang sehari saja maka masalah baru akan segera muncul. Penilaian hari berikutnya segera menuntut untuk dikerjakannya. Keterbatasan waktu dan tenaga akhirnya menjebak dirinya dan memaksa dirinya membuat nilai yang kurang autentik  dalam selubung kejujuran. Rekayasa nilai menjadi alternatif terakhir mengatasi kebuntuan. Sebenarnya hal demikan sangat disayangkan, namun mau bicara apalagi?
Ke dua, masalah waktu yang begitu singkat. Sejak dilakukannya Ulangan Akhir Smester (UAS) hingga waktu pembagian buku raport hanya dalam kurun waktu satu minggu dimana satu minggu itupun semestinya digunakan untuk perbaikan dan pengayaan. Guru dituntut untuk megolah nilai hingga tuntas.
 Pada saat menggunakan kurikulum sebelumya  kadang waktu seminggu untuk mengolah nilai dan mengerjakan buku raport pun masih dirasa kurang kalau guru tidak mau mengerjakannya di rumah saat malam hari. Apalagi pada penilaian sekarang ini yang super hebat. Jenjang waktu sejak dilakukannya UAS hingga pembagian buku rapor dalam kurikulum 2013 ini mestinya bertambah panjang mengingat dalam pengolahan nilainya bisa dua kali lebih banyak. Namun kenyataannya waktu yang tersedia masih saja tetap. Hal inilah yang menjadikan kelabakan para guru.
Ke tiga, pemahaman guru tentang penilaian tersebut masih sangat kurang. Betapa tidak, untuk melakukan penilaian autentik yang merupakan sistem penilaian baru itu, guru praktis baru dikenalkan sekitar 2 atau 3 bulan setelah  tahun pelajaran baru semester 1 berjalan. Itu pun baru dikenalkan melalui diklat yang begitu singkat dan tidak menjamin  mereka memahaminya. Bahkan ironisnya masih banyak guru yang hingga saat ini belum berkesempatan mengikuti diklat tersebut.
            Andai saja mereka memahami hal itu melalui diklat, tentu masih ada permasalahan baru karena penilaian autentik mungkin baru bisa dipraktekkan setelah mereka mengikuti diklat. Lalu penilaian bagaimana yang harus dilakukan oleh guru sebelum mereka mengikuti diklat? Tentu menjadi tidak lagi autentik ketika guru harus mengolah nilai pada jenjang waktu awal tahun hingga tengah semester yang saat itu belum jelas arahnya.
Secara jujur, guru belum memiliki pengetahuan tentang penilaian autentik sebelum mereka mengikuti diklat. Lalu pertanyaannya dari mana mereka mendapatkan data penilaian tentik itu? Di sinilah timbul permasalahan baru. Penilaian autentik menjadi diragukan karena guru terpaksa harus mereka-reka nilai yang tidak autentik.
Sebagai guru tidak bisa disalahkan jika hal demikian terjadi karena mereka harus  melakukan. Keterlambatan kesiapan SDM guru, sarana, buku, dan perangkat penilaian lain menjadi penyokong ketidakberesan dalam sistem  penilaian autentik. Bagaimana seorang guru menilai kejujuran muridnya  ketika mereka sendiri harus membuat nilai yang tidak jujur. Sungguh hal yang sangat ironis.
Mengingat pada sistem penilaian baru ini data nilai yang harus diperoleh dan kemudian  diinput begitu banyaknya jika dibandingkan dengan waktu yang disediakan, barangkali jika guru sampai kehabisan nafas adalah sangat dimaklumi. Siang malam guru terus melakukan proses pengolahan nilai.
Sejak mulai mereka mengoreksi hasil UAS, mengolah nilai hingga menginput ke dalam aplikasi yang dapat meringankan pekerjaan, juga membuat buku rapor, mereka bekerja keras  dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Namun kenyataannya tetap saja pekerjaan itu tak kunjung selesai. Jadi jika ada pendapat yanga mengatakan bahwa hanya guru-guru yang malas saja yang tidak mau menerima kurikulum 2013 tentu pendapat itu harus direnungkan kembali.
Alasan untuk merenungkan kembali pendapat itu tentu didasari oleh kenyataan di lapangan. Jika guru mengerjakan penilaian secara autentik se-autentik-autentiknya  dapat dipastikan  hal yang mustahil. Tetapi jika penilaian itu dilakukan sekadar selesai memenuhi target tentu bolehlah dipertanyakan ke-autentikannya.
Tentang kemalasan sebagaimana yang dilontarkan kepada guru haruslah dipertanyakan. Kemampuan tenaga manusia bukanlah seperti mesin.  Untuk mengerjakan penilaian seperti tuntutan, tidak ada indikasi adanya guru yang bermalas-malasan. Sedangkan dengan  menghabiskan waktu saja tetap tidak rampung, bagaimana mereka dikatakan malas?
Sebenarnya bagi sebagian guru yang mendukung kebijakan menteri yang masih dalam perdebatan itu bukanlah guru yang malas. Mereka bukan tidak mau menerima perubahan pendidikan, namun lebih dari sekadar meminta kebijakan untuk menyederhanakan model penilaian yang dirasa sangat memberatkan mereka. Terhadap konten kurikulum serta pendekatannya, pada dasarnya mereka sangat tak berkeberatan. Yang menjadikan mereka merasa keberatan hanyalah masalah penilaiannya saja. Jadi andai pemerintah berusaha membuat model penilaian yang lebih sederhana atau menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, tentu implementasi kurikulum baru itu dapat diterima dengan aman-aman saja.
Jika model penilaian autentik semacam sekarang ini tetap dipertahankan maka dikhawatirkan terjadi ketidak tercapaian antar tujuan dan hasil. Ketercapaian dengan ide awal akan jauh menyimpang. Penilaian autentik menjadi teori saja yang tak akan bermakna. Kejujuran para pembuat nilai akan diragukan mengingat jika hal itu dilaksanakan sesuai idealis maka waktu yang tidak akan mencukupi.
Hanya saja jika ada pihak yang berpendapat secara global bahwa guru menolak kurikulum 2013, maka penafsiran itu keliru karena para guru sesungguhnya telah berupaya keras melaksanakan kebijakan pemerintah itu. Meski kadang mereka sering terombang-ambing oleh kebijakan, namun kenyataanya tidak pernah terjadi pembangkangan guru terhadap suatu kebijakan tertentu.
Akhirnya perlu kiranya segera semua pihak berbenah kembali jika mereka benar-benar berkomitmen ingin memajukan pendidikan di negeri ini. Melaksanakan kebijakan adalah keharusan tapi di sisi lain pembuat kebijakan juga harus memahami realitas di lapangan serta siap menerima saran dan masukan untuk perbaikan dan kemajuan pendidikan@



*Dimuat MajalSang Guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar