Oleh
: Riyadi
Minggu ke dua di bulan Desember, benar-benar dirasakan oleh sebagian besar
guru sebagai waktu yang membuat mereka
limpung. Betapa tidak, dalam waktu seminggu guru dituntut menyelesaikan
pengolahan nilai hingga pembuatan buku raport yang mengacu pada kurikulum 2013.
Kalau masalah mengolah , menganalis
nilai, hingga pembuatan buku raport bagi
guru sebenarnya bukanlah hal baru karena hal itu merupakan salah satu bagian tugas
sehari-hari mereka. Tetapi ketika harus mengerjakan nilai yang berdasarkan
kurikulum 2013 menjadi permasalahan
baru. Kenapa demikian? Karena sistem penilaian autentik pada kurikulum ini
benar-benar sangat rumit dan begitu banyaknya. Inilah yang membuat mereka
benar-benar limpung.
Ada beberapa permasalahan yang
benar-benar dirasakan para guru ketika mengerjakan penilaian kurikulum 2013
ini. Permasalahan tersebut antara lain pertama, rumitnya penilaian karena
disamping harus mngolah nilai dalam bentuk
angka, berakhir pula dalam bentuk dikripsi yang begitu banyaknya. Angka-angka
yang demikian banyaknya kalau benar didapatkan saat pembelajaran rasanya menjadi
tidak mungkin. Tentu waktu pembelajaran akan tersita habis untuk melakukan
penilaian dari pada dimanfaatkan untuk membantu siswa saat mengalami kesulitan
atau mengarahkan skenario pembelajaran yang baik.
Sekadar
tambahan bahwa saat guru melakukan pembelajaran, dirinya disuguhi oleh berbagai hal yang menuntutnya dapat melakukan pembelajaran dengan
baik. Mulai dari memikirkan skenario pembelajaran,
model, metode, pendekatan, alat peraga
yang cocok, lagkah-langkah pembelajaran, perhatian kepada siswa, mengelola
kelas, hingga menyiapkan evaluasi dan perangkatnya dimana setiap unsurnya memiliki berbagai
kriteria yang super njlimet dan semua
harus dilakukan dengan maksimal.
Bagaimana mungkin seorang guru dapat
melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan dengan hasil yang sama-sama
maksimal. Apalagi jika ditambah model penilaian autentik dimana setiap
pembelajaran menuntut guru mendapatkan data nilai seambrek yang cara pemerolehannya tentu harus melalui proses
yang serius pula.
Seorang guru harus mengamati satu per satu
siswanya untuk mendapatkan data penilaian autentik. Dirinya harus menuliskan
data per individu melalui pengamatan yang cermat atas perilaku, sikap,
keaktifan mereka dan sejumlah hal lain yang diminta. Mereka juga harus
memberikan instrumen penilaian, menilai dan mengolahnya. Dirinya harus
mengumpulkan berbagai hasil kegiatan siswa dalam bentuk portofoliio yang
dajadikan sebagai data penilaian. Dirinya juga harus menilai tugas rumah,
memasukkannya dan mengolahnya sedemikian
rupa. Begitupun penilaian antar teman yang juga harus diperolehnya pada saat
itu juga. Semua harus dilakukan dalam waktu itu juga. Jika sampai mereka
menunda barang sehari saja maka masalah baru akan segera muncul. Penilaian hari
berikutnya segera menuntut untuk dikerjakannya. Keterbatasan waktu dan tenaga
akhirnya menjebak dirinya dan memaksa dirinya membuat nilai yang kurang autentik dalam selubung kejujuran. Rekayasa nilai
menjadi alternatif terakhir mengatasi kebuntuan. Sebenarnya hal demikan sangat
disayangkan, namun mau bicara apalagi?
Ke dua, masalah waktu yang begitu
singkat. Sejak dilakukannya Ulangan Akhir Smester (UAS) hingga waktu pembagian
buku raport hanya dalam kurun waktu satu minggu dimana satu minggu itupun
semestinya digunakan untuk perbaikan dan pengayaan. Guru dituntut untuk megolah
nilai hingga tuntas.
Pada saat menggunakan kurikulum sebelumya kadang waktu seminggu untuk mengolah nilai dan
mengerjakan buku raport pun masih dirasa kurang kalau guru tidak mau mengerjakannya
di rumah saat malam hari. Apalagi pada penilaian sekarang ini yang super hebat.
Jenjang waktu sejak dilakukannya UAS hingga pembagian buku rapor dalam kurikulum
2013 ini mestinya bertambah panjang mengingat dalam pengolahan nilainya bisa
dua kali lebih banyak. Namun kenyataannya waktu yang tersedia masih saja tetap.
Hal inilah yang menjadikan kelabakan
para guru.
Ke tiga, pemahaman guru tentang
penilaian tersebut masih sangat kurang. Betapa tidak, untuk melakukan penilaian
autentik yang merupakan sistem penilaian baru itu, guru praktis baru dikenalkan
sekitar 2 atau 3 bulan setelah tahun
pelajaran baru semester 1 berjalan. Itu pun baru dikenalkan melalui diklat yang
begitu singkat dan tidak menjamin mereka
memahaminya. Bahkan ironisnya masih banyak guru yang hingga saat ini belum berkesempatan
mengikuti diklat tersebut.
Andai
saja mereka memahami hal itu melalui diklat, tentu masih ada permasalahan baru
karena penilaian autentik mungkin baru bisa dipraktekkan setelah mereka
mengikuti diklat. Lalu penilaian bagaimana yang harus dilakukan oleh guru
sebelum mereka mengikuti diklat? Tentu menjadi tidak lagi autentik ketika guru
harus mengolah nilai pada jenjang waktu awal tahun hingga tengah semester yang
saat itu belum jelas arahnya.
Secara jujur, guru belum memiliki
pengetahuan tentang penilaian autentik sebelum mereka mengikuti diklat. Lalu
pertanyaannya dari mana mereka mendapatkan data penilaian tentik itu? Di sinilah
timbul permasalahan baru. Penilaian autentik menjadi diragukan karena guru
terpaksa harus mereka-reka nilai yang tidak autentik.
Sebagai guru tidak bisa disalahkan jika
hal demikian terjadi karena mereka harus
melakukan. Keterlambatan kesiapan SDM guru, sarana, buku, dan perangkat
penilaian lain menjadi penyokong ketidakberesan dalam sistem penilaian autentik. Bagaimana seorang guru
menilai kejujuran muridnya ketika mereka
sendiri harus membuat nilai yang tidak jujur. Sungguh hal yang sangat ironis.
Mengingat pada sistem penilaian baru ini
data nilai yang harus diperoleh dan kemudian
diinput begitu banyaknya jika dibandingkan dengan waktu yang disediakan,
barangkali jika guru sampai kehabisan nafas adalah sangat dimaklumi. Siang
malam guru terus melakukan proses pengolahan nilai.
Sejak mulai mereka mengoreksi hasil UAS,
mengolah nilai hingga menginput ke dalam aplikasi yang dapat meringankan pekerjaan,
juga membuat buku rapor, mereka bekerja keras
dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Namun kenyataannya tetap
saja pekerjaan itu tak kunjung selesai. Jadi jika ada pendapat yanga mengatakan
bahwa hanya guru-guru yang malas saja yang tidak mau menerima kurikulum 2013
tentu pendapat itu harus direnungkan kembali.
Alasan untuk merenungkan kembali
pendapat itu tentu didasari oleh kenyataan di lapangan. Jika guru mengerjakan
penilaian secara autentik se-autentik-autentiknya dapat dipastikan hal yang mustahil. Tetapi jika penilaian itu
dilakukan sekadar selesai memenuhi target tentu bolehlah dipertanyakan ke-autentikannya.
Tentang kemalasan sebagaimana yang
dilontarkan kepada guru haruslah dipertanyakan. Kemampuan tenaga manusia
bukanlah seperti mesin. Untuk
mengerjakan penilaian seperti tuntutan, tidak ada indikasi adanya guru yang
bermalas-malasan. Sedangkan dengan menghabiskan waktu saja tetap tidak rampung,
bagaimana mereka dikatakan malas?
Sebenarnya bagi sebagian guru yang
mendukung kebijakan menteri yang masih dalam perdebatan itu bukanlah guru yang
malas. Mereka bukan tidak mau menerima perubahan pendidikan, namun lebih dari
sekadar meminta kebijakan untuk menyederhanakan model penilaian yang dirasa
sangat memberatkan mereka. Terhadap konten kurikulum serta pendekatannya, pada
dasarnya mereka sangat tak berkeberatan. Yang menjadikan mereka merasa keberatan
hanyalah masalah penilaiannya saja. Jadi andai pemerintah berusaha membuat
model penilaian yang lebih sederhana atau menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya,
tentu implementasi kurikulum baru itu dapat diterima dengan aman-aman saja.
Jika model penilaian autentik semacam
sekarang ini tetap dipertahankan maka dikhawatirkan terjadi ketidak tercapaian
antar tujuan dan hasil. Ketercapaian dengan ide awal akan jauh menyimpang.
Penilaian autentik menjadi teori saja yang tak akan bermakna. Kejujuran para
pembuat nilai akan diragukan mengingat jika hal itu dilaksanakan sesuai idealis
maka waktu yang tidak akan mencukupi.
Hanya saja jika ada pihak yang
berpendapat secara global bahwa guru menolak kurikulum 2013, maka penafsiran
itu keliru karena para guru sesungguhnya telah berupaya keras melaksanakan
kebijakan pemerintah itu. Meski kadang mereka sering terombang-ambing oleh
kebijakan, namun kenyataanya tidak pernah terjadi pembangkangan guru terhadap
suatu kebijakan tertentu.
Akhirnya perlu kiranya segera semua
pihak berbenah kembali jika mereka benar-benar berkomitmen ingin memajukan
pendidikan di negeri ini. Melaksanakan kebijakan adalah keharusan tapi di sisi
lain pembuat kebijakan juga harus memahami realitas di lapangan serta siap
menerima saran dan masukan untuk perbaikan dan kemajuan pendidikan@
*Dimuat MajalSang Guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar